Citra begitu asyik mengobrol dengan Eyang sampai tak terasa jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Sejak tadi eyang sudah menyuruh Citra tidur. Tapi gadis itu masih enggan.Dia sengaja karena tak kuasa jika harus berlama-lama berdua dengan Atala di kamar itu, tentu saja. Satu jam saja rasanya seperti berpuluh-puluh jam, apalagi ... ah sudahlah.Namun, tak mau eyang curiga, akhirnya dia pun pamit. Dia juga tak mau eyang tidur terlalu malam karena ada dirinya."Kalau gitu aku keluar dulu, ya, Eyang. Besok-besok kita ngobrol lagi. Dadah, Eyang. Selamat tidur." Citra melakukan kiss bye buat eyang sebelum gadis itu keluar dari kamar.Dan saat dia kembali ke kamar Atala, dia tak menemukan lelaki itu. "Mungkin dia lagi ambil minum atau ke toilet," gumam Citra. "Biarin ajalah." Citra lalu duduk di kasurnya, mengambil ponselnya untuk mengirimi Dimas pesan. To Dimas Sayang:Sayang, mulai hari ini, eyang nginap ke rumah aku. Jadinya aku terpaksa tidur di kamar Atala. Kamu jangan cemburu, ya.
"E-eyang, sejak kapan Eyang di sini?" Citra langsung menutup pintu kamar itu."Kamu kenapa? Eyang dengar kamu teriak-teriak." Eyang memperhatikan cucunya dengan penuh kecurigaan."Eng ....""Kamu sama Atala bertengkar?"Citra langsung menggeleng kencang. "Enggak, Eyang. Itu tadi--""Tapi Eyang tadi dengar suara Atala juga.""Bukan berantem, Eyang. Cuman kita ada salah paham sedikit gitu.""Kamu marah sama Atala?""Iya, tapi kita udah baikan kok, Eyang. Aku sama Atala udah baik-baik aja, iya. Beneran Eyang." Citra tersenyum lebar."Atala mana?" Eyang malah mencari Atala."Atala lagi mau ganti baju, dia habis mandi, Eyang." Citra menjawab apa adanya, karena dia kehabisan ide untuk berbohong."Kamu kenapa keluar?" Eyang mengernyit heran."Aku--aku nggak enak aja liatnya." Citra benar-benar bingung menjawab apa."Kalian kan sudah suami istri."Citra meringis. "Iya, Eyang, cuman aku nggak enak liatnya. Oh iya Eyang ngapain malam-malam keluar kamar? Eyang belum tidur?" Citra mengalihkan topi
Citra membelalak dan bergegas duduk di atas kasur saat dia sadar, dia telah tertidur. Matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Diliriknya sofa tempat Atala tidur, tapi lelaki itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah bangun."Gue ketiduran, ya, ya ampun!" Citra menepuk dahinya. Apa saja yang sudah terjadi selama dia tidur? Atala sudah bangun duluan daripadanya, jangan-jangan Atala sempat ....Citra menggeleng-geleng. "Dia nggak ngapa-ngapain gue kan?" Citra meraba-raba tubuhnya sendiri. Lalu mengintip tubuhnya melalui kerah bajunya. Bajunya aman. Tidak ada yang terbuka. Dan baju tidur yang dia kenakan masih sama. Itu artinya Atala tidak melakukan macam-macam padanya. Tapi ... Citra masih curiga."Aduh gimana ini?" Saat Citra sibuk dengan pikiran buruknya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, didorong dari luar.Citra sontak menatap pintu dan menemukan Atala masuk. Lelaki itu masih mengenakan pakaian tidur yang sama dengan yang tadi malam. Itu artinya lelaki itu belum mandi."Eh
"Suami istri yang udah sah wajib menjalani kewajibannya. Kalau nggak sama aja kayak suami dan istri yang durhaka. Kayak lo yang bentak-bentak suami lo sendiri, kalau suami lo nggak terima, lo udah berdosa. Itu fakta."Kata-kata itu terus terngiang di kepala Citra. Sangat mengganggu pikirannya. Dia baru tahu Atala bisa berkata seperti itu. Dan kenapa baru sekarang lelaki itu membicarakan soal fakta? Kenapa dia membuat perjanjian kalau dia tahu pernikahan itu tidak boleh dipermainkan?'Sial! Kenapa sih dia bisa-bisanya ngomong begitu?' batin Citra meradang."Citra ... dimakan nasinya, Cu, jangan diacak-acak begitu ...," tegur Eyang putri yang duduk di sebelahnya. "Makannya pelan-pelan, sendoknya jangan dipukul."Pikiran Citra yang kalut membuatnya tidak fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang hingga tanpa sadar dia mengetukkan sendok ke piring dengan keras.Citra pun tersadar dan sontak menegakkan kepalanya. Di hadapannya duduk Atala yang saat ini juga sedang menatapnya. Mereka jadi b
"Aku tuh memang bukan anak orang kaya banget gitu, ya, Bi." Citra bercerita pada Bi Rahma sambil memotong kentang yang sudah dia kupas. Sedangkan eyang meracik bumbu sop ayam menggunakan blender. Walau eyang putri sempat bingung cara menggunakannya. Yang kemudian diajar Bi Rahma. Meski sudah ada eyang, Bi Rahma tetap membantu, seperti membantu mengarahkan Citra jika Citra melakukan kesalahan, membantu mencuci dan memotong ayam, membantu mengerjakan pekerjaan yang sekiranya tidak bisa Citra lakukan.Hingga Citra pun menjelaskan kalau dia biasa masak dan meminta Bi Rahma untuk tidak memperlakukannya berlebihan seperti ratu. "Maksudku dibanding Atala, keluargaku nggak sekaya dia. Cuman ya nggak miskin juga. Keluargaku berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja. Aku juga pernah diajarin masak dan beres-beres rumah sama Mama. Apalagi semenjak orang tuaku meninggal dan aku jadi tinggal sama Eyang. Aku jadi lebih rajin bantuin mereka. Dulu kan Eyang jualan nasi kuning di sekolah. Aku juga p
Masakan sop ayam ala Citra dan eyang putri sudah tersaji di atas meja. Tidak hanya sop ayam, mereka juga membuat tempe dan tahu bacem sebagai teman makannya. Juga membuat camilan tradisional yaitu cilok kacang.Begitu melihat menu-menu itu tersaji di atas meja, Atala mengusap-usap perutnya yang tiba-tiba lapar. "Wah, enak, nih, buatan Eyang pasti, jadi pengin makan lagi," celetuk lelaki itu. Kebetulan hari sudah beranjak siang, menunjukkan pukul sebelas siang."Kalau Tuan Atala mau, makan saja Tuan, sini biar Bibi ambilin," ucap Bi Rahma."Eh, nggak usah, Bi." Atala mencegah Bi Rahma yang sudah mengambil piring untuknya. "Aku makannya nanti aja, tunggu Eyang Putri dulu sama Citra. Aku nggak mau duluin mereka.""Katanya lapar.""Aku cuman bercanda, Bi." Lelaki itu meringis.Citra yang mendengar percakapan itu sejak tadi lagi-lagi memutar bola matanya malas. 'Caper banget tuh orang. Sok baik aja di depan Eyang.'Lalu Atala terheran saat melihat menu di mangkok lain, yakni potongan-potong
Rupanya Atala mendapat pesan dari papanya yang mengabarkan kalau tak lama lagi papanya akan mengadakan pesta besar-besaran untuk pernikahannya. Dan papanya meminta dia dan Citra bersiap-siap menghadapi momen itu. Tapi ternyata Atala tidak setuju dengan pesta itu. Yang menurutnya tidak penting untuk dilakukan. Karenanya lelaki itu datang ke kantor papanya untuk menyelesaikan masalah tersebut."Ngapain sih Papa ngadain pesta pernikahan buat aku segala? Buat apa? Nggak penting, Pa," bantah lelaki itu begitu tiba di ruang kerja papanya.Johan menatap heran. "Loh, bukannya bagus, ya. Tujuan Papa mengadakan pesta pernikahan besar-besaran buatmu itu supaya orang-orang tahu kalau kalian sudah menikah. Apa kata orang nanti kalau mendengar anak Papa menikah tanpa pesta. Nikah secara diam-diaman?""Tapi kan pernikahan aku sama Citra juga udah lewat, Pa.""Pernikahan kamu sama Citra baru beberapa hari. Masih bisa diadakan pesta. Papa akan bilang ke orang-orang nanti kalau sebelumnya kalian menika
"Dulu Mama dan Papa gue kerjaannya guru SMA. Waktu Mama dan Papa gue masih ada, gue selalu bahagia. Gue dimanjain sampai kakak gue iri. Tapi semenjak orang tua gue meninggal semuanya berubah." Akhirnya Citra memutuskan untuk bercerita pada suaminya."Berubah gimana?" tanya Atala."Waktu Mama dan Papa gue meninggal dalam kecelakaan pesawat, pihak maskapai memberi ganti rugi buat gue sebagai ahli waris Mama dan Papa. Waktu itu gue masih SMP. Dan kedua kakak gue ... gue lupa umur mereka berapa waktu itu, tapi yang pasti mereka udah nggak di bawah umur lagi.""Beda usia Kak Shinta sama Kak Nadia berapa?" tanya Atala kemudian.Citra menoleh. Tak menyangka dengan pertanyaan yang Atala lontarkan. "Kak Shinta lebih tua dua tahun dari Kak Nadia.""Hmm kalau sama lo beda jauh, ya. Maksud gue jarak usia Kak Nadia sama lo.""Iya. Soalnya katanya gue anak bungsu yang paling nggak diinginkan. Dulu Mama dan Papa gue cuman berencana punya dua anak, persis kayak peraturan pemerintah. Hingga bertahun-ta
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo