Rupanya Atala--dan Tasya--mendengar cekcok itu sejak tadi. Mati-matian Tasya menahan Atala agar tidak keluar dan menimbrung percakapan itu."Kalau lo mau nemuin mereka harus lewat depan," bisik Tasya saat Atala sekali lagi menatapnya, meminta persetujuan apa yang harus dia lakukan? "Please, demi nama baik Citra." Karena Citra sudah telanjur mengatakan Atala tidak di rumah.Atala memperhatikan penampilannya yang memakai pakaian santai. Baju kaos dan celana pendek."Lo ganti baju dulu sana," bisik Tasya seolah tahu apa yang dia pikirkan.Atala mendengus kesal. "Ngerepotin aja."Atala pun berganti baju, mengenakan celana jins dan jaket yang biasa dia pakai saat bepergian. Sekitar lima menit kemudian dia keluar kamar dan bergegas menuju pintu samping untuk kemudian memutar lewat pintu depan.Atala menggelengkan kepala tak habis pikir. "Ngapain sih dia pake bilang gue keluar segala. Ada-ada aja tuh cewek." Atala mendengus.
Tangisan eyang yang terdengar menyayat hati sungguh membuat Citra merasa sangat bersalah. Ucapan eyang putri yang terakhir kali sungguh melukai hati Citra. Dia masih ingat jelas bagaimana eyang mengatakannya. Dia juga bisa merasakan sakit hati eyang.Citra masih ingat bagaimana kejadian itu terjadi.Setelah mengucapkan kalimat itu, eyang berdiri dan berjalan keluar, nyaris sempoyongan karena terlalu cepat bergerak.Citra mengejar eyang, memegangi tangan eyang yang berdiri di depan pintu. "Eyang maafin aku, Eyang .... Eyang jangan benci aku, ya ...."Eyang hanya menangis. Dan itu membuat Citra makin sedih."Citra!" Kak Shinta lalu menyahut. Dan melepas pegangan Citra dari lengan eyang. "Nggak ada gunanya kamu minta maaf kalau nggak mau menampung Eyang. Kamu nggak pikirin gimana sakit hatinya Eyang melihat perlakuan cucu kesayangannya? Cucu macam apa kamu?" Kak Shinta sampai mendorong Citra, membuat Citra nyaris jatuh kalau Atala tak sigap menahan tu
"Dulu waktu Mama dan Papa gue meninggal dalam kecelakaan pesawat, pihak maskapai memberi ganti rugi buat gue sebagai ahli waris Mama dan Papa. Waktu itu gue masih SMP. Dan kedua kakak gue ..." Citra berhenti. Membuat Atala bertanya-tanya penasaran."Gue lupa umur mereka berapa waktu itu, tapi yang pasti mereka udah nggak di bawah umur lagi. Mereka udah dewasa.""Beda usia Kak Shinta sama Kak Nadia berapa?"Citra menoleh. Tak menyangka dengan pertanyaan yang Atala lontarkan. "Kak Shinta lebih tua dua tahun sama Kak Nadia.""Tapi Kak Nadia juga udah nikah? Berarti keluarga lo nikahnya muda, ya."Citra mengangguk. Lalu terkekeh culas. "Makanya gue juga dipaksa nikah muda.""Hmm kalau sama lo beda jauh, ya. Maksud gue jarak usia Kak Nadia sama lo.""Iya. Soalnya katanya gue anak bungsu yang paling nggak diinginkan. Dulu Mama dan Papa gue cuman berencana punya dua anak, persis kayak peraturan pemerintah. Hingga bertahun-tahun kemudian, tan
"Berapa lama Papa menghabiskan waktu untuk membangun perusahaan sebesar ini?"Atala tak tahu kenapa dia bisa punya pertanyaan seperti itu? Begitu sampai di ruang kerja papanya, sempat makan siang bersama yang dipesan lewat aplikasi online, mengobrol hal-hal receh, merenungkan apa-apa yang telah terjadi belakangan ini, tiba-tiba saja dia penasaran bagaimana papanya bisa membangun perusahaan? Yang anehnya pertanyaan itu baru muncul sekarang."Kenapa memangnya? Apa pedulimu? Bukannya selama ini kamu cuman pengin uang Papa aja, tanpa mau tahu bagaimana Papa menghasilkannya?" jawab papanya yang tengah sibuk membaca koran di sofa yang ada di ruang kerjanya.Pertanyaan itu membuat Atala tertampar. Dia memutar kursinya, menatap papa. "Ya, tapi sekarang aku pengin tahu, Pa.""Serius?""Iyalah, Pa." Atala memutar kursinya lagi.Mengingat cerita masa lalu Citra yang begitu sulit dan menyedihkan, Atala jadi sedikit bersyukur. Selama ini dia
Citra masih belum bisa tenang sebelum dia memastikan eyang putri tidak benci padanya. Rasanya dia ingin melakukan sesuatu agar eyang memaafkannya. Dia ingin melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya itu, tanpa membiarkan eyang tinggal di sini.Maka hari ini, mumpung dia tidak ada rencana ke mana-mana, dia memanfaatkan waktu untuk membuat masakan.Citra mengecek bahan-bahan masakan di kulkas, hendak memasak makanan kesukaan eyang."Cari apa, Non?" Saat Citra sibuk menggeledah kulkas, Bi Rahma bertanya.Citra menoleh. "Emm ngecek bahan-bahan, masakan, Bi. Aku mau masak.""Bibi udah masakin tuh buat Non dan Tuan Atala." Bi Rahma mengedar pandang pada sajian di atas meja makan. Seperti biasa di sana sudah tersaji berbagai aneka lauk pauk yang siap disantap. Para ART yang menyiapkannya."Tapi aku mau masak lain, Bi. Aku mau masak sendiri khusus buat Eyang aku." Citra menjawab apa adanya."Memangnya Non Citra mau masak ap
"Non Citra ternyata bisa bikin kue kering juga?" ucap Bi Rahma. Daripada pertanyaan, kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan. "Bibi ndak nyangka loh." Bi Rahma membantu Citra menaburi choco chips ke atas adonan kue yang sudah Citra cetak sedemikian rupa, adonan berwarna coklat itu berbentuk bulat tak beraturan.Sementara ART lain sibuk berkemas rumah. Beberapa ada yang mendengar percakapan mereka, sesekali ikut menimbrung.Citra tertawa singkat sambil mencetak adonan kue coklat kukis itu ke atas loyang kosong. "Kenapa nggak nyangka, Bi? Emangnya penampilanku kayak anak-anak orang kaya yang nggak pandai masak gitu, ya, nggak pernah ke dapur gitu?" Ya, setelah selesai masak sop ayam, Citra membuat kue juga."Bukan, Non. Cuman kan mengingat pesan Pak Johan yang bilang kalau bisa Non jangan dibiarkan beres-beres rumah atau memasak ....""Pak Johan, eh, Papa bilang gitu?" Citra menatap Bi Rahma terkejut tak menyangka. Papa mertuanya ternyata pernah berp
Adu mulut antara Citra dan Atala mungkin tidak akan berhenti, jika saja Bi Rahma tidak melerai kedua majikannya itu dan menenangkannya. Bahkan sampai kue mereka gosong pun.Bi Rahma mengatakan setidaknya untuk saat ini mereka jangan bertengkar karena bibi tak sanggup melihatnya. Bi Rahma meminta mereka hargai bibi sebagai orang yang lebih tua usianya.Lagi pula masalah mereka itu sepele, tidak seharusnya diperdebatkan. Sebagai pasangan suami-istri, terlepas dari saling cinta atau tidak, mereka harusnya tetap rukun.Karena itu lah mereka akhirnya tidak ribut lagi. Demi menghargai Bi Rahma.Kue kering Citra sudah matang semua. Saatnya tinggal di masukkan ke dalam toples. Dan selama proses pembuatan kue itu, Atala sedikit banyak membantu. Seperti membantu memasukkan loyang ke dalam tempat pemanggangan kue dan mengeluarkannya. Juga membantu membersihkan toples yang hendak dipakai.Atala terbiasa melakukan ini karena dulu dia juga sering mel
"Sop ayamnya udah, Choco Chip Cookies-nya juga udah." Citra memastikan makanan yang dia persiapkan buat eyang sudah masuk ke dalam tootbag, tidak ada yang tertinggal."Saatnya telepon Dimas." Citra duduk di ruang tamu sambil mengotak-atik ponselnya. Gadis itu tersenyum begitu teleponnya diangkat."Sayang kamu lagi sibuk nggak?" tanya Citra hara-harap cemas. Jeda sedetik. "Aku mau minta antar ke rumah Kak Shinta, lebih tepatnya minta temenin, boleh kan?" Jeda lagi. "Itu ... aku mau ngasih kue ke Eyang. Iya sekarang. Asyik aku tunggu, ya. I love you ...." Citra lalu menatap ponselnya sambil tersenyum saat sambungan sudah diputuskan olehnya."Sore ini bakal jalan-jalan lagi, deh." Gadis itu terlihat begitu bahagia. Lalu dia menatap salah satu toples kue itu. "Dimas pasti senang deh kalau tahu gue bikinin kue buat dia juga." Iya, Citra tak hanya membuat kue untuk eyang, tapi juga pacarnya.Diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu, Atala mengintipnya dari balik