Adu mulut antara Citra dan Atala mungkin tidak akan berhenti, jika saja Bi Rahma tidak melerai kedua majikannya itu dan menenangkannya. Bahkan sampai kue mereka gosong pun.
Bi Rahma mengatakan setidaknya untuk saat ini mereka jangan bertengkar karena bibi tak sanggup melihatnya. Bi Rahma meminta mereka hargai bibi sebagai orang yang lebih tua usianya.
Lagi pula masalah mereka itu sepele, tidak seharusnya diperdebatkan. Sebagai pasangan suami-istri, terlepas dari saling cinta atau tidak, mereka harusnya tetap rukun.
Karena itu lah mereka akhirnya tidak ribut lagi. Demi menghargai Bi Rahma.
Kue kering Citra sudah matang semua. Saatnya tinggal di masukkan ke dalam toples. Dan selama proses pembuatan kue itu, Atala sedikit banyak membantu. Seperti membantu memasukkan loyang ke dalam tempat pemanggangan kue dan mengeluarkannya. Juga membantu membersihkan toples yang hendak dipakai.
Atala terbiasa melakukan ini karena dulu dia juga sering mel
"Sop ayamnya udah, Choco Chip Cookies-nya juga udah." Citra memastikan makanan yang dia persiapkan buat eyang sudah masuk ke dalam tootbag, tidak ada yang tertinggal."Saatnya telepon Dimas." Citra duduk di ruang tamu sambil mengotak-atik ponselnya. Gadis itu tersenyum begitu teleponnya diangkat."Sayang kamu lagi sibuk nggak?" tanya Citra hara-harap cemas. Jeda sedetik. "Aku mau minta antar ke rumah Kak Shinta, lebih tepatnya minta temenin, boleh kan?" Jeda lagi. "Itu ... aku mau ngasih kue ke Eyang. Iya sekarang. Asyik aku tunggu, ya. I love you ...." Citra lalu menatap ponselnya sambil tersenyum saat sambungan sudah diputuskan olehnya."Sore ini bakal jalan-jalan lagi, deh." Gadis itu terlihat begitu bahagia. Lalu dia menatap salah satu toples kue itu. "Dimas pasti senang deh kalau tahu gue bikinin kue buat dia juga." Iya, Citra tak hanya membuat kue untuk eyang, tapi juga pacarnya.Diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu, Atala mengintipnya dari balik
"Apa-apaan ini, Sayang?" Dimas melotot menatap isi toples di hadapannya. Lalu beralih menatap Citra tak percaya."Itu kue kering--" ucapan Citra terhenti saat dia menoleh, dan mendapati wajah Dimas terlihat tegang. Citra pun mengintip isi toples yang baru saja dia berikan pada sang pacar.Citra pun terkejut dengan apa yang dia lihat di dalam toples itu. Seketika bulu kuduk Citra meremang. Sesuatu yang paling dia takuti sejak dulu, lebih tepatnya pobia."Kenapa ada cicaknya?!"Citra tahu, Dimas marah. "Sayang aku bisa jelasin. Aku nggak tahu kenapa ada bangkai cicak di dalamnya. Aku nggak mungkin masukin dan sebelumnya nggak ada." Citra menggeleng kencang."Lalu kenapa bisa ada bangkai cicak?!""Aku nggak tahu, beneran." Citra ingin menangis rasanya."Nggak mungkin kamu nggak tahu. Kamu pasti sengaja kan?""Enggak, Sayang. Ini pasti ulahnya Atala, iya pasti.""Kamu bohong juga aku nggak tahu."
"Setelah apa yang kamu lakukan ke Eyang kemarin, kamu masih bisa ngomong begini?"Citra terkekeh. "Ya, bisa lah, Kak. Aku masih peduli sama Eyang--""Kalau kamu memang peduli, harusnya kamu mau menampung Eyang.""Loh, bukannya kemarin kita udah sama-sama dengar keputusan Atala? Atala juga nggak bisa terima Eyang. Kita punya alasan pribadi kenapa kita nggak bisa terima Eyang. Dan alasan itu nggak bisa kita ceritain ke Kakak. Harusnya Kakak ngerti." Citra mulai emosi."Harusnya kamu bisa, dong, bujuk suamimu ...." Kak Shinta terlihat tak mau kalah. Citra jadi makin yakin kalau kakaknya itu memang tidak mau mengurusi eyang putri."Ya, nggak bisa gitu, dong, Kak. Kak Shinta sendiri yang bilang rumah mewah itu punya Atala, bukan punya aku. Jadi aku nggak bisa maksa. Tahu diri ajalah, Kak. Sebagai istri yang baik aku harus nurut sama suami kan?"Kak Shinta terdiam, seakan tak dapat menjawab lagi. "Dan Kak Shinta nggak berhak melarang aku ketemu Ey
Citra pulang ke rumah menggunakan taksi. Sesampainya di rumah gadis itu tampak bahagia, saking bahagianya orang lain bisa melihat hal itu dari wajahnya."Senyum-senyum aja nih, bahagia banget keliatannya."Langkah Citra terhenti di ruang tamu. Citra menoleh. Atala terlihat duduk santai di kursi sofa seperti biasanya.Citra tentu tak lupa dengan apa yang sudah Atala lakukan terhadap kue coklatnya. Cowok itu pasti berharap hubungannya dengan Dimas berantakan gara-gara bangkai cicak itu. Bohong kalau Citra tidak marah, tapi untuk saat ini dia tidak mau marah dulu. Ada suatu hal yang ingin dia lakukan.Citra semakin melebarkan senyumnya. "Ya iyalah, emang gue lagi bahagia banget ....""Bahagia kenapa lo?" Atala terlihat begitu penasaran."Karena udah ketemu Eyang ...." Citra berjalan mendekati Atala. Duduk di kursi yang ada di hadapan suaminya itu."Oh iya, gimana tadi reaksi Eyang dan Kak Shinta liat lo datang? Keadaan Eyang gimana? Baik
"Mulai sekarang gue mau menikmati peran sementara gue sebagai nyonya di sini." Citra mengungkapkan inginnya.Atala menggeleng. "Gue nggak ngerti. Langsung aja, deh."Citra mengernyit. "Ya, gue mau jadi nyonya di rumah ini sebagaimana seharusnya, gitu aja nggak ngerti. Dulu kan lo pernah bilang kalau sebaiknya gue tuh bersyukur dan menikmati peran gue sebagai istri lo, menikmati fasilitas di rumah ini kan?"Atala pun ingat dengan apa yang pernah dia ucapkan dulu. "Oh itu ... iya ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi lo mau apa?""Gue mau jadi nyonya yang sebenarnya. Gue mau memegang anggaran belanja, belanja dan mengatur semua belanjaan sehari-hari. Gue juga yang membiayai ART di sini. Gue mau menikmati uang lo, ya, lebih tepatnya uang Papa lo. Ya, pokoknya gue mau jadi istri lo yang sebenarnya, istri pada umumnya. Udah cukup jelas Tuan Atala?" Citra menatap Atala lekat-lekat.Atala tersenyum jahil. "Jadi istri gue yang sebenarnya? Berarti lo juga ma
Citra berdecak kagum saat melihat ruang wadrobe yang ada di lantai atas. Dalam ruangan wadrobe yang lumayan besar itu tak hanya terdapat lemari beserta pakaiannya, tapi juga ada lemari khusus tas, sepatu dan aksesoris.Dia baru tahu di rumahnya itu ternyata ada ruangan semacam itu. Selama ini dia hanya melihat wadrobe di rumah-rumah mewah seperti dalam video sosial medianya atau di televisi. Dia tak menyangka sekarang ada di depan matanya, miliknya.Citra bingung kenapa papa mertuanya itu menyiapkan ini semua. Kenapa papa mertuanya memperlakukannya begitu baik?Citra lalu mengarungi lantai dua yang tak pernah sekalipun dilihatnya, memasuki ruang-ruang yang ada di sana.Di lantai atas itu juga terdapat banyak kamar, sekitar empat kamar yang begitu besar, lengkap dengan isinya. Di sana juga ada ruang olahraga lengkap beserta alat olahraganya. Juga ada ruangan alat musik yang kedap suara, khusus main alat musik. Citra jadi ingat Atala yang memang senang berm
Akhirnya mobil SUV milik Atala tiba di klinik kecantikan yang ada di Jakarta. Klinik terbesar dan ternama untuk kalangan menengah.Sebenarnya Atala bisa saja membawa Citra ke klinik kecantikan artis yang paling mahal, tapi Citra yang tidak mau. Gadis itu pada dasarnya memang sederhana. Klinik sederhana ini saja sudah cukup untuknya.Citra terperangah begitu kakinya memijaki ruang lobi di klinik itu. Dingin AC terasa menusuk kulitnya. Tempatnya bersih dan estetik. Dia berasa bermimpi bisa menginjakkan kaki di klinik mahal ini."Biasa aja liatnya. Jangan malu-maluin gue ...," bisik Atala saat mendapati Citra celingukan memperhatikan interior klinik itu. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo orang kampung.""Sembarangan!" Citra mendelik kesal."Pendaftaran dulu sana," bisik Atala. Citra malah menatapnya bingung. "Gimana? Gue nggak tahu caranya.""Masuk aja dulu di ruangan pendaftaran, nanti diarahin.""Lo ikut, dong." Citra memelas.Atala pun menemani Citra melakukan pendaftaran dan admin
Citra mondar-mandir di kamar dengan perasaan gelisah. Sejak tadi dia menelepon pacarnya, Dimas, berulang kali. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat.Berbagai prasangka buruk menyerang pikirannya. Namun, yang paling mungkin adalah Dimas tidak mengangkat teleponnya karena marah, bukan karena sibuk. Tidak pernah Dimas begini. "Seenggaknya angkat, dong, telepon gue. Biar gue bisa jelasin." Citra mulai kesal.Saat Citra tersadar Atala memberinya kartu kredit, dia langsung menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Namun, dia tidak sepenuhnya senang. Dia kepikiran Dimas. Sepanjang perjalanan tadi dia lebih banyak diam. Ketika Atala mengajaknya bicara, dia hanya menjawab sekenanya. Di pikirannya hanya satu. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Agar bisa menelepon Dimas dengan leluasa. Dan dia tak ingin Atala tahu kalau mereka kini sedang ada masalah.Karena Dimas tak kunjung mengangkat teleponnya terpaksa Citra mengirimi pesan panjang lebar. To Dimas: Dimas kamu nggak marah karena lihat f