Citra berdecak kagum saat melihat ruang wadrobe yang ada di lantai atas. Dalam ruangan wadrobe yang lumayan besar itu tak hanya terdapat lemari beserta pakaiannya, tapi juga ada lemari khusus tas, sepatu dan aksesoris.
Dia baru tahu di rumahnya itu ternyata ada ruangan semacam itu. Selama ini dia hanya melihat wadrobe di rumah-rumah mewah seperti dalam video sosial medianya atau di televisi. Dia tak menyangka sekarang ada di depan matanya, miliknya.
Citra bingung kenapa papa mertuanya itu menyiapkan ini semua. Kenapa papa mertuanya memperlakukannya begitu baik?
Citra lalu mengarungi lantai dua yang tak pernah sekalipun dilihatnya, memasuki ruang-ruang yang ada di sana.
Di lantai atas itu juga terdapat banyak kamar, sekitar empat kamar yang begitu besar, lengkap dengan isinya. Di sana juga ada ruang olahraga lengkap beserta alat olahraganya. Juga ada ruangan alat musik yang kedap suara, khusus main alat musik. Citra jadi ingat Atala yang memang senang berm
Akhirnya mobil SUV milik Atala tiba di klinik kecantikan yang ada di Jakarta. Klinik terbesar dan ternama untuk kalangan menengah.Sebenarnya Atala bisa saja membawa Citra ke klinik kecantikan artis yang paling mahal, tapi Citra yang tidak mau. Gadis itu pada dasarnya memang sederhana. Klinik sederhana ini saja sudah cukup untuknya.Citra terperangah begitu kakinya memijaki ruang lobi di klinik itu. Dingin AC terasa menusuk kulitnya. Tempatnya bersih dan estetik. Dia berasa bermimpi bisa menginjakkan kaki di klinik mahal ini."Biasa aja liatnya. Jangan malu-maluin gue ...," bisik Atala saat mendapati Citra celingukan memperhatikan interior klinik itu. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo orang kampung.""Sembarangan!" Citra mendelik kesal."Pendaftaran dulu sana," bisik Atala. Citra malah menatapnya bingung. "Gimana? Gue nggak tahu caranya.""Masuk aja dulu di ruangan pendaftaran, nanti diarahin.""Lo ikut, dong." Citra memelas.Atala pun menemani Citra melakukan pendaftaran dan admin
Citra mondar-mandir di kamar dengan perasaan gelisah. Sejak tadi dia menelepon pacarnya, Dimas, berulang kali. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat.Berbagai prasangka buruk menyerang pikirannya. Namun, yang paling mungkin adalah Dimas tidak mengangkat teleponnya karena marah, bukan karena sibuk. Tidak pernah Dimas begini. "Seenggaknya angkat, dong, telepon gue. Biar gue bisa jelasin." Citra mulai kesal.Saat Citra tersadar Atala memberinya kartu kredit, dia langsung menerimanya dan mengucapkan terima kasih. Namun, dia tidak sepenuhnya senang. Dia kepikiran Dimas. Sepanjang perjalanan tadi dia lebih banyak diam. Ketika Atala mengajaknya bicara, dia hanya menjawab sekenanya. Di pikirannya hanya satu. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Agar bisa menelepon Dimas dengan leluasa. Dan dia tak ingin Atala tahu kalau mereka kini sedang ada masalah.Karena Dimas tak kunjung mengangkat teleponnya terpaksa Citra mengirimi pesan panjang lebar. To Dimas: Dimas kamu nggak marah karena lihat f
Seminggu berlalu setelah hari di mana Citra dan Dimas bertengkar di telepon. Setelah bersusah payah Citra membujuk pacarnya untuk percaya dan memintanya tidak cemburu dengan Atala, akhirnya Dimas melunak. Mereka baikan dengan syarat Citra harus menjaga jarak dari Atala. Dimas tak mau lagi melihat Citra posting foto bersama lelaki itu. Dan Citra menyetujuinya.Dan selama seminggu itu, Citra lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbelanja di Mall, mengatur anggaran belanja, uang belanja yang biasa dipegang Bi Rahma dialihkan padanya. Dia juga jadi sering ke klinik kecantikan. Dia pergi sendiri tanpa ditemani Atala ataupun Dimas.Kadang juga dia menemui Eyang di rumah Kak Shinta. Dia semakin pamer pada kakaknya. Citra mengubah penampilannya meski tetap memakai kaca mata. Pakaian yang dia kenakan mulai dari baju, tas, sepatu, hingga jam tangan semuanya branded. Itu barang-barang yang tersedia di wadrobe-nya yang telah papa mertuanya siapkan untuknya. Dia tinggal memakai
Atala pun menceritakan perihal pilihan yang papanya berikan padanya agar dia bisa mendapatkan pekerjaan. Kerja menjadi OB dulu di kantor papanya atau mengulang kuliah hingga selesai?"Kalau lo jadi gue, lo pilih mana?"Romi berdeham sebelum menjawab. Dia tampak berpikir, lalu .... "Ini beda-beda, sih, tiap orang. Tapi kalau gue jadi lo, gue milih jadi OB."Atala menatap Romi kesal, seolah dia tidak setuju dengan usul temannya itu. Romi yang mengerti langsung menjawab. "Gue pilih OB karena gue emang bukan tipe orang yang pilih-pilih dalam pekerjaan. Yang penting buat gue pekerjaan itu halal dan bisa gue kerjain. Latar belakang tamatan SMA kayak gue nggak berharap dapat kerjaan bagus. Tapi gue tahu lo. Lo tuh selalu memikirkan gengsi. Lo maunya dapat kerjaan bagus kan? Kalau gitu, ya, terpaksa lo ngulang kuliah lo sampai Papa lo mau kasih jabatan yang tinggi buat lo di kantornya.""Nah, masalahnya di situ.""Apaan?""Gue akhir-akhir ini udah b
Citra mulai kepikiran dengan Atala, seharian ini, sejak tadi siang dan sampai tengah malam lelaki itu tak kunjung pulang. Entah ke mana dia melayap, Citra tak tahu.Citra tak bermaksud memikirkannya. Hanya saja dia juga tidak bisa tinggal diam dan tenang kalau tidak tahu kabar lelaki itu. Setidaknya Citra harus tahu dia pergi ke mana dan sedang apa. Apalagi kalau nanti papa menanyakan Atala padanya, dan dia tak tahu menjawabnya. Istri macam apa dia yang tak tahu suaminya di mana? Bisa-bisa papanya curiga."Udah jam segini." Citra berkali-kali mengecek jam di ponselnya. Sudah pukul setengah satu malam. Gadis itu sejak tadi duduk di kursi. Sesungguhnya dia sudah mengantuk, tapi dia tidak akan bisa tidur."Apa gue kirim pesan aja kali, ya. Tanya dia di mana. Paling nggak gue tahu dia ke mana. Kenapa gue baru kepikiran, sih." Citra kesal dengan dirinya sendiri.Lagi pula Citra merasa aneh dengan Atala akhir-akhir ini. Pria itu sepertinya banyak yang dia sibukkan dan pikirkan, tapi Citra t
Waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Citra masih duduk termangu di atas kasurnya. Kantuknya seakan sirna. Ada banyak hal yang dia pikirkan. Tangannya bahkan sekarang masih terasa gemetar dan lemas. Dia tak menyangka dia bisa menghadapi orang mabuk dan mengatasinya sendiri. Padahal bisa saja hal buruk terjadi padanya. Sebelumnya Citra tak pernah melihat apalagi menangani orang mabuk. Ini pengalaman pertama baginya.Setelah menampar Atala hinga lelaki itu pingsan. Citra membiarkannya tidur di sofa, memberinya selimut lalu meninggalkannya ke kamar. Citra tak lupa mengunci pintu kamarnya. Khawatir kalau laki-laki itu bangun dan masuk ke kamarnya. Dan berbuat yang tidak-tidak.Dia juga sempat mengirimi pesan pada papa mertuanya, mengabarkan kalau Atala pulang dalam keadaan mabuk dan itu membuatnya takut. Papa mertuanya bilang kalau besok pagi dia akan ke sana untuk melihat kondisi anaknya.Citra jadi makin yakin Atala memang bukan lelaki baik-baik. Karena lelaki baik-baik tidak ak
"Jadi semalam gue beneran mabuk?" tanya Atala meyakinkan. Citra yang duduk di hadapan lelaki itu mengangguk."Dan lo tahu gimana usaha gue buat ngatasin rasa takutnya gue ngeliat kondisi lo? Gue syok dan gue ...." Citra tiba-tiba terhenti, lantas gadis itu menggeleng. Sungguh Citra takut waktu itu, sangat takut. Dan dia tidak menyangka bisa mengatasi itu semua sendiri pada akhirnya.Sebenarnya Atala meminta Citra cerita sejak tadi, sejak pertama kali dia bertanya. Hanya saja Bi Rahma menyuruhnya sarapan dulu. Citra juga berjanji akan cerita setelah Atala sarapan. Namun, Atala juga mengajak Citra sarapan bersama. Dan setelah selesai sarapan, di sinilah mereka mengobrol. Mereka bahkan lupa akan batas-batas yang mereka buat."Lo ... kenapa?" tanya Atala saat melihat mata cewek di hadapannya ini berkaca-kaca."Gue takut ...." Air mata Citra menetes begitu saja tanpa bisa dicegah. Atala mengernyit seolah belum mengerti. "Lo nyaris ngelecehin gue." Citra mengat
"Lo ada masalah apa memangnya?"Setelah berpikir sesaat Atala akhir memutuskan bercerita. Bercerita tentang masa depannya. Tentang papa yang menyuruhnya memilih antara dua pilihan yang sulit baginya. Persis seperti dia bercerita pada Romi.Citra terdiam pasca mendengarkan cerita."Gue nggak mau jadi OB dengan fasilitas kartu kredit dicabut." Atala menggeleng. "Gaji jadi OB berapa, sih? Emang cukup buat biayain lo? Emang bisa dipakai buat foya-foya?"Citra makin membisu. Apa Atala melakukan semua ini karena dirinya?"Nanti gue bantu ngomong sama Papa," ucap Citra kemudian. Dia tak tahu Papa Johan punya rencana seperti itu."Nggak perlu. Papa itu orangnya keras kepala. Kalau dia bilang A, ya, A. Nggak ada yang bisa mengubah kehendaknya. Apalagi elo.""Ya, kan, siapa tahu ....""Terserahlah lo, deh. Lo juga sama kayak Papa." Atala melirik kesal."Sama apanya?""Sama keras kepalanya. Kenapa ya gue dikelilingi sama ora