Seminggu berlalu setelah hari di mana Citra dan Dimas bertengkar di telepon. Setelah bersusah payah Citra membujuk pacarnya untuk percaya dan memintanya tidak cemburu dengan Atala, akhirnya Dimas melunak. Mereka baikan dengan syarat Citra harus menjaga jarak dari Atala. Dimas tak mau lagi melihat Citra posting foto bersama lelaki itu. Dan Citra menyetujuinya.Dan selama seminggu itu, Citra lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbelanja di Mall, mengatur anggaran belanja, uang belanja yang biasa dipegang Bi Rahma dialihkan padanya. Dia juga jadi sering ke klinik kecantikan. Dia pergi sendiri tanpa ditemani Atala ataupun Dimas.Kadang juga dia menemui Eyang di rumah Kak Shinta. Dia semakin pamer pada kakaknya. Citra mengubah penampilannya meski tetap memakai kaca mata. Pakaian yang dia kenakan mulai dari baju, tas, sepatu, hingga jam tangan semuanya branded. Itu barang-barang yang tersedia di wadrobe-nya yang telah papa mertuanya siapkan untuknya. Dia tinggal memakai
Atala pun menceritakan perihal pilihan yang papanya berikan padanya agar dia bisa mendapatkan pekerjaan. Kerja menjadi OB dulu di kantor papanya atau mengulang kuliah hingga selesai?"Kalau lo jadi gue, lo pilih mana?"Romi berdeham sebelum menjawab. Dia tampak berpikir, lalu .... "Ini beda-beda, sih, tiap orang. Tapi kalau gue jadi lo, gue milih jadi OB."Atala menatap Romi kesal, seolah dia tidak setuju dengan usul temannya itu. Romi yang mengerti langsung menjawab. "Gue pilih OB karena gue emang bukan tipe orang yang pilih-pilih dalam pekerjaan. Yang penting buat gue pekerjaan itu halal dan bisa gue kerjain. Latar belakang tamatan SMA kayak gue nggak berharap dapat kerjaan bagus. Tapi gue tahu lo. Lo tuh selalu memikirkan gengsi. Lo maunya dapat kerjaan bagus kan? Kalau gitu, ya, terpaksa lo ngulang kuliah lo sampai Papa lo mau kasih jabatan yang tinggi buat lo di kantornya.""Nah, masalahnya di situ.""Apaan?""Gue akhir-akhir ini udah b
Citra mulai kepikiran dengan Atala, seharian ini, sejak tadi siang dan sampai tengah malam lelaki itu tak kunjung pulang. Entah ke mana dia melayap, Citra tak tahu.Citra tak bermaksud memikirkannya. Hanya saja dia juga tidak bisa tinggal diam dan tenang kalau tidak tahu kabar lelaki itu. Setidaknya Citra harus tahu dia pergi ke mana dan sedang apa. Apalagi kalau nanti papa menanyakan Atala padanya, dan dia tak tahu menjawabnya. Istri macam apa dia yang tak tahu suaminya di mana? Bisa-bisa papanya curiga."Udah jam segini." Citra berkali-kali mengecek jam di ponselnya. Sudah pukul setengah satu malam. Gadis itu sejak tadi duduk di kursi. Sesungguhnya dia sudah mengantuk, tapi dia tidak akan bisa tidur."Apa gue kirim pesan aja kali, ya. Tanya dia di mana. Paling nggak gue tahu dia ke mana. Kenapa gue baru kepikiran, sih." Citra kesal dengan dirinya sendiri.Lagi pula Citra merasa aneh dengan Atala akhir-akhir ini. Pria itu sepertinya banyak yang dia sibukkan dan pikirkan, tapi Citra t
Waktu telah menunjukkan pukul tiga dini hari. Citra masih duduk termangu di atas kasurnya. Kantuknya seakan sirna. Ada banyak hal yang dia pikirkan. Tangannya bahkan sekarang masih terasa gemetar dan lemas. Dia tak menyangka dia bisa menghadapi orang mabuk dan mengatasinya sendiri. Padahal bisa saja hal buruk terjadi padanya. Sebelumnya Citra tak pernah melihat apalagi menangani orang mabuk. Ini pengalaman pertama baginya.Setelah menampar Atala hinga lelaki itu pingsan. Citra membiarkannya tidur di sofa, memberinya selimut lalu meninggalkannya ke kamar. Citra tak lupa mengunci pintu kamarnya. Khawatir kalau laki-laki itu bangun dan masuk ke kamarnya. Dan berbuat yang tidak-tidak.Dia juga sempat mengirimi pesan pada papa mertuanya, mengabarkan kalau Atala pulang dalam keadaan mabuk dan itu membuatnya takut. Papa mertuanya bilang kalau besok pagi dia akan ke sana untuk melihat kondisi anaknya.Citra jadi makin yakin Atala memang bukan lelaki baik-baik. Karena lelaki baik-baik tidak ak
"Jadi semalam gue beneran mabuk?" tanya Atala meyakinkan. Citra yang duduk di hadapan lelaki itu mengangguk."Dan lo tahu gimana usaha gue buat ngatasin rasa takutnya gue ngeliat kondisi lo? Gue syok dan gue ...." Citra tiba-tiba terhenti, lantas gadis itu menggeleng. Sungguh Citra takut waktu itu, sangat takut. Dan dia tidak menyangka bisa mengatasi itu semua sendiri pada akhirnya.Sebenarnya Atala meminta Citra cerita sejak tadi, sejak pertama kali dia bertanya. Hanya saja Bi Rahma menyuruhnya sarapan dulu. Citra juga berjanji akan cerita setelah Atala sarapan. Namun, Atala juga mengajak Citra sarapan bersama. Dan setelah selesai sarapan, di sinilah mereka mengobrol. Mereka bahkan lupa akan batas-batas yang mereka buat."Lo ... kenapa?" tanya Atala saat melihat mata cewek di hadapannya ini berkaca-kaca."Gue takut ...." Air mata Citra menetes begitu saja tanpa bisa dicegah. Atala mengernyit seolah belum mengerti. "Lo nyaris ngelecehin gue." Citra mengat
"Lo ada masalah apa memangnya?"Setelah berpikir sesaat Atala akhir memutuskan bercerita. Bercerita tentang masa depannya. Tentang papa yang menyuruhnya memilih antara dua pilihan yang sulit baginya. Persis seperti dia bercerita pada Romi.Citra terdiam pasca mendengarkan cerita."Gue nggak mau jadi OB dengan fasilitas kartu kredit dicabut." Atala menggeleng. "Gaji jadi OB berapa, sih? Emang cukup buat biayain lo? Emang bisa dipakai buat foya-foya?"Citra makin membisu. Apa Atala melakukan semua ini karena dirinya?"Nanti gue bantu ngomong sama Papa," ucap Citra kemudian. Dia tak tahu Papa Johan punya rencana seperti itu."Nggak perlu. Papa itu orangnya keras kepala. Kalau dia bilang A, ya, A. Nggak ada yang bisa mengubah kehendaknya. Apalagi elo.""Ya, kan, siapa tahu ....""Terserahlah lo, deh. Lo juga sama kayak Papa." Atala melirik kesal."Sama apanya?""Sama keras kepalanya. Kenapa ya gue dikelilingi sama ora
"Atala lagi mandi, Pa. Apa perlu aku panggilin?""Jangan, nggak perlu." Johan mencegah ketika Citra hendak berbalik untuk memanggil Atala.Citra menatap papa mertuanya heran. "Papa nggak mau ketemu Atala?"Johan menggeleng. "Biar saja dia mandi. Papa lega kalau memang dia sudah baik-baik saja."Citra mengangguk. "Kita ngobrol di dalam yuk, Pa," ajak Citra kemudian ketika dia menyadari sejak tadi mereka hanya berdiri di teras."Papa ke sini cuman mau ngomong sama kamu." Papa Atala menolak diajak masuk. Membuat Citra tetap diposisinya. "Kalau kita masuk ke dalam, nanti Atala dengar dan dia tahu Papa datang. Sebaiknya kita ngobrol di sinis saja.""Hmmm oke, Pa." Citra mengangguk. Dia jadi teringat ucapan Atala yang bilang kalau papanya itu keras kepala. Kita semua harus tunduk patuh dengan semua perintahnya.Apakah alasan eyang kakung menjodohkannya dengan Atala juga karena atas permintaan papa Atala?"Papa mau ngomong apa?" tanya Citra kemudian."Papa mau bilang sama kamu jangan terlalu
"Siapa sebenarnya yang mengusulkan ide perjodohan ini pertama kali?" tanya Citra akhirnya. "Hmm maksudku apakah benar Eyang Kakung yang meminta demi kebaikanku atau Papa yang menyarankan?"Citra menatap Papa harap-harap cemas. Khawatir Papa marah, tapi melihat wajah Papa yang tetap tenang, kecemasan yang sempat Citra rasakan memudar."Perjodohan kalian itu atas dasar kesepakatan kami bersama."Jawaban itu tak Citra sangka, tapi dia tidak yakin papa menjawab dengan jujur. Dia juga tak cukup puas dengan jawaban itu."Dari pihak keluargamu juga menyetujui," lanjut Papa Johan. "Dan kami pikir itu sama-sama menguntungkan buat kami, buat kamu dan Atala ke depannya.""Kenapa Papa bisa berpikir begitu?""Karena kami yakin kalian bisa menjadi pasangan yang baik.""Kenapa Papa nggak jodohin Atala sama perempuan lain aja? Kenapa harus aku?" tanya Citra lagi.Papa tertawa ringan sebelum menjawab. "Karena anak sahabat Papa itu kamu, bukan orang lain." Johan tersenyum."Tapi bagaimana kalau ternyata