"Atala lagi mandi, Pa. Apa perlu aku panggilin?""Nggak perlu." Johan mencegah ketika Citra hendak berbalik untuk memanggil Atala.Citra menatap papa mertuanya heran. "Papa nggak mau ketemu Atala?"Johan menggeleng. "Biar saja dia mandi. Papa ke sini cuman perlu ngomong sama kamu."Citra mengangguk. Dia sudah tahu. Dia sudah mendengar ceritanya dari Atala. "Kita ngobrol di dalam yuk, Pa," ajak Citra kemudian ketika dia menyadari sejak tadi mereka hanya berdiri di teras."Kita ngomong di sini saja." Johan menolak diajak masuk. Membuat Citra tetap diposisinya."Hmmm oke, Pa." Citra mengangguk. Dia jadi teringat ucapan Atala yang bilang kalau papanya itu keras kepala. Kita semua harus tunduk patuh dengan semua perintahnya. "Papa mau ngomong apa?" tanya Citra kemudian."Papa mau bilang sama kamu jangan terlalu membenci Atala."Citra tertegun. Kenapa Papa bicara begitu? Seolah tahu mereka memang sering bertengkar. Darimana Papa tahu? Siapa pula yang sudah tega membocorkan rahasia mereka? Si
"Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya."Kalimat itu terus bergaung di kepala Citra, sejak papa mertuanya pergi dan bahkan sampai hari ini.Papa mengamanahkannya untuk menjaga Atala. Dan jujur, Citra merasa terbebani dengan amanah itu. Dia takut tak bisa melakukannya sesuai harapan papanya. Dia juga tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk bisa mengubah perangai lelaki itu.Dan bagaimana reaksi papanya kalau tahu mereka akan bercerai nanti?Banyak hal yang Citra pikirkan dan takutkan. Setelah ini dia tak tahu apa yang terjadi ke depannya. Tapi setidaknya untuk saat ini, dia akan melakukan apa yang bisa dia lakukan.Malam itu, Citra melihat Atala sedang nonton televisi, acara pertandingan sepak bola. Tata
Atala ikut tersenyum. "Papa udah kasih kartunya ke elo?"Citra mengangguk. Lalu meletakkan kartu itu ke paha Atala. "Sebenarnya Papa kasih ini buat gue, tapi buat lo aja. Biar lo nggak stres lagi, biar lo nggak ke club lagi, dan biar lo bisa royalin cewek lo lagi." Citra tersenyum.Ekspresi Atala saat menatap benda itu berubah datar. Lalu dia mengembalikan benda itu pada Citra. "Buat lo aja."Citra menerimanya dengan heran. Reaksi Atala sungguh di luar dugaannya. "Kenapa? Bukannya belakangan ini lo yang koar-koar minta gue bujukin Papa buat balikin nih kartu? Dan akhir-akhir ini juga lo galau banget gara-gara kehilangan benda berharga ini. Ini berharga banget kan buat lo?""Gue sebelumnya emang sedih sejak Papa cabut fasilitas kartu kreditnya dari gue, tapi sekarang nggak lagi. Gue juga nggak royalin cewek lagi. Jadi gue rasa gue nggak butuh kartu itu lagi. Elo yang lebih butuh kan buat belanja." Atala mengalihkan pandangannya ke layar televisi. Citra terdiam. Memang papa mertuanya me
Mengingat mereka pernah berencana jalan berdua agar eyang tidak curiga, Atala pun mengajak Citra jalan-jalan. Kalau memang sudah terbiasa, kebiasaan itu sulit dihilangkan. Nyatanya Atala terbiasa hidup berfoya-foya dan meroyalkan seorang wanita. Hari itu, Atala menyuruh Citra ke klinik kecantikan untuk memperbaiki penampilan gadis itu, tapi Citra spontan menolak."Ngapain sih gue treatment segala. Nggak perlu." "Mana ada cewek yang nggak perlu treatment wajah. Lo tuh sekarang udah jadi istri gue. Gue nggak mau orang-orang nanti ada yang ngomong 'istri sang pewaris kok penampilannya kucel banget, ya.' Terus nanti sewaktu-waktu ada wartawan yang nyorot kita, keliatan di kamera lo jelek banget. Malu-maluin gue tahu nggak? Lagian emangnya lo nggak pengin punya muka yang lebih cantik dan terawat?" Bisa saja Atala menjawabnya. Dia tak tahu saja kalimat pedasnya itu menyakiti perasaan istrinya. "Enak aja. Emang gue sejelek itu apa?" Citra tak terima. "Emang iya, kok. Kebiasaan kampungan
"Biasa aja liatnya. Jangan malu-maluin gue ...," bisik Atala saat mendapati Citra celingukan memperhatikan interior klinik itu. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo orang kampung.""Sembarangan!" Citra mendelik kesal."Pendaftaran dulu sana."Citra malah menatapnya bingung. "Gimana? Gue nggak tahu caranya.""Masuk aja dulu di ruangan pendaftaran, nanti diarahin.""Lo ikut, dong." Citra memelas.Atala pun menemani Citra melakukan pendaftaran dan administrasi, tapi pria itu hanya menemani, menunggu di depan ruang pendaftaran tersebut.Setelah semua proses dilakukan, seperti pembayaran administrasi, mengisi formulir dan konsultasi dengan dokter, tibalah Citra melakukan treatment di ruang perawatan.Selama Citra melakukan treatment, Atala meninggalkannya, mencari salon terdekat untuk potong rambut. Sambil berbaring dengan mata terpejam, Citra menikmati proses treatment tersebut. Dia merasakan kenyamanan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Pikirannya tenang dan banyak hal yang dia i
Atala kewalahan menanggapi Citra. Kenapa? Sejak tadi gadis itu meminta dirinya menemaninya berbelanja berkeliling ke sana ke mari, memilih dan memilah baju yang ingin dia beli, dia menanyakan pendapat Atala pakaian mana yang bagus untuknya.Namun, ketika Atala sudah memberi penilaian, Citra malah tak setuju. Ujung-ujungnya pakaiannya itu tidak jadi dibeli, dan kembali memilih pakaian lain. Dan begitu seterusnya.Bagaimana Atala tidak kewalahan?"Dari tadi perasaan keliling-keliling, bajunya cuman segini?" kesal Atala melihat enam helai dress pilihan Citra di dalam troli. "Udah deh nggak usah dipermasalahin juga," jawab Citra cuek sambil mengscroll ponselnya. "Gue bingung soalnya bajunya bagus semua.""Ya udah beli semuanya aja."Citra tak menanggapi."Sekarang kita ke mana, nih?" tanya Atala kemudian.Citra menoleh. "Kita belanja keperluan make-up dan skincare gue, aja, ya?" Gadis itu tersenyum."Oke." Atala mengangguk-angguk.Selama berkeliling Mall bersama Citra, Atala merasa berbed
Citra mondar-mandir di kamar dengan perasaan gelisah. Sejak tadi dia menelepon pacarnya, Dimas, berulang kali. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat.Berbagai prasangka buruk menyerang pikirannya. Namun, yang paling mungkin adalah Dimas tidak mengangkat teleponnya karena marah, bukan karena sibuk. Tidak pernah Dimas begini. "Seenggaknya angkat, dong, telepon gue. Biar gue bisa jelasin." Citra mulai kesal.Sepanjang perjalanan tadi dia lebih banyak diam. Ketika Atala mengajaknya bicara, dia hanya menjawab sekenanya. Di pikirannya hanya satu. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Agar bisa menelepon Dimas dengan leluasa. Dan dia tak ingin Atala tahu kalau mereka kini sedang ada masalah.Karena Dimas tak kunjung mengangkat teleponnya terpaksa Citra mengirimi pesan panjang lebar. To Dimas Sayang: Dimas kamu nggak marah karena lihat foto aku sama Atala tadi kan? Kamu jangan salah paham, ya, Sayang. Foto itu aku tunjukkin buat keluargaku. Biar mereka percaya kalau aku dan Atala bahagia. B
Belakangan ini Citra merasa agak stres. Tiba-tiba banyak masalah yang menghampiri hidupnya sejak dia menikah. Terutama masalah Dimas yang cemburu. Belum lagi dia yang terbebani dengan amanah papa mertuanya yang memintanya mengubah perilaku Atala. Dan yang tak kalah memusingkan adalah menghadapi tingkah eyang dan menjaga sikap di depan eyang. Itu semua benar-benar melelahkan.Dia merasa amat sangat butuh teman curhat, tapi dia tidak mungkin curhat dengan eyang tentang masalah itu. Karenanya hari itu dia keluar, mengajak Tasya bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari kediamannya. Hanya Tasya yang bisa dia ajak curhat tentang masalah ini. Kebetulan juga mereka sudah lama tak bersua."Sumpah gue nyaris nggak ngenalin lo tadi, makanya agak bingung gue. Kalau lo nggak lambai, gue nggak akan sadar kalau itu lo," cerocos Tasya setelah dia duduk di hadapan temannya itu. Iya, waktu pertama kali datang ke kafe ini, gadis itu agak bingung mencari keberadaan temannya.Citra memutar bola mata. "Leb
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo