Atala kewalahan menanggapi Citra. Kenapa? Sejak tadi gadis itu meminta dirinya menemaninya berbelanja berkeliling ke sana ke mari, memilih dan memilah baju yang ingin dia beli, dia menanyakan pendapat Atala pakaian mana yang bagus untuknya.Namun, ketika Atala sudah memberi penilaian, Citra malah tak setuju. Ujung-ujungnya pakaiannya itu tidak jadi dibeli, dan kembali memilih pakaian lain. Dan begitu seterusnya.Bagaimana Atala tidak kewalahan?"Dari tadi perasaan keliling-keliling, bajunya cuman segini?" kesal Atala melihat enam helai dress pilihan Citra di dalam troli. "Udah deh nggak usah dipermasalahin juga," jawab Citra cuek sambil mengscroll ponselnya. "Gue bingung soalnya bajunya bagus semua.""Ya udah beli semuanya aja."Citra tak menanggapi."Sekarang kita ke mana, nih?" tanya Atala kemudian.Citra menoleh. "Kita belanja keperluan make-up dan skincare gue, aja, ya?" Gadis itu tersenyum."Oke." Atala mengangguk-angguk.Selama berkeliling Mall bersama Citra, Atala merasa berbed
Citra mondar-mandir di kamar dengan perasaan gelisah. Sejak tadi dia menelepon pacarnya, Dimas, berulang kali. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat.Berbagai prasangka buruk menyerang pikirannya. Namun, yang paling mungkin adalah Dimas tidak mengangkat teleponnya karena marah, bukan karena sibuk. Tidak pernah Dimas begini. "Seenggaknya angkat, dong, telepon gue. Biar gue bisa jelasin." Citra mulai kesal.Sepanjang perjalanan tadi dia lebih banyak diam. Ketika Atala mengajaknya bicara, dia hanya menjawab sekenanya. Di pikirannya hanya satu. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Agar bisa menelepon Dimas dengan leluasa. Dan dia tak ingin Atala tahu kalau mereka kini sedang ada masalah.Karena Dimas tak kunjung mengangkat teleponnya terpaksa Citra mengirimi pesan panjang lebar. To Dimas Sayang: Dimas kamu nggak marah karena lihat foto aku sama Atala tadi kan? Kamu jangan salah paham, ya, Sayang. Foto itu aku tunjukkin buat keluargaku. Biar mereka percaya kalau aku dan Atala bahagia. B
Belakangan ini Citra merasa agak stres. Tiba-tiba banyak masalah yang menghampiri hidupnya sejak dia menikah. Terutama masalah Dimas yang cemburu. Belum lagi dia yang terbebani dengan amanah papa mertuanya yang memintanya mengubah perilaku Atala. Dan yang tak kalah memusingkan adalah menghadapi tingkah eyang dan menjaga sikap di depan eyang. Itu semua benar-benar melelahkan.Dia merasa amat sangat butuh teman curhat, tapi dia tidak mungkin curhat dengan eyang tentang masalah itu. Karenanya hari itu dia keluar, mengajak Tasya bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari kediamannya. Hanya Tasya yang bisa dia ajak curhat tentang masalah ini. Kebetulan juga mereka sudah lama tak bersua."Sumpah gue nyaris nggak ngenalin lo tadi, makanya agak bingung gue. Kalau lo nggak lambai, gue nggak akan sadar kalau itu lo," cerocos Tasya setelah dia duduk di hadapan temannya itu. Iya, waktu pertama kali datang ke kafe ini, gadis itu agak bingung mencari keberadaan temannya.Citra memutar bola mata. "Leb
Seminggu berlalu setelah hari di mana Citra curhat dengan Tasya.Hubungan Citra dan Dimas pun sudah menemukan titik terang. Setelah bersusah payah Citra membujuk pacarnya untuk percaya dan memintanya tidak cemburu dengan Atala, akhirnya Dimas melunak. Mereka baikan dengan syarat Citra harus menjaga jarak dari Atala. Dimas tak mau lagi melihat Citra posting foto bersama lelaki itu di sosial medianya. Dan Citra menyetujuinya.Dan selama seminggu itu, Citra lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbelanja di Mall, mengatur anggaran belanja. Dia juga jadi sering ke klinik kecantikan. Dia pergi sendiri tanpa ditemani Atala ataupun Dimas.Sesekali Kak Shinta datang ke rumahnya untuk menjenguk keadaan eyang putri. Dan Citra semakin pamer pada kakaknya. Selain wajahnya yang makin glowing, Citra juga mengubah penampilannya--itu permintaan Atala juga. Dia mengenakan pakaian branded. Baju, tas, sepatu dan aksesoris semuanya branded. Singkat kata penampilannya yang sekarang bak artis terkenal.Me
Siang itu para karyawan dan pekerja di perusahaan papa Johan tampak heboh, saling lirik, berbisik-bisik.Bagaimana tidak?Hari itu, Atala datang ke kantor, dia tak sendiri. Anak semata wayang pemilik perusahaan itu datang didampingi istrinya, Citra.Citra yang penampilannya kini telah berbeda bak artis Korea menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.Beberapa karyawan yang ramah tak sungkan menyapanya seiring dengan dia yang melangkah masuk menuju ruang kerja Papa Johan."Halo Mas Atala dan istri ....""Hai istrinya Mas Atala ....""Istrinya Mas Atala cantik, ya.""Hai, kalian seperti pasangan artis Korea, deh. Seperti siapa dia? Yang di film Goblin itu ...."Macam-macam komentar orang tunjukkan. Atala dan Citra menyahuti sapaan dan pujian itu dengan senang dan tak kalah ramah.Tapi diam-diam Atala tak suka dirinya disamakan dengan pemeran pria di film Korea Goblin itu. Karena usianya yang jauh berbeda dengan dirinya yang masih sangat remaja, sedangkan pemeran pria di film Korea Gobl
Hari terus berlalu. Sambil menunggu kabar dari papa yang mengurusi kampus dan pendaftarannya, Atala sering menghabiskan waktu berdua bersama Citra, entah itu di luar atau di rumah. Ya, tak lain demi sandiwara di depan eyang.Hari ini mereka akan menghadiri acara ulang tahun anak sulung Kak Shinta yang ke empat tahun. Acara itu dirayakan besar-besaran di rumah Kak Shinta. Sebagai keluarga tentu mereka juga diundang. Tapi waktu itu eyang putri hanya tinggal di rumah, ditemani para dayang.Berhubung mereka belum ada kesibukan, mereka pun menyempatkan diri untuk datang. Citra sudah menyiapkan kado untuk keponakannya, yakni satu set boneka berbi cantik beserta baju dan kelengkapan lainnya. Bocah itu pasti senang dibelikan berbi, pikir Citra.Begitu mereka tiba di rumah Kak Shinta, acara itu sudah berjalan setengah. Mereka sedang bernyanyi bersama. Kebetulan acara itu diadakan di teras samping rumah Kak Shinta yang kini dimodif sedemikian rupa menjadi ruang berpesta anak-anak. Di sana juga r
"Senang aja dipanggil sayang sama kamu," jawab Atala dengan suara agak keras.Citra memutar bola matanya malas. "Cuman sandiwara, ya. Jangan ge-er!" bisik Citra."Oke, tepuk tangannya yang meriah buat Nuri mana?!" Suara panitia di depan sana terdengar membahana dari mikrofon. Setelah tadi acara diisi dengan nyanyian si kecil, Nuri. "Hadiah buat Nuri yang udah berani nyanyi, anak pintar."Tepuk tangan pun terdengar bergemuruh. Atala dan Citra ikut bertepuk tangan."Sekarang kita masuk ke acara intinya, ya. Yaitu nyanyi lagu selamat ulang tahun. Kita nyanyi bareng-bareng, yuk, kita nyanyi buat Nuri." Kembali, suara sang panitia terdengar mengisi.Citra dan Atala fokus menikmati pesta yang dipenuhi pekikan riang bocah itu.***Ketika acara ulang tahun itu sudah selesai, para tamu undangan yang merupakan orang tua teman Nuri langsung pulang. Tapi tentu tidak dengan keluarga dekat yang lain. Mereka berkumpul ke ruang tengah rumah Shinta, tak terkecuali Atala dan Citra. Sebenarnya Citra mal
Citra dan Atala belum juga pulang dari rumah kakaknya itu. Setelah mengobrol, menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh kakaknya, Atala yang tak kuasa ditanya lagi memilih menjauh dari sana. Citra ikutan. Kini mereka berdua malah menghabiskan waktu duduk-duduk berdua di area pesta tadi sambil menikmati makanan yang ada. Yakni kue brownies coklat dan kue ulang tahun Nuri yang sudah dipotong-potong."Onty Citra ...." Gadis mungil berambut panjang, mengenakan bando dan baju kembang itu berlari-lari kecil ke arah Citra."Hei, keponakan Onty yang paling cantik ...," sambut Citra riang.Gadis kecil itu duduk ke pangkuan Citra dan tersenyum semringah menatapnya."Kangen ya sama Onty?""Onty lama nggak ke sini," balas bocah itu."Iya, Onty sibuk soalnya." Ya, dulu setiap kali main ke rumah Kak Shinta, apalabila dia ada di rumah, gadis kecil itu menyambut kedatangan Citra, dia senang mengajak Citra bermain. "Btw kamu cantik banget hari ini. Kayak princess kecil.""Ya iyalah cantik, kan aku baru aja n
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?