Hari terus berlalu. Sambil menunggu kabar dari papa yang mengurusi kampus dan pendaftarannya, Atala sering menghabiskan waktu berdua bersama Citra, entah itu di luar atau di rumah. Ya, tak lain demi sandiwara di depan eyang.Hari ini mereka akan menghadiri acara ulang tahun anak sulung Kak Shinta yang ke empat tahun. Acara itu dirayakan besar-besaran di rumah Kak Shinta. Sebagai keluarga tentu mereka juga diundang. Tapi waktu itu eyang putri hanya tinggal di rumah, ditemani para dayang.Berhubung mereka belum ada kesibukan, mereka pun menyempatkan diri untuk datang. Citra sudah menyiapkan kado untuk keponakannya, yakni satu set boneka berbi cantik beserta baju dan kelengkapan lainnya. Bocah itu pasti senang dibelikan berbi, pikir Citra.Begitu mereka tiba di rumah Kak Shinta, acara itu sudah berjalan setengah. Mereka sedang bernyanyi bersama. Kebetulan acara itu diadakan di teras samping rumah Kak Shinta yang kini dimodif sedemikian rupa menjadi ruang berpesta anak-anak. Di sana juga r
"Senang aja dipanggil sayang sama kamu," jawab Atala dengan suara agak keras.Citra memutar bola matanya malas. "Cuman sandiwara, ya. Jangan ge-er!" bisik Citra."Oke, tepuk tangannya yang meriah buat Nuri mana?!" Suara panitia di depan sana terdengar membahana dari mikrofon. Setelah tadi acara diisi dengan nyanyian si kecil, Nuri. "Hadiah buat Nuri yang udah berani nyanyi, anak pintar."Tepuk tangan pun terdengar bergemuruh. Atala dan Citra ikut bertepuk tangan."Sekarang kita masuk ke acara intinya, ya. Yaitu nyanyi lagu selamat ulang tahun. Kita nyanyi bareng-bareng, yuk, kita nyanyi buat Nuri." Kembali, suara sang panitia terdengar mengisi.Citra dan Atala fokus menikmati pesta yang dipenuhi pekikan riang bocah itu.***Ketika acara ulang tahun itu sudah selesai, para tamu undangan yang merupakan orang tua teman Nuri langsung pulang. Tapi tentu tidak dengan keluarga dekat yang lain. Mereka berkumpul ke ruang tengah rumah Shinta, tak terkecuali Atala dan Citra. Sebenarnya Citra mal
Citra dan Atala belum juga pulang dari rumah kakaknya itu. Setelah mengobrol, menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh kakaknya, Atala yang tak kuasa ditanya lagi memilih menjauh dari sana. Citra ikutan. Kini mereka berdua malah menghabiskan waktu duduk-duduk berdua di area pesta tadi sambil menikmati makanan yang ada. Yakni kue brownies coklat dan kue ulang tahun Nuri yang sudah dipotong-potong."Onty Citra ...." Gadis mungil berambut panjang, mengenakan bando dan baju kembang itu berlari-lari kecil ke arah Citra."Hei, keponakan Onty yang paling cantik ...," sambut Citra riang.Gadis kecil itu duduk ke pangkuan Citra dan tersenyum semringah menatapnya."Kangen ya sama Onty?""Onty lama nggak ke sini," balas bocah itu."Iya, Onty sibuk soalnya." Ya, dulu setiap kali main ke rumah Kak Shinta, apalabila dia ada di rumah, gadis kecil itu menyambut kedatangan Citra, dia senang mengajak Citra bermain. "Btw kamu cantik banget hari ini. Kayak princess kecil.""Ya iyalah cantik, kan aku baru aja n
"Ciee ... senyum-senyum sendiri liatin foto kita ...."Citra sedikit tersentak mendengar suara Atala begitu dekat di telinganya. Cepat dia menelungkupkan ponselnya di pangkuan dan menoleh ke Atala.Pria itu memasang tampang menyebalkan sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Citra benci melihat ekspresi itu.Tangan Citra spontan melayang ke pipinya. Tidak sakit tamparan itu, tapi cukup membuat kepala Atala bergerak. Atala yang sedang menyetir melotot menatapnya kemudian, ekspresinya berubah. "Kok gue ditampar?""Biarin." Citra mengulurkan lidahnya, mengejek Atala."Malu, ya, ketahuan liatin foto gue?" Citra mendelik. "Gue nggak liatin foto lo ya, di sini juga ada muka gue dan Nuri." Citra menunjuk-nunjuk layar ponselnya."Sama aja.""Beda, dong. Karena di sini ada muka gue dan Nuri yang lucu banget. Itu yang membuat gue senyum-senyum sendiri.""Terserah, deh." Atala malas berdebat. Lelaki itu lalu memilih fokus menyetir.Sejatinya mereka sama. Sama-sama gengsi.Citra pun memilih sibuk
"Ada apa gerangan lo ke sini? Nggak mungkin kalau cuman mau pesan kopi."Atala tertawa mendengar pertanyaan itu. Belum sempat dia menjawab, Romi yang baru selesai mengantar pesanan muncul dan ikut bertanya. "Hai, La, sama siapa lo? Cewek mana lagi nih yang lo embat bawa ke sini?" tanyanya saat memperhatikan gadis yang berdiri di samping Atala sejak tadi, Citra.Tristan menatap Citra juga dengan pandangan serupa, dalam hati mengagumi kalau gadis di hadapannya ini manis, cantik natural. Tidak seperti cewek-cewek yang Atala bawa sebelumnya."Nah, inilah tujuan gue sekarang ke sini," ucap Atala kemudian sambil melirik Citra yang terdiam sejak tadi. Gadis itu tampaknya sibuk dengan pikirannya sendiri."Gue mau memperkenalkan istri gue ke elo pada." Atala semringah.Wajah Tristan dan Romi langsung berubah. Tristan tampak tersenyum sedangkan Romi tampak segan saat menatap Citra, entah kenapa."Kenalan dulu, Sayang," bisik Atala pada Citra.Citra pun mengulurkan tangannya pada Tristan lebih du
Hari ini, Citra ketemuan dengan Dimas di salah satu perpustakaan daerah yang ada di Jakarta. Seperti biasa, mereka ketemuan untuk belajar. Citra minta diajari Dimas perihal cara mengisi soal tes masuk perguruan tinggi negeri. Dimas juga yang menyarankan tempat itu. Karena di sana tersedia banyak pilihan buku. Mereka jadi lebih mudah mencari referensi.Awalnya Citra fokus mendengarkan Dimas mengajarinya. Namun, lambat laun Citra merasa bosan dan mulai mengantuk."Sayang aku bosan ...," ucap Citra tiba-tiba saat Dimas masih semangat menjelaskan. Menuliskan angka-angka dalam rumus di atas kertas.Citra yang sejak tadi bertopang dagu menguap kecil. "Belajarnya udah dulu aja, ya." Citra menatap Dimas dengan pandangan memohon.Dimas yang mengerti langsung mengiyakan saja. Pria itu lalu mengemaskan buku-bukunya.Citra melirik jam di pergelangan tangannya, masih pukul dua siang. "Gimana kalau sekarang kita makan di Mall aja? Sekalian nonton film," ajak Citra sambil tersenyum. Gadis itu terlih
Begitu tiba di rumah, Citra langsung melepas rangkulan Atala dari bahunya. "Biasa aja." tegasnya. Melihat itu Atala pun menjawab. "Biasa aja kalik. Gue juga ogah meluk lo.""Terus tadi kenapa meluk gue di depan pacar gue?" tanya Citra tak suka."Sengaja aja, biar pacar lo cemburu.""Terus kenapa? Kenapa lo mau bikin pacar gue cemburu?""Mau liat seberapa cinta dia sama lo. Kira-kira tadi dia cemburu nggak, ya?" Atala terlihat berpikir sambil memegang dagu.Citra kesal melihatnya. "Kurang kerjaan lo.""Citra dari mana saja kamu?" Eyang putri tiba-tiba muncul. Atala dan Citra spontan melotot dan saling pandang. Citra harap kali ini eyang putri tak mendengar perdebatan mereka tadi. Dia juga berharap eyang tak melihat mobil Dimas yang sempat mengantarnya tadi. Duh, dia nyaris lupa!"Aku habis jalan-jalan dari perpustakaan, Eyang." Citra meringis. "Ngapain ke perpustakaan?" "Enggak, baca-baca aja, Eyang. Nggak pa-pa kan kalau aku baca-baca." Citra tersenyum. Dia berharap eyang tidak me
Satu jam kemudian, masakan sop ayam homade ala Citra sudah jadi dan tersaji dalam mangkok besar.Warna kuah yang bening, potongan ayam dan sayur yang terlihat warna-warni membuat Atala semakin lapar melihatnya.Lelaki itu mengusap perutnya yang makin keroncongan. Dia jadi tidak sabar untuk mencicipi makanan itu."Udah selesai kan tugas gue? Udah, ya, lo sekarang tinggal makan aja. Nggak usah ganggu gue lagi." Citra melangkah hendak meninggalkan dapur. Namun, urung saat tangannya dipegang erat oleh suaminya. Membuat Citra mau tak mau berbalik menatap tajam netra lelaki itu."Enak aja bilang tugas lo udah selesai," ucap Atala."Apa lagi?""Duduk! Temenin gue makan!" titah Atala tidak ingin ditolak."Enak aja lo nyuruh-nyuruh. Lo pikir gue nggak punya kerjaan?!""Emang lo nggak punya pekerjaan kan?"Citra menatap Atala tak suka. Enak saja dia bicara. Citra punya banyak tugas yang harus dia selesaikan. Dia ingin mempelajari tugas yang Dimas kasih tadi. Dia sudah berjanji akan mengulangi pe
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?