Begitu tiba di rumah, Citra langsung melepas rangkulan Atala dari bahunya. "Biasa aja." tegasnya. Melihat itu Atala pun menjawab. "Biasa aja kalik. Gue juga ogah meluk lo.""Terus tadi kenapa meluk gue di depan pacar gue?" tanya Citra tak suka."Sengaja aja, biar pacar lo cemburu.""Terus kenapa? Kenapa lo mau bikin pacar gue cemburu?""Mau liat seberapa cinta dia sama lo. Kira-kira tadi dia cemburu nggak, ya?" Atala terlihat berpikir sambil memegang dagu.Citra kesal melihatnya. "Kurang kerjaan lo.""Citra dari mana saja kamu?" Eyang putri tiba-tiba muncul. Atala dan Citra spontan melotot dan saling pandang. Citra harap kali ini eyang putri tak mendengar perdebatan mereka tadi. Dia juga berharap eyang tak melihat mobil Dimas yang sempat mengantarnya tadi. Duh, dia nyaris lupa!"Aku habis jalan-jalan dari perpustakaan, Eyang." Citra meringis. "Ngapain ke perpustakaan?" "Enggak, baca-baca aja, Eyang. Nggak pa-pa kan kalau aku baca-baca." Citra tersenyum. Dia berharap eyang tidak me
Satu jam kemudian, masakan sop ayam homade ala Citra sudah jadi dan tersaji dalam mangkok besar.Warna kuah yang bening, potongan ayam dan sayur yang terlihat warna-warni membuat Atala semakin lapar melihatnya.Lelaki itu mengusap perutnya yang makin keroncongan. Dia jadi tidak sabar untuk mencicipi makanan itu."Udah selesai kan tugas gue? Udah, ya, lo sekarang tinggal makan aja. Nggak usah ganggu gue lagi." Citra melangkah hendak meninggalkan dapur. Namun, urung saat tangannya dipegang erat oleh suaminya. Membuat Citra mau tak mau berbalik menatap tajam netra lelaki itu."Enak aja bilang tugas lo udah selesai," ucap Atala."Apa lagi?""Duduk! Temenin gue makan!" titah Atala tidak ingin ditolak."Enak aja lo nyuruh-nyuruh. Lo pikir gue nggak punya kerjaan?!""Emang lo nggak punya pekerjaan kan?"Citra menatap Atala tak suka. Enak saja dia bicara. Citra punya banyak tugas yang harus dia selesaikan. Dia ingin mempelajari tugas yang Dimas kasih tadi. Dia sudah berjanji akan mengulangi pe
"La, gue boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Citra tiba-tiba membuat Atala menatapnya.Lelaki itu menaikkan alisnya. "Tanya apa?""Lo dulu kok bisa nakal banget, sih?" Atala terdiam mendengar pertanyaan itu. Sendoknya yang sejak tadi bergerak, terhenti di atas piring, mulutnya juga berhenti mengunyah. Tatapannya mengarah ke piring.Melihat perubahan itu, Citra merasa tak nyaman. "Maaf pertanyaan gue nyinggung lo. Maksud gue kenapa lo dulu bisa senakal itu? Kelihatan kayak cowok bad boy, padahal sebenarnya lo baik." Citra meringis. Dia mengakui Atala baik.Dan kalimat terakhir itu berhasil membuat Atala menatapnya. Citra masih meringis."Kenapa lo malah nanyain itu?" Atala malah bertanya balik. "Gue emang nakal kali, nggak karena apa-apa.""Gue kirain ada sebabnya."Lagi, ucapan itu membuat Atala menatap Citra tak habis pikir. Atala bingung kenapa Citra bisa berpikir demikian. Apakah hanya kebetulan? Tapi rasanya tak mungkin hanya kebetulan. Dan Citra satu-satunya perempuan yang bertany
Siang itu, tiba-tiba Papa Johan datang ke rumah. Atala dan Citra menyambut kedatangan pria itu dengan senang. Di sana juga ada eyang putri. Eyang putri ikut mendengarkan percakapan mereka. Awalnya mereka membahas banyak hal, sampai papa Johan fokus pada tujuan dia datang kemari."Oh iya, Atala, sebenarnya tujuan Papa datang kemari, karena ada kabar bahagia buatmu dan Citra."Ucapan Papa Johan yang demikian membuat keduanya makin penasaran."Oh iya apa itu, Pa?" Atala menatap papanya penasaran. Berharap kali ini benar-benar kabar bahagia. "Soal kuliah kamu. Papa sudah urus pendaftaran kuliahmu ke kampus yang bisa nerima kamu. Papa juga sudah bayarkan biaya masuknya. Selebihnya kamu yang urus. Ini kabar baik kan?""Serius, Pa?" Atala terlihat senang. "Iya, Pa. Baik banget, Pa. Makasih, ya, Pa." Dia tersenyum sekilas ke arah istrinya yang membalas senyumnya singkat.Johan mengangguk. "Kuliah yang benar.""Aku janji, Pa, bakal jalanin kuliah ini dengan baik dan sampai selesai."Papa Joh
"Melamun aja."Citra tersentak saat sesuatu yang dingin menyentuh hidungnya. Di hadapannya terulur es krim cone yang krimnya barusan menyentuh hidungnya.Citra langsung cemberut mengusap hidungnya yang terkena krim yang menempel di hidungnya. "Lengket."Dimas tertawa dan duduk di hadapannya. "Abis melamun muluk, sih. Nih buat kamu."Citra menerima es krim cone pemberian Dimas itu sambil tersenyum. "Makasih ....""Sama-sama, Sayang ...." Dimas mengacak rambut Citra.Kini dua sejoli itu sedang menikmati malam minggu di sebuah Mall, seperti biasanya. Dua sejoli itu memang senang menghabiskan waktu di Mall, walaupun tidak belanja banyak, walaupun hanya sekadar makan. Dimas adalah pribadi yang sederhana. Dia tidak suka berfoya-foya seperti Atala. Itulah salah satu kelebihannya yang Citra suka.Citra lalu menikmati es krimnya."Enak?" tanya Dimas yang juga mencicipi es krimnya.Citra mengangguk."Kamu mikirin apa, sih? Aku perhatiin melamun aja dari tadi," tegur Dimas lagi karena Citra tak
"Jadi Citra belum pulang, Mbak? Serius?"Setelah puas menghibur diri dengan melakukan hobinya--bermain band dan bernyanyi di ruang musik lantai atas, Atala turun ke bawah. Dia pikir Citra sudah pulang, tapi dia tak melihat keberadaan gadis itu. Hingga dia bertanya pada ART nya, dan jawabannya membuatnya kecewa."Iya, Tuan. Belum."Atala terdiam. Saat ini cewek itu pasti sedang asyik dengan pacarnya."Tuan nggak perlu khawatir," ucap Tyas lagi melihat kekhawatiran pada wajah sang majikan. "Bentar lagi mungkin Non Citra bakal pulang. Mungkin sekarang sedang di jalan." Tyas menenangkan."Iya, makasih, ya," jawab Atala kemudian. Selepas kepergian ART-nya, Atala berdecak kesal. "Lama banget sih tuh cewek pulangnya. Ini udah lumayan malam." Atala melirik jarum jam di pergelangan tangannya.Entahlah, rasanya dia tak suka gadis itu jauh darinya terlalu lama. Dia tak rela membayangkan cewek itu bersama lelaki lain. "Nyesel gue ngizininnya pergi tadi," gumam Atala.Lelaki itu lalu merogoh ponsel
"Gue liat ya tadi lo mau cium istri gue!"Citra melotot mendengarnya. Dia menatap Dimas penuh tanda tanya. Apa benar yang Atala katakan? Demikian maksud tatapannya."Cium apa, sih. Gue tadi cuman berusaha buat bangunin dia," jawab Dimas. Atala tak percaya dan malah menatap cowok itu terang-terangan. "Jangan bohong lo! Gue tahu ya lo tadi mau berbuat mesum di mobil!"Citra memperhatikan dua lelaki di hadapannya dengan cemas. Sesekali dia melirik ke rumah, takut eyang putri keluar. "Terserah lo mau bilang apa. Yang pasti gue nggak kayak yang lo pikirin," jawab Dimas masih terlihat tenang. Citra mendekat dan berusaha melerai keduanya dengan memegangi dada kedua lelaki itu. Dan menatapnya bergantian. "Hei, kalian jangan berantem di sini, dong. La, udah dong, nanti Eyang denger." Tidak ada yang lebih penting bagi Citra selain perasaan eyangnya saat ini."Dia mau mesum sama lo, terus gue sebagai suami diam aja?!" Atala menatap Citra."Dia nggak mesum!" balas Citra."Lo nggak tahu, Cit, lo
Selepas bertengkar dengan Atala, Citra langsung berlari masuk ke rumah. Dia sempat melihat eyang putri yang baru keluar dari kamarnya, dan orang tua itu sempat melihat dirinya dengan tatapan heran.Sebelum eyangnya bertanya, cepat Citra masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Di kamar, dia langsung menghubungi Dimas. Citra tahu bagaimana perasaan Dimas saat ini. Dari tatapannya tadi, Citra tahu lelaki itu amat kecewa dengannya karena beranggapan dia lebih membela Atala.Selama ini Dimas begitu baik dengannya, Citra tak ingin membiarkan perasaan lelaki itu terluka atau membiarkannya salah paham. Citra menempelkan benda pipih itu ke telinganya sambil mondar-mandir di kamar itu. Awalnya terdengar dua kali nada sambung sebelum akhirnya nada sambung itu terhenti, panggilannya ditolak.Jantung Citra sontak berdebar kencang saat menatap layar ponselnya. Kekhawatirannya tentang Dimas yang kecewa menjadi. Tapi Citra tak menyerah. Dia terus menelepon pacarnya itu sampai panggilannya yang kesekian
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo