"Senang aja dipanggil sayang sama kamu," jawab Atala santai. Lantas meneguk minumannya.Citra memutar bola matanya malas. "Oke, tepuk tangannya buat Nuri mana." Panitia di depan sana kembali bersuara setelah tadi acara diisi dengan nyanyian si kecil, Nuri. "Hadiah buat Nuri yang udah berani nyanyi, anak pintar."Semua tamu yang duduk di sana pun bertepuk tangan. Tak terkecuali Citra dan Atala. "Sekarang kita masuk ke acara intinya, ya. Yaitu nyanyi lagu selamat ulang tahun. Kita nyanyi bareng-bareng yuk, kita nyanyi buat Nuri." Suara Panitia dengan mikrofon terdengar membahana memenuhi ruangan itu.Citra dan Atala fokus menikmati pesta yang dipenuhi pekikan riang bocah itu.***Ketika acara ulang tahun itu sudah selesai, para tamu undangan yang merupakan orang tua teman Nuri langsung pulang. Tapi tentu tidak dengan keluarga dekat yang lain. Mereka berkumpul ke ruang tengah rumah Shinta, tak terkecuali Atala dan Citra. Sebenarnya Citra malas untuk gabung ke sini. Karena momen ini bia
Citra dan Atala belum juga pulang dari rumah kakaknya itu. Setelah mengobrol menjawab pertanyaan-pertanyaan kakaknya, Atala yang tak kuasa ditanya lagi memilih menjauh dari sana. Citra ikutan. Kini mereka berdua malah menghabiskan waktu duduk-duduk berdua di area pesta tadi sambil menikmati makanan yang ada."Onty Citra ...." Gadis mungil berambut panjang, mengenakan bando dan baju kembang itu berlari-lari kecil ke arah Citra."Hei, keponakan Onty yang paling cantik ...," sambut Citra riang.Gadis kecil itu duduk ke pangkuan Citra dan tersenyum semringah menatapnya."Kangen ya sama Onty?""Onty lama nggak ke sini," balas bocah itu."Iya, Onty sibuk soalnya." Ya, setiap kali main ke rumah Kak Shinta mengunjungi eyang, apalabila dia ada di rumah, gadis kecil itu menyambut kedatangan Citra, dia senang mengajak Citra bermain. "Btw kamu cantik banget hari ini. Kayak princess kecil.""Ya iyalah cantik, kan aku baru aja ngadain pesta ulang tahun, gimana sih, Onty." Tiba-tiba Atala menyahut se
"Ciee ... senyum-senyum sendiri liatin foto kita ...."Citra sedikit tersentak mendengar suara Atala begitu dekat di telinganya. Cepat dia menelungkupkan ponselnya di pangkuan dan menoleh ke Atala.Pria itu memasang tampang menyebalkan sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Ekspresi yang selalu dia tunjukkan ketika dia begitu percaya diri. Ekspresi yang Citra tak suka.Tangan Citra spontan melayang ke pipinya. Tidak sakit tamparan itu, tapi cukup membuat kepala Atala menoleh. Atala melotot menatapnya kemudian, ekspresinya berubah. "Kok gue ditampar?""Biarin." Citra mengulurkan lidahnya, mengejek Atala."Malu, ya, ketahuan liatin foto gue?" Citra mengernyit. "Gue nggak liatin foto lo ya, di sini juga ada muka gue dan Nuri." Citra menunjuk-nunjuk layar ponselnya."Sama aja.""Gue nggak senyum-senyum karena liatin muka lo, ya. Tapi liatin muka Nuri yang lucu banget, tuh.""Terserah, deh." Atala malas berdebat. Lelaki itu lalu bersandar di kursi mobil sambil bersidekap dada, menatap peman
Beberapa hari kemudian."Kamu sadar nggak sih akhir-akhir ini hubungan kita tuh kurang harmonis," ucap Dimas sambil menyetir. "Kita jarang ketemu, kamu sibuk terus dengan pernikahanmu dengan si Talas itu."Citra melirik wajah Dimas yang terlihat masam. Lelaki itu sedang kesal. Ya, sebenarnya Citra juga merasakan apa yang Dimas katakan. Perempuan itu memegang tangan pacarnya yang terletak di atas paha cowok itu, mengusapnya pelan. "Maaf, ya, Sayang. Akhir-akhir ini aku sibuk sendiri. Aku emang banyak masalah. Masalah teror itu benar-benar mengganggu dan bikin aku takut. Belum lagi masalah keluargaku sendiri. Makanya sekarang aku berusaha luangin waktu buat kamu. Aku harap kamu ngerti, ya."Dimas malah menggeleng dan melarikan tangannya dari genggaman Citra. "Bukan. Bukan soal kamu yang sibuk nyelesaiin masalahmu."Citra mengernyit tak mengerti. "Apa?""Tapi kamu tuh emang berubah. Sikapmu yang berubah ke aku karena kamu lebih dekat sama suamimu itu, kamu lebih perhatian sama dia.""Ya
Ting Tong!Siang itu Citra sedang belajar untuk persiapan masuk PTN seorang diri di kamarnya, ketika bel berdentang nyaring memenuhi rumah."Sebentar!" Terdengar Bi Rahma menyahut.Kepala Citra yang menunduk karena menatap buku seketika menegak. Ada tamu datang. Citra pun menutup bukunya, menyudahi belajarnya. Gadis itu berdiri keluar kamar untuk menemui tamunya itu. Siapa kah mereka? Kak Shinta? Atau Eyang bersama Kak Shinta? Atau Tasya?Begitu dia keluar kamar, dari kejauhan terasnya terlihat ramai. Bukan, mereka bukan keluarganya. Citra berlari-lari kecil menghampiri."Teman-teman Tuan Atala datang." Bi Rahma memberitahu."Oh ...." Citra mengangguk-angguk. "Biar aku yang nemuin mereka. Bibi bikinin camilan buat mereka, ya?" suruh Citra."Camilan apa, Non?"Citra terlihat berpikir. "Hmm martabak sosis aja. Bisa kan, Bi?""Hai, Citra!"Rani tiba-tiba memanggil dari kejauhan, tapi Citra hanya membalasnya dengan senyuman. Dia sibuk bicara dengan asistennya. Bi Rahma kemudian masuk ke d
"Tanya aja Atala langsung kalau urusan itu. Gue suruh dia minta bantuan Papa nggak mau. Dia bilang mau urus sendiri. Tapi nggak juga ngelakuin apa-apa. Sok aja tuh anak. Tapi akhir-akhir ini teror itu udah berhenti, sih.""Nanti kalau ada lagi gimana?""Mudah-mudahan nggak deh. Gue kira orang itu udah nggak berani, kan takut sama polisi." Citra pernah cerita sepintas pada Tasya tentang teman-teman Atala yang menolong Atala di gedung terbengkalai itu."Maaf, nih, ya, Cit. Bukannya gue nggak percaya. Rasanya nggak mungkin masalahnya bisa selesai gitu aja hanya karena suara sirene polisi bohongan itu. Penjahat ulung itu nggak pandai kapok, Cit. Mereka nggak takut sama polisi. Gue rasa nih ya mereka cuman nunggu waktu yang tepat aja buat ganggu kalian lagi." Tasya bercerita panjang lebar mengemukakan pendapatnya.Citra juga takut sebenarnya, tapi dia memilih tidak terlalu memikirkan masalah itu. Gadis itu bertekad dalam hati akan memberi tahu papa soal ini seandainya orang itu menggangguny
"Keluarga gue akhir-akhir ini emang punya masalah keuangan, Cit. Bokap dan nyokap gue terlilit utang. Banyak barang-barang branded kita yang udah dijual untuk menebus utang. Mobil bokap gue juga udah dijual satu demi utang itu. Biaya UKT gue nunggak belum dibayar. Kalau bulan depan gue nggak bayar lagi, bisa-bisa gue berhenti kuliah. Gue emang lagi butuh duit banget buat bayar kuliah gue. Gue nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa selain lo sahabat baik gue."Kata-kata Tasya terngiang-ngiang di telinga Citra. Tidak bisa dia lupakan begitu saja. Selama ini Tasya selalu baik dan menolongnya. Mereka kenal dari masa sekolah. Sejak dulu, sejak dia masih susah tinggal bersama Eyang, Tasya selalu membantu masalah keuangannya. Tasya juga menjaminnya dan membelikannya buku-buku pelajaran dan barang-barang mahal tiap mereka jalan ke Mall. Keluarga Tasya memang dari kalangan berada. Jika Citra boleh samakan, keluarga Tasya setara dengan keluarga Atala. Tapi memang selalu ada rahasia kelam
"Ngomong apa, sih? Susah banget kedengarannya?" tanya Atala tak sabaran. Pria itu sudah menikmati martabak telurnya."Gue boleh nggak pinjamin Tasya duit?" tanya Citra takut-takut. Kentara sekali wajahnya terlihat cemas. Khawatir kalau Atala tidak mengizinkan.Atala yang sibuk mengunyah menghentikan aktivitasnya. Lelaki itu malah menatap Citra heran. "Kenapa? Nggak boleh, ya?" tanya Citra lagi. Gadis itu meringis."Tasya minjam duit ke elo?" tanya Atala memastikan.Citra mengangguk. "Iya.""Nggak salah?" Atala sungguh terheran-heran. "Dia kan anak orang tajir." Lelaki itu lalu tertawa terbahak-bahak seolah itu adalah hal yang amat lucu. "Masak dia pinjam duit ke elo sih?""Dia bilang orang tuanya akhir-akhir ini lagi ada masalah keuangan," jawab Citra. "Keluarga mereka selama ini nggak seenak yang kita kira tauk. Mereka punya banyak utang. Lo jangan cerita ke siapa-siapa tentang ini, ya. Kasihan Tasya."Atala mengangguk-angguk setelah tawanya mereda. "Emang dia pinjam duit berapa? Bua