Jangan bosan-bosan sama cerita aku ya, Gaes. Cerita ini memang sengaja aku tulis begini. Konfliknya yang ringan-ringan aja. Ikuti terus kelanjutannya. Terimakasih.
Beberapa hari kemudian."Kamu sadar nggak sih akhir-akhir ini hubungan kita tuh kurang harmonis," ucap Dimas sambil menyetir. "Kita jarang ketemu, kamu sibuk terus dengan pernikahanmu dengan si Talas itu."Citra melirik wajah Dimas yang terlihat masam. Lelaki itu sedang kesal. Ya, sebenarnya Citra juga merasakan apa yang Dimas katakan. Perempuan itu memegang tangan pacarnya yang terletak di atas paha cowok itu, mengusapnya pelan. "Maaf, ya, Sayang. Akhir-akhir ini aku sibuk sendiri. Aku emang banyak masalah. Masalah teror itu benar-benar mengganggu dan bikin aku takut. Belum lagi masalah keluargaku sendiri. Makanya sekarang aku berusaha luangin waktu buat kamu. Aku harap kamu ngerti, ya."Dimas malah menggeleng dan melarikan tangannya dari genggaman Citra. "Bukan. Bukan soal kamu yang sibuk nyelesaiin masalahmu."Citra mengernyit tak mengerti. "Apa?""Tapi kamu tuh emang berubah. Sikapmu yang berubah ke aku karena kamu lebih dekat sama suamimu itu, kamu lebih perhatian sama dia.""Ya
Ting Tong!Siang itu Citra sedang belajar untuk persiapan masuk PTN seorang diri di kamarnya, ketika bel berdentang nyaring memenuhi rumah."Sebentar!" Terdengar Bi Rahma menyahut.Kepala Citra yang menunduk karena menatap buku seketika menegak. Ada tamu datang. Citra pun menutup bukunya, menyudahi belajarnya. Gadis itu berdiri keluar kamar untuk menemui tamunya itu. Siapa kah mereka? Kak Shinta? Atau Eyang bersama Kak Shinta? Atau Tasya?Begitu dia keluar kamar, dari kejauhan terasnya terlihat ramai. Bukan, mereka bukan keluarganya. Citra berlari-lari kecil menghampiri."Teman-teman Tuan Atala datang." Bi Rahma memberitahu."Oh ...." Citra mengangguk-angguk. "Biar aku yang nemuin mereka. Bibi bikinin camilan buat mereka, ya?" suruh Citra."Camilan apa, Non?"Citra terlihat berpikir. "Hmm martabak sosis aja. Bisa kan, Bi?""Hai, Citra!"Rani tiba-tiba memanggil dari kejauhan, tapi Citra hanya membalasnya dengan senyuman. Dia sibuk bicara dengan asistennya. Bi Rahma kemudian masuk ke d
"Tanya aja Atala langsung kalau urusan itu. Gue suruh dia minta bantuan Papa nggak mau. Dia bilang mau urus sendiri. Tapi nggak juga ngelakuin apa-apa. Sok aja tuh anak. Tapi akhir-akhir ini teror itu udah berhenti, sih.""Nanti kalau ada lagi gimana?""Mudah-mudahan nggak deh. Gue kira orang itu udah nggak berani, kan takut sama polisi." Citra pernah cerita sepintas pada Tasya tentang teman-teman Atala yang menolong Atala di gedung terbengkalai itu."Maaf, nih, ya, Cit. Bukannya gue nggak percaya. Rasanya nggak mungkin masalahnya bisa selesai gitu aja hanya karena suara sirene polisi bohongan itu. Penjahat ulung itu nggak pandai kapok, Cit. Mereka nggak takut sama polisi. Gue rasa nih ya mereka cuman nunggu waktu yang tepat aja buat ganggu kalian lagi." Tasya bercerita panjang lebar mengemukakan pendapatnya.Citra juga takut sebenarnya, tapi dia memilih tidak terlalu memikirkan masalah itu. Gadis itu bertekad dalam hati akan memberi tahu papa soal ini seandainya orang itu menggangguny
"Keluarga gue akhir-akhir ini emang punya masalah keuangan, Cit. Bokap dan nyokap gue terlilit utang. Banyak barang-barang branded kita yang udah dijual untuk menebus utang. Mobil bokap gue juga udah dijual satu demi utang itu. Biaya UKT gue nunggak belum dibayar. Kalau bulan depan gue nggak bayar lagi, bisa-bisa gue berhenti kuliah. Gue emang lagi butuh duit banget buat bayar kuliah gue. Gue nggak tahu lagi harus minta tolong ke siapa selain lo sahabat baik gue."Kata-kata Tasya terngiang-ngiang di telinga Citra. Tidak bisa dia lupakan begitu saja. Selama ini Tasya selalu baik dan menolongnya. Mereka kenal dari masa sekolah. Sejak dulu, sejak dia masih susah tinggal bersama Eyang, Tasya selalu membantu masalah keuangannya. Tasya juga menjaminnya dan membelikannya buku-buku pelajaran dan barang-barang mahal tiap mereka jalan ke Mall. Keluarga Tasya memang dari kalangan berada. Jika Citra boleh samakan, keluarga Tasya setara dengan keluarga Atala. Tapi memang selalu ada rahasia kelam
"Ngomong apa, sih? Susah banget kedengarannya?" tanya Atala tak sabaran. Pria itu sudah menikmati martabak telurnya."Gue boleh nggak pinjamin Tasya duit?" tanya Citra takut-takut. Kentara sekali wajahnya terlihat cemas. Khawatir kalau Atala tidak mengizinkan.Atala yang sibuk mengunyah menghentikan aktivitasnya. Lelaki itu malah menatap Citra heran. "Kenapa? Nggak boleh, ya?" tanya Citra lagi. Gadis itu meringis."Tasya minjam duit ke elo?" tanya Atala memastikan.Citra mengangguk. "Iya.""Nggak salah?" Atala sungguh terheran-heran. "Dia kan anak orang tajir." Lelaki itu lalu tertawa terbahak-bahak seolah itu adalah hal yang amat lucu. "Masak dia pinjam duit ke elo sih?""Dia bilang orang tuanya akhir-akhir ini lagi ada masalah keuangan," jawab Citra. "Keluarga mereka selama ini nggak seenak yang kita kira tauk. Mereka punya banyak utang. Lo jangan cerita ke siapa-siapa tentang ini, ya. Kasihan Tasya."Atala mengangguk-angguk setelah tawanya mereda. "Emang dia pinjam duit berapa? Bua
Ada hal baru lagi yang mengganggu pikiran Citra belakangan ini. Sikap Atala yang selalu modus dengannya dan ucapan Tasya.Gadis itu mengingat momentumnya bersama Atala. Sikap manis pria itu."Gue tahu sih dia dari dulu emang suka modus, tapi ...." Citra sibuk berpikir sambil berbaring menatap langit-langit kamar. "Yang kemarin kayaknya sengaja deh." Citra merasa Atala berlebihan dan sengaja melakukan semuanya.Semua sikap modus Atala langsung terbayang kembali diingatannya."Gimana rasanya tadi malam gue cium?"Citra melotot dan menoleh ke Atala. "Lo ingat?""Iya, ingat."Citra diam saja."Kenapa? Mau dicium lagi?""Enggak!""Kalau mau juga nggak pa-pa." Atala tersenyum jahil. Senyum yang memuakkan."Atala!" Citra mencubit pinggang cowok itu hingga dia kesakitan dan minta ampun. "Jangan mesum, ya, lo!""Galak banget, sih, kan gue cuman bercanda. Siapa juga yang mau mesum sama lo, boneka santet!""Tapi kadang cowok itu nyebelin juga. Masak dia bilangin gue boneka santet, sih. Enak aja.
"Lo yakin, Cit, mau datang ke gedung terbengkalai itu?" tanya Tasya saat mereka sudah berada di mobil, menuju tempat yang baru saja mereka bicarakan. "Lo nggak takut kalau di sana tiba-tiba si peneror itu ada?""Hush, jangan ngomong yang nggak-nggak, deh. Gue yakin mereka nggak datang ke sana lagi. Lagian gue juga penasaran seperti apa, sih, tempatnya?""Gila, mau kasih suprise ke Dimas aja sampai segitunya," balas Tasya."Iyalah." Citra menoleh ke kursi di belakangnya. Di mana banyak tootbag berisi kotak-kotak kue dan kado spesial. Gadis itu tersenyum membayangkan reaksi Dimas menerima kejutannya nanti. Lelakinya itu pasti senang dan akan memaafkannya.Hari ini Citra akan melancarkan aksinya memberi Dimas suprise di gedung terbengkalai itu."Gue nggak mau kehilangan dia." Citra melempar pandang ke arah jalanan raya. "Gue akan pertahankan dia apa pun caranya, selama gue mampu." Lalu dia menoleh ke Tasya. "Do'ain, ya, semoga usaha gue lancar dan berhasil."Tasya diam saja. Sebagai tim y
"Citra! Citra! Kamu di mana?!" Citra menahan perasaan saat mendengar suara Dimas. Suara cemas lelaki itu terdengar menggema di gedung terbengkalai itu.Baru saja dia menyuruh Tasya mengirimi pesan ke Dimas, mengabarkan kalau dia ditangkap oleh si peneror itu dan di bawa ke mari. Dan Dimas datang untuk menolongnya. Sikap pria itu membuktikan kalau dia masih peduli dengan Citra, dan itu artinya Dimas masih sayang dengannya.Kini Citra bersembunyi di bilik yang lain sambil tangan sebelahnya menampung sekotak kue, sedangkan tangan sebelahnya menutup mulutnya erat-erat agar tak bersuara dan menimbulkan kecurigaan. Menunggu waktu yang tepat untuk keluar. "Citra! Hai berengsek! Ke mana lo sembunyiin pacar gue?!" teriak Dimas. Lelaki itu sangat percaya dengan pesan Tasya barusan.Citra memandang Tasya yang kini berdiri di depannya. Tasya memberi kode untuk dia segera keluar."Citra!" Dimas terus saja memanggil. Dia terlihat putus asa dan langkahnya maju hendak turun ke bawah.Dan sebelum Dim