Pagi itu sekitar setengah delapan Citra ingin menyiapkan sarapan untuk Atala. Dia ingin kali ini dia yang membuatkan bubur ayam untuk suaminya. Namun, gadis itu tersenyum melihat semangkok bubur ayam itu sudah tersedia di atas nampan di meja makan."Eh, Non Citra mau sarapan?" Tiba-tiba Bi Rahma bertanya. "Enggak, Bi."Lalu pandangannya beralih pada semangkok bubur ayam dan segelas air putih di atas nampan itu. "Itu buat Atala, ya, Bi?" Harusnya dia tak perlu bertanya lagi karena sudah dua hari belakangan ini Bi Rahma selalu menyiapkannya untuk Atala. Hanya saja dia ingin berbasa-basi."Iya, Non. Non kalau mau sarapan, buburnya ada tuh udah siap semua. Tinggal nikmati saja. Bibi sekarang mau bawakan sarapan buat Tuan Atala. Biar nanti dia bangun bisa langsung makan," terang Bi Rahma yang kemudian hendak mengangkat nampan itu. Namun, Citra menginterupsi."Eh, Bi, biar aku aja yang kasih." Citra memegangi nampan itu."Nggak pa-pa, Non?" Bi Rahma menatapnya ragu."Nggak pa-pa, Bi.""Seri
Atala dipaksa Citra untuk sarapan. Bahkan juga dipaksa disuapi. Alasannya Citra mau memastikan kalau Atala makan dengan lahap dan cepat. Mereka makan di ruang tamu."Udah," ucap Atala ketika bubur itu tinggal sedikit lagi."Sedikit lagi, nih, habisin, dong." Citra mengulurkan sesendok bubur terakhir itu ke mulut pria itu.Atala menggeleng."Sedikit lagi." Citra kekeh.Akhirnya Atala mengalah. Membuka mulutnya dan menikmati bubur terakhir itu. "Oke, kelar," ucapnya kemudian."Eh, belum.""Apalagi sih." Atala memelas."Minum susu dulu, nih." Citra mengulurkan segelas susu yang sudah tidak hangat itu pada Atala.Dengan malas-malasan Atala meminumnya hingga setengah. "Nih.""Habisin, dong."Atala memegangi perutnya. "Kenyang banget gue. Mau muntah gue.""Iya, deh." Citra mengalah kali ini."Gue berangkat dulu, ya." Lagi, Atala mengacak puncak kepala Citra. Dan Citra membiarkannya."Ingat, ya. Hati-hati jangan sampai tumbang di jalanan," pesan Citra."Iya." Atala mulai berdiri, berjalan kel
Sore harinya begitu Atala pulang, Citra orang yang pertama menyambut kepulangannya.Begitu terdengar mesin mobil di garasi, Citra yang duduk di ruang tamu sambil menscroll ponsel sejak tadi karena sengaja menunggu kepulangan lelaki itu langsung bergegas menghampiri garasi."Atala, lo nggak pa-pa?" Citra melirik tubuh lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia menatap lekat lelaki itu. "Lo nggak sakit kan? Lo nggak hujan-hujanan kan?""Keadaan gue seperti yang lo lihat." Atala lalu berjalan masuk melewati Citra yang kemudian mengiringinya. "Baju gue nggak basah kan? Itu artinya gue nggak kehujanan.""Tapi tadi ada gerimis dikit. Bulan ini kan musim penghujan.""Ya, cuman gerimis. Waktu itu gue masih di kelas."Citra percaya dan merasa sedikit lega. Tapi diam-diam dia masih memperhatikan suaminya itu.Atala memang terlihat sudah sembuh, tapi ...."Tadi makan apa aja di kantin?" tanya Citra kemudian."Nasi putih, ayam goreng sama telur balado," jawab Atala ogah-ogahan."Mau makan
"Jam segini baru pulang?"Langkah Citra di depan pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah tercekat. Gadis itu menoleh kaku ke arah sumber suara. Dilihatnya Atala berdiri tak jauh darinya sambil bersidekap dada.Gadis itu lalu meringis."Katanya nggak akan pulang terlalu malam, ini udah jam sebelas loh.""Kan baru jam sebelas."Raut wajah Atala berubah mendengarnya. Dia pun mengangguk-angguk. "Oh jadi menurut lo jam sebelas itu belum terlalu malam?""Lo juga biasanya gitu kan? Lewat dari jam dua belas malam malah."Atala mengernyit heran. "Tadi kan katanya nggak akan pulang malam, sekarang gue protes lo malah cari pembelaan. Gimana, sih?""Ya udah sih, maaf. Kan sekarang gue udah di rumah.""Ya udah cepat masuk sana. Cuci kaki dan tangan, tidur."Citra tersenyum samar. "Iya.""Ngapain senyum-senyum gitu?" Atala memandangnya tak suka. "Jangan GR, gue cuman mau lo nepatin janji. Makanya besok-besok kalau nggak bisa pulang awal, jangan sok-sokan janji." Lelaki itu berjalan melen
Sambil tangannya membelai, Atala tersenyum miring memperhatikan wajah dan sekujur tubuh mungil Citra. Atala menyadari dia benar-benar tidak bisa jauh dari Citra. Dan dia benci mengingat Citra yang menghabiskan waktu dengan pacarnya. Dia tak suka melihat Citra bersama lelaki lain selain dirinya. Dan dia ingin menegaskan kalau Citra adalah miliknya. Citra kini hanya diam menunduk diperlakukan oleh Atala demikian. Maka, dia pun mencekal pergelangan tangan Citra erat-erat dan mendorong tubuh gadis itu sampai menempel di tembok kamarnya, dengan gerakan cepat.Saking cepatnya gerakan itu, Citra sampai tak bisa menahan diri. Tahu-tahu dia sudah bersandar di tembok. Mereka kini saling tatap. Citra rasanya ngin menangis saat Atala mengurung tubuhnya dengan kedua lengan lelaki itu dan menatapnya lekat-lekat. "Gue mohon jangan bersikap kayak gini," bisik Citra masih dengan posisi yang sama. "Gue tahu lo orangnya suka bercandaan, gue tahu lo suka iseng, dan gue harap kali ini lo cuman iseng.
Atala lalu memegangi kedua bahu Citra dan menatap gadis itu. Memaksa gadis itu berjalan ke arah tempat tidurnya. Citra mengeraskan diri, tapi tenaga Atala juga cukup kuat hingga kaki gadis itu mau tidak mau ikut terseret ke arah kasur. Mereka kini berhadap-hadapan sambil Atala terus memegangi tubuh Citra."Gue nggak suka liat lo sama Dimas. Gue mau kasih tahu dia kalau lo udah milik gue sekarang. Gue suami lo, su-a-mi. Paham? Jadi perawan lo buat siapa kalau bukan buat suami?" Atala terus mendorong tubuh Citra untuk berjalan. Dan Citra berusaha menahan tubuhnya. "Atala gue mohon jangan. Kita nanti bakal cerai kan? Gue nggak mau--""Kita nggak akan cerai kalau lo nggak mau.""Gue nggak mau cerai dalam keadaan udah nggak ...." Citra terdiam, takut untuk mengatakannya."Kita nggak akan cerai.""Gue nggak mau, La, lepas!" Citra mendorong Atala sekuat tenaganya sampai akhirnya pegangan Atala di tubuhnya terlepas dan tubuh Atala terdorong selangkah ke belakang.Atala bisa melihat wajah Citr
Gue sayang sama loGue sayang sama loGue sayang sama loKalimat itu terus terngiang-ngiang di telinga Citra, bertalu-talu di kepalanya, sejak dia berhasil keluar dari kamar itu dan sampai saat ini. Atala bilang dia hanya bercanda, tapi kenapa Citra merasa Atala sungguh-sungguh saat mengucapkan kalimat itu?"Gini aja. Lo harus jelasin ke gue kenapa lo kasih gue perhatian segitunya? Dan gue nggak mau denger alasan 'karena amanah Papa' gue mau alasan lain dan gue yakin lo punya alasan lain. Kalau enggak mau jelasin, gue bakal cium lo!""Kenapa lo nggak mau kasih perawan lo buat gue?"" .... Kita udah sepasang suami-istri, Cit. Dan gue mau lo nemenin gue malam ini." " .... kali ini gue ingin kasih lo kenikmatan yang nggak pernah lo rasain sebelumnya. Sebagai bentuk kasih sayang gue buat lo."Citra bergidik ngeri mengingatnya kalimat-kalimat itu. "Dasar mesum!" decak gadis itu sebal.Lalu ucapan Atala yang lain ikut terlintas." .... Lo udah sayang kan sama gue? Tolong jelasin kenapa lo
Sejak insiden di kamar Atala malam itu, Citra jadi menjaga jarak dari lelaki itu. Perkataan Atala yang berbau mesum menghantuinya, terus bertalu-talu di kepalanya, membuatnya takut untuk mendekati lelaki itu. Selain itu, dia juga tidak ingin membuat lelaki itu jadi kege-eran dan salah paham dengan sikapnya.Namun, pagi itu tanpa sengaja mereka sarapan bersama, karena ketika Citra sedang menikmati bubur buatan Syifa, ART-nya, lelaki itu pun datang, duduk di hadapannya, ikut sarapan bersamanya.Citra tak memedulikan lelaki itu dan sibuk dengan aktivitasnya saja sambil mendengarkan lelaki itu bicara dan bergurau dengan Bi Rahma seperti biasa."Kalau aku bawa bekal di kampus boleh nggak ya, Bi?" tanyanya di sela aktivitas makannya."Ya, boleh. Malah bagus, lebih hemat dan lebih sehat," jawab Bi Rahma berdiri menghadap wajan di kitchen set, menggoreng nugget dan ayam. "Asal Tuan ndak malu saja."Atala menoleh ke arah Bi Rahma sekilas. "Enggak kok, Bi. Aku nggak malu. Aku mau, dong, Bi. Bant
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo