Mereka menghabiskan waktu bersama eyang dan Kak Shinta sambil menikmati makan siang di meja makan. Menjelang sore Kak Shinta pulang setelah mengambilkan pakaian eyang yang dia siapkan dalam tas. Dan meninggalkan eyang di rumah itu.Citra menyiapkan sendiri kamar untuk eyangnya, yakni di kamar tamu. Sebenarnya Citra mau menemani eyang tidur. Tapi orang tua itu tidak mau. Katanya dia masih bisa tidur sendiri. Dan dia tak ingin Citra meninggalkan Atala tidur sendiri."Malam ini untuk sementara terpaksa kita tidur sekamar," ucap Citra saat dia sudah berdua di kamar dengan Atala. "Lo tidur di sofa, ya, gue tidur di kasur lo." Citra mengatur.Atala pun mengiyakan saja.Citra menghela napas dan menghempaskan tubuhnya di pinggir kasur. "Untung aja cuman semalam. Kalau lebih dari semalam nggak sanggup gue. Gue emang nggak sanggup eyang tinggal di sini, gue nggak bisa." Citra menggeleng-geleng sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.Atala yang kini bersandar di sofanya menatap aksi
Citra mengobrol dengan Eyang sampai tengah malam, tepatnya pukul dua belas. Dia sengaja karena tak kuasa jika harus berlama-lama berdua dengan Atala di kamar itu, tentu saja. Satu jam saja rasanya seperti berpuluh-puluh jam, apalagi ... ah sudahlah.Saat dia kembali ke kamar, dia tak menemukan lelaki itu. "Mungkin dia lagi ambil minum atau ke toilet," gumam Citra. "Biarin ajalah." Citra lalu duduk di kasurnya, mengambil ponselnya untuk mengirimi Dimas pesan. To Dimas SayangSayang, malam ini ada eyang nginap ke rumah aku. Jadinya aku terpaksa tidur di kamar Atala. Kamu jangan cemburu, ya. Aku kan memang harus bersandiwara di depan keluargaku. Nggak mungkin dong aku biarin eyang liat aku dan Atala tidur pisah kamar iyaa kan? Nggak lama kok. Besok eyang udah pulang. Aku sama Atala juga tidurnya pisah. Dia tidur di sofa tuh. Aku harap kamu ngerti, ya. I love you.Setelah mengirim pesan panjang lebar itu, Citra mengirimkan foto sofa tempat di mana Atala tidur agar Dimas percaya.Tak lama
"E-eyang, sejak kapan Eyang di sini?" Citra langsung menutup pintu kamar itu."Kamu kenapa? Eyang dengar kamu teriak-teriak." Eyang memperhatikan cucunya dengan penuh kecurigaan."Eng ....""Kamu sama Atala bertengkar?"Citra menggeleng kencang. "Enggak, Eyang. Itu tadi--""Tapi Eyang tadi dengar suara Atala juga.""Bukan berantem, Eyang. Cuman kita ada salah paham sedikit gitu.""Kamu marah sama Atala?""Iya, tapi kita udah baikan kok, Eyang. Aku sama Atala udah baik-baik aja, iya. Beneran Eyang." Citra tersenyum lebar."Atala mana?" Eyang malah mencari Atala. "Atala lagi mau ganti baju, dia habis mandi, Eyang." Citra menjawab apa adanya, karena dia kehabisan ide untuk berbohong."Kamu kenapa keluar?" Eyang mengernyit heran."Aku--aku nggak enak aja liatnya." Citra benar-benar bingung menjawab apa."Kalian kan sudah suami istri."Citra meringis. "Iya, Eyang, cuman aku nggak enak liatnya. Oh iya Eyang ngapain malam-malam keluar kamar? Eyang belum tidur?" Citra mengalihkan topik pembic
Citra membelalak dan bergegas duduk di atas kasur saat dia sadar, dia telah tertidur. Matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Diliriknya sofa tempat Atala tidur, tapi lelaki itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah bangun."Gue ketiduran, ya, ya ampun!" Citra menepuk dahinya. Apa saja yang sudah terjadi selama dia tidur? Atala sudah bangun duluan daripadanya, jangan-jangan Atala sempat ....Citra menggeleng-geleng. "Dia nggak ngapa-ngapain gue kan?" Citra meraba-raba tubuhnya sendiri. Lalu mengintip tubuhnya melalui kerah bajunya. Bajunya aman. Tidak ada yang terbuka. Dan baju tidur yang dia kenakan masih sama. Itu artinya Atala tidak melakukan macam-macam padanya. Tapi ... Citra masih curiga."Aduh gimana ini?" Saat Citra sibuk dengan pikiran buruknya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, didorong dari luar.Citra sontak menatap pintu dan menemukan Atala masuk. Lelaki itu masih mengenakan pakaian tidur yang sama dengan yang tadi malam. Itu artinya lelaki itu belum mandi."Eh
"Suami istri yang udah sah wajib menjalani kewajibannya. Kalau nggak sama aja kayak suami dan istri yang durhaka. Kayak lo yang bentak-bentak suami lo sendiri, kalau suami lo nggak terima, lo udah berdosa. Itu fakta."Kata-kata itu terus terngiang di kepala Citra. Sangat mengganggu pikirannya dan membuat harga dirinya merasa dilukai. Dia sangat malu. Kenapa baru sekarang Atala membicarakan soal fakta?'Sial! Kenapa sih dia bisa-bisanya ngomong begitu?' batin Citra meradang."Citra ... dimakan nasinya, Cu, jangan diacak-acak begitu ...," tegur Eyang putri yang duduk di sebelahnya. "Makannya pelan-pelan, sendoknya jangan dipukul."Pikiran Citra yang kalut membuatnya tidak fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang hingga tanpa sadar dia mengetukkan sendok ke piring dengan keras. Citra pun tersadar dan sontak menegakan kepalanya. Di hadapannya duduk Atala yang saat ini juga sedang menatapnya. Mereka jadi bersitatap. Atala seperti tahu apa yang sedang Citra pikirkan.Citra hanya melempar
"Non Citra dan Tuan Atala selalu harmonis kok, Eyang." Bi Rahma yang tengah mengaduk kuah sayur bayam di panci tiba-tiba menyahut. ART itu tahu apa yang dirasakan oleh majikannya yang sebenarnya. "Eyang tahu ndak Tuan Atala itu demen masakannya Non Citra. Masakannya yang itu apa tuh, sop ayam, ya. Tuan Atala suka sop ayam buatan Non Citra. Disuruh beli saja dia ndak mau, dia maunya istrinya yang membuatkan. Dan Non Citra selalu membuatkannya. Non Citra selalu berusaha jadi istri yang baik buat Tuan Atala, Eyang." Bi Rahma bercerita panjang lebar.Dan Citra sungguh tak menyangka akan hal itu. Citra yang sempat menangis dalam diam, tersenyum menatap Bi Rahma. "Bi Rahma berlebihan." Lalu dia kembali fokus dengan pekerjaannya memotong daging sapi."Tapi faktanya memang begitu kan?" timpal Bi Rahma lagi."Oh iya?" sahut Eyang menatap Bi Rahma dengan pandangan berbinar. Tatapan orang tua itu terlihat bahagia. "Iya, Eyang," sahut Bi Rahma lagi. "Mereka berdua itu lucu tingkahnya. Bi Rahma s
Waktu terus bergulir. Atala yang mulai masuk kuliah kini sibuk menjalani MOS di kampus. Sementara Citra sibuk belajar di rumah, kadang juga jalan bersama Tasya atau Dimas. Jika keduanya berada di rumah pun keduanya tak peduli satu sama lain.Meski kadang kala Atala ingin bercerita tentang suatu hal yang dia alami di luar sana pada istrinya. Atala hanya bisa menahan perasaan untuk tidak bercerita dan memendam masalahnya seorang diri. Untung saja masalah teror itu benar-benar tidak lagi muncul belakang ini, hingga Atala tidak begitu pusing memikirkannya lagi. Dan dia hanya fokus dengan kuliahnya.Sedangkan bagi Citra semuanya berjalan baik-baik saja, sesuai dengan yang dia harapkan. Citra hanya menunggu waktu yang tepat untuknya membangun bisnis sebelum akhirnya bercerai dari Atala. Dan melanjutkan mimpinya yang tertunda. Sampai suatu kejadian yang membuat Citra dan Atala kembali berinteraksi pun terjadi. Tak dapat terelakkan.Malam itu hujan turun deras dari sejak sore. Citra hanya men
"Dingin banget, ya?" tanya Citra sambil berbisik. Atala hanya mengangguk. Bibirnya semakin gemeletuk.Citra bingung apa yang harus dia lakukan sekarang."Teh hangatnya lama banget, sih." Dia menoleh ke arah dapur. "Sarti!!""Iya, Non, sebentar!" Sarti menyahut dari dalam. Tak lama kemudian gadis itu keluar dengan membawa secangkir teh hangat. "Ini, Non." Citra menerima teh hangat itu dari tangan Sarti. "Makasih, ya." Lalu meminumkannya ke Atala. "Nih, minum dulu."Lelaki itu pun menurut. Menyeruput teh hangat itu pelan-pelan hingga setengah. Setelahnya Citra meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Kembali fokus pada Atala yang masih saja kedinginan."Masih dingin, ya?" Citra memberanikan diri menyentuh dahi lelaki itu dengan jemarinya. Dan meringis kala merasakan dahi Atala dingin seperti mayat. Lalu dia memegang kedua bahu Atala yang tak beralas. Sama, tubuh Atala terasa dingin seperti mayat."Duh gue harus lakuin apa, dong?" Di tengah kebingungannya, Citra mencoba membantu mengh