Pukul dua dini hari, mata Citra yang terpejam rapat tiba-tiba terbuka. Yang di pandangnya pertama kali adalah dinding kamar yang tak asing. Lalu Citra mengedar pandang ke seluk-beluk ruangan itu, memastikan di mana dia berada.Ini di kamar Atala.Lalu dia menyadari tubuhnya berbungkus selimut di atas ranjang. Citra membelalak seketika dan melirik ke sampingnya yang ternyata kosong. Kebingungan menyergapnya.Gadis itu spontan bangun, menegak ke atas tempat tidur. Detik itu dia melihat Atala tidur di sofa seperti biasa. Dia jadi bertanya-tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Apakah dia ketiduran dan Atala membawanya ke sini? Lalu apa yang dilakukan lelaki itu padanya?Pikiran buruk Citra mulai menyerang. Wajah tegangnya tampak berpikir keras.Namun, sesaat kemudian dia mampu berpikir positif. Atala pasti tidak macam-macam padanya, lelaki itu paling-paling hanya mengantarnya ke kamar karena dirinya ketiduran. Iya, pasti begitu.Citra lalu menatap Atala yang tidur di sofa. Dan tersenyum di
Atala tak tahu ada apa lagi dengan istrinya itu. Tapi Atala merasa istrinya menghindarinya, lagi. Dan entah karena apa.Atala selalu tidak suka dengan sikap Citra yang demikian. Atala juga merasa telah berusaha untuk tidak bersikap yang membuat istrinya itu acuh padanya.Maka pagi itu, sejak turun dari rumah, selama dalam perjalanan menuju kampus, Atala sibuk berpikir kira-kira kesalahan apa yang sudah dia lakukan hingga Citra kembali berubah. Padahal semalam mereka masih terasa akrab.Terakhir kali Atala hanya menggendong gadis itu yang tertidur ke kamar. Dan saat itu gadis itu sedang tidur, jadi dia tidak mungkin tahu kalau Atala menggendongnya kan? Lalu apa yang membuatnya marah?"Apa dia tahu ya niat gue yang pengin nyentuh dia?" Atala bergumam seorang diri. Namun, sedetik kemudian dia menggeleng. Menyadari kalau asumsinya itu sangat tidak masuk akal. "Nggak mungkin, kan dia tidur. Terus apa dong yang bikin dia marah?"Lalu Atala teringat hal lain. "Oh iya kira-kira dia bingung ngg
Hari-hari terus berlalu. Atala dan Citra melewati rutinitas seperti biasa. Banyak hal yang mereka lewati bersama. Dan semakin ke sini Citra merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasakan getaran yang tak pernah dia rasakan sebelumnya tiap saat bersama Atala. Citra juga merasa sifat-sifat buruk Atala yang dulu membuatnya benci dengan lelaki itu, sekarang bisa dia terima.Sementara itu, Citra merasa hubungannya dengan pacarnya, Dimas, makin membosankan, karena sifat Dimas yang monoton. Tak jarang diam-diam Citra membandingkan sifat Dimas dengan Atala.Dulu dia merasa Dimas lah yang paling mengerti dirinya. Pacarnya itu juga cerdas, baik, dewasa, elegan dan penuh perhatian. Sangat jauh berbeda dengan Atala yang blak-blakan, terlihat kekanak-kanakan, songong, sombong, suka membully orang, senang membuat masalah.Tapi sekarang semuanya sudah terjawab. Sikap Atala itu ternyata ada sebabnya. Atala bisa tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu karena ibunya meninggal dan dia pernah di-bully
Hari itu hari Minggu. Atala yang tidak ngapa-ngapain mendapat tugas dari Bi Rahma, yakni dimintai menemani istrinya belanja keperluan dapur yang mulai habis. Sejak memegang anggaran belanja, Citra lah yang selalu belanja. Atala yang memang sudah mencintai istrinya tentu dengan senang hati menerima tawaran itu. Di sinilah mereka berada, di sebuah Mall yang ada di Jakarta.Atala yang bertugas mendorong troli sejak tadi hanya mengiringi istrinya memilih makanan setengah jadi. "Enak, ya, sekarang mau belanja apa aja tinggal ambil, nggak mikirin harga lagi," ucap Citra sambil membaca tanggal kedaluwarsa pada sebuah kemasan ikan kaleng. Setelah memastikan tanggalnya aman, gadis itu menaruh benda itu di troli."Emangnya dulu mikirin harga?" tanya Atala."Iya," sahut Citra yang lanjut memilih aneka makanan setengah jadi lainnya. "Enak kan nikah sama gue," sahut Atala lagi. "Tapi itu karena kita pakai uang dari Papa. Karena sekarang gue belum kerja. Coba aja kalau ngarepin gaji gue yang ker
Hari itu seperti biasa, Atala baru pulang dari kampus sore hari, tapi dia berencana tak langsung pulang ke rumah, melainkan ke Sunset Cafe. Karena baru saja Tristan mengirim pesan di grup pertemanan mereka, bahwa hari ini mereka akan mengadakan reunian di Sunset Cafe. Seluruh alumni SMA Daya Sakti angkatan mereka dipastikan datang. Tristan meminta Atala harus datang juga.Setelah mengirim pesan otw, lelaki itu langsung meluncurkan mobilnya menuju lokasi. Sambil menyetir sambil dia mengetikkan pesan untuk istrinya. Mengabarkan kalau hari ini dia pulang agak telat karena harus reunian dulu.Namun, tiba-tiba terdengar suara berisik sekumpulan motor yang entah dari mana. Atala pun menoleh ke belakang, mengirim pesan pada Citra pun jadi tertunda.Dia menemukan segerombolan motor di belakangnya, mengiringi mobilnya. Sepertinya mereka geng anak motor yang kebetulan mengiringi mobilnya. Ya, tadinya Atala berpikir demikian sebelum sesuatu yang mengejutkan dan tak dia sangka-sangka terjadi."Woi
Citra gelisah.Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, tapi Atala belum juga pulang dari kampus. Padahal dia pergi dari tadi pagi. Biasanya Atala sudah pulang sore hari.Citra bisa saja berpikir mungkin Atala main ke rumah temannya atau berkunjung ke Sunset Cafe. Namun, biasanya Atala mengirimi pesan padanya mengabarkan ke mana dia hendak pergi. Atau setidaknya membalas pesannya jika dia bertanya. Namun, kini pesannya tak dibaca, bahkan teleponnya juga tidak diangkat. Citra otomatis kepikiran dengan suaminya itu."Kenapa, Cit?" Rupanya eyang putri menyadari gerak-gerik Citra yang mondar-mandir di ruang tamu sejak tadi.Citra lalu menatap eyang dengan wajah cemas. "Eyang, Atala, Eyang.""Atala kenapa?""Udah jam segini Atala belum pulang juga. Dia juga nggak ada kabar. Biasanya dia nggak gini. Teleponku nggak diangkat-angkat. Aku khawatir dia kenapa-kenapa di jalan."Seketika Citra teringat dengan kejadian buruk dulu. Atala yang pulang dalam keadaan mabuk dan Atala yang pulang huja
"Sebenarnya tadi kita ngajak Atala reunian ke Sunset Cafe, Cit." Tristan mulai bercerita. Didengar oleh kelima temannya yang lain dan eyang putri yang juga ada di sana. Citra diam mendengarkan. "Atala udah janji bakal datang dia udah di jalan, tapi tiba-tiba gue dapat telepon dari salah satu teman kita, Dian, yang kebetulan lewat di jalan yang sama. Dia ngeliat Atala dikeroyok. Dia langsung nolongin dengan cara minta tolong warga. Dia juga ngehubungin gue ngasih tahu keadaan Atala. Detik itu gue batalin acara reunian itu. Kita pergi ke rumah sakit buat jenguk Atala. Walaupun teman yang lain nggak bisa semuanya ikut. Dian bingung harus kasih tahu ke siapa tentang keadaan Atala. Pas ketemu gue, dia nanya ke gue. Dan orang yang pertama gue pikirkan itu elo, Cit.""Yang mana yang namanya Dian?" Citra mengedar pandang pada kelima lelaki asing itu. "Gue.""Dia."Orang yang bernama Dian dan Tristan menjawab bersamaan. Citra lalu mendatangi lelaki bernama Dian itu. "Lo udah nolongin Atala? S
Citra masuk ke ruang ICU. Sudah mengenakan pakaian steril berwarna hijau. Air matanya kembali menitik melihat kondisi lelaki itu yang begitu memprihatinkan.Wajah Atala terdapat bulatan-bulatan berwarna keunguan, lebam dan bengkak di mana-mana. Lengan dan kakinya dipenuhi perban karena habis dijahit. Tubuhnya dipenuhi tali-tali medis.Sungguh pemandangan itu terasa begitu menyayat hatinya. Pemandangan ini, kejadian ini tak pernah ada dalam bayangannya. Dan ternyata begini rasanya.Dia tak menyangka lelaki yang dulu paling dia benci, sekarang dia cintai. Iya benar. Dia akui dia sudah merasakannya. Dia sudah jatuh cinta. Rasa takut kehilangan yang dia rasakan membuktikan semuanya.Seketika kenangan-kenangan masa lalu bersama lelaki itu terlintas lagi.Awal mula bagaimana mereka dijodohkan."Citra, jadi dokter itu biayanya ndak murah. Hidup kita selama ini pas-pasan. Mending kamu menikah sama Nak Atala. Menikah dengannya lebih dari menjamin kebutuhan hidupmu dan kami yakin dia bisa menj
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo