"Gue terkena hipotermia."Pengakuan Atala itu membuat Citra membelalak tak menyangka. "Hi-hi-poter-mia?" Citra mengeja nama yang asing di pendengarannya itu.Atala mengangguk. "Iya, penyakit hipotermia itu kedinginan hebat. Orang yang menderita penyakit itu nggak boleh kedinginan. Kalau udah gitu, dinginnya jadi kebangetan dan itu bahaya banget. Bahkan bisa menyebabkan kematian.""Kok gue baru tahu lo punya penyakit begitu?" Atala tertawa ringan mendengar pertanyaan itu. "Kan emang banyak hal yang lo nggak tahu tentang gue."Citra terdiam mendengarnya. Atala benar. Lalu dia bertanya. "Kenapa Papa nggak pernah cerita?”"Mungkin Papa pikir itu nggak penting.""Lalu kenapa lo sendiri juga nggak pernah cerita?" "Cerita ke siapa? Ke elo? Buat apa?" Atala menatap Citra remeh.Lagi, Citra terdiam. Lalu kemudian dia bertanya. "Kalau teman-teman lo tahu? Rani tahu?"Atala mengangguk.Citra terdiam lagi, memikirkan sesuatu."Ya, yang penting sekarang lo udah tahu kan kalau gue nggak boleh kedi
"Bibi liat Atala keluar dari kamar nggak? Dia udah bangun belum, ya?" Citra yang tak kuasa menahan rasa penasaran akhirnya memutuskan bertanya pada Bi Rahma yang kebetulan tengah lewat, hendak menyapu teras. Gadis itu bangun pagi-pagi sekali, sempat melakukan olahraga ringan di halaman rumahnya seperti melakukan gerakan pemanasan dan jogging keliling halaman. Dan ketika dia masuk ke rumah, dia tak kunjung melihat lelaki itu yang jam segini biasanya sudah bersiap-siap pergi ke kampus. Tadinya dia memutuskan tak mau peduli, tapir rasa penasarannya jauh lebih besar. Tidak mungkin kan lelaki itu sengaja bolos kuliah?"Belum, Non." Bi Rahma menggeleng."Kok tumben, ya, Bi, dia belum bangun? Udah lumayan siang loh ini.""Kurang tahu itu Bibi, Non. Kalau Non mau tahu cek saja di kamarnya."Citra terdiam, akhirnya dia hanya mengangguk meski tidak yakin untuk melakukan apa yang Bi Rahma sarankan. ART-nya itu lantas; pamit berlalu, melanjutkan aktivitasnya."Cek kamarnya?" Gadis itu bergumam
"Kenapa Atala bisa sakit?" Citra yang saat ini mondar-mandir di ruang tamu sambil menempelkan ponsel di telinganya, menjawab. "Itu, Pa. Semalam Atala pulang hujan-hujanan. Ya mungkin karena itu dia jadi demam.""Kenapa dia bisa pulang hujan-hujanan? Memangnya nggak pakai mobil?"Citra memejamkan matanya sejenak. Pertanyaan inilah yang dia hindari. Apa yang harus dia jawab sekarang?"Mobil Pak Agus mogok katanya, Pa, semalam.""Lalu?""Atala naik ojek.""Dalam keadaan hujan-hujanan?""Iya."Terdengar helaan napas panjang di seberang.Setelah ini Citra harap Papa tidak bertanya-tanya yang aneh-aneh lagi. Atau dia akan nekat buat kasih tahu Papa kalau selama ini mereka diteror."Panas banget badannya?" Citra lega saat mendengar pertanyaan Papa barusan. Bukan pertanyaan yang dia hindari. "Panas banget, Pa," jawabnya kemudian."Selain panas apa lagi?""Cuman panas, sih, Pa. Nggak ada gejala lain kayak pilek, batuk gitu nggak.""Hubungin dokter saja kalau gitu. Papa punya nomor dokter lang
"Sudah lama Atala nggak demam begini lagi. Terakhir waktu dia lulus SMA.""Oh iya, Pa? Lama juga ya, Pa.""Iya. Karena Papa selalu suruh Atala minum vitamin buat jaga daya tahan tubuhnya. Papa nggak bisa mengurusinya sendiri kalau dia lagi demam. Makanya Papa nggak mau dia sakit. Momen Atala sakit ini membuat Papa selalu kepikiran."Citra menatap papa mertuanya yang duduk di hadapannya kini. Lalu dia melirik Atala yang masih tidur di kasur. "Atala ... selama ini ... selalu minum vitamin kok, Pa." Entahlah, Citra pun tak tahu apakah lelaki itu masih minum vitamin atau tidak. Dia bahkan tak tahu Atala mengidap penyakit hipotermia. Kalimat itu dia katakan agar Papa tidak curiga. "Cuman memang semalam hujannya lagi deras dan memang lagi waktunya Atala kena musibah." Citra kembali menatap papa mertuanya. "Yang sabar, ya, Pa. Tadi dokternya bilang nggak apa-apa, kok. Mungkin besok atau lusa Atala udah sembuh."Papa Johan yang menatap wajah anaknya sejak tadi beralih menatap menantunya. "Suda
Setelah makan dan minum obat yang dilayani oleh Citra, Atala kembali tidur. Meski masih hangat, tapi Atala merasakan tubuhnya sudah lebih baik daripada tadi malam. Tubuhnya tidak lagi merasakan tak nyaman yang sulit dijelaskan.Sebenarnya pun Atala belum mau tidur, tapi efek obat tidur yang terdapat dalam kandungan obat yang diminumnya, Atala jadi tertidur.Karena lelaki itu tidur, Citra memilih meninggalkannya. Gadis itu lalu masuk ke kamarnya dan belajar. Namun, saat dia tengah belajar, pikirannya tidak sepenuhnya konsentrasi pada pelajaran itu. Dia memikirkan Atala yang sakit. Juga memikirkan ucapan-ucapan Papa. Wajah Atala yang dia suapkan makan tadi terus saja membayangi."Arghh!!" Citra yang merasa sulit fokus langsung menutup bukunya. Dia meletakkan buku itu ke atas meja belajarnya. "Atala kan udah mendingan, udah makan, udah minum obat juga kan? Papa udah datang. Sekarang dia lagi tidur. Jadi ya udah nggak ada yang perlu gue pikirin." Tapi Citra tetap merasa ada yang aneh. Tap
Sejak Atala sakit, setiap tiga jam sekali, Citra menjenguk Atala di kamarnya. Dia ingin memastikan kapan lelaki itu sembuh. Dan dia ingin Atala segera sembuh.Kadang dia menemukan lelaki itu sedang tidur, kadang pula dia menemukan Atala sadar dan dia mencoba mengajak lelaki itu bicara tentang suatu hal.Seperti saat ini."Gue perhatiin lo rajin jengukin gue, kenapa? Kangen, ya?"Atala dan sifat percaya dirinya yang membuat Citra kesal mulai muncul.Dan tidak seperti biasa, Citra yang biasanya menanggapi pertanyaan semacam itu dengan kesal, kini malah terlihat santai saja. Gadis itu bahkan tersenyum membuat Atala bertanya-tanya dalam hati.Apakah gadis itu sedang bersandiwara? Tapi kan di sini tidak ada Papa, Eyang, Kak Shinta atau siapapun."Gue cuman nungguin kapan lo sembuh," jawab gadis itu akhirnya."Memangnya kenapa?""Ya masak lo sakit terus kan? Lo harus sembuh, dong. Biar Papa nggak kepikiran," jawab Citra.Atala yang berbaring sejak tadi, tersenyum tipis. "Biar Papa nggak kep
Pagi itu sekitar setengah delapan Citra ingin menyiapkan sarapan untuk Atala. Dia ingin kali ini dia yang membuatkan bubur ayam untuk suaminya. Namun, gadis itu tersenyum melihat semangkok bubur ayam itu sudah tersedia di atas nampan di meja makan. Dia tahu Bi Rahma sudah menyiapkannya. "Eh, Non Citra mau sarapan?" Tiba-tiba Bi Rahma bertanya. Citra tersenyum. "Bentar dulu, Bi." Lalu pandangannya beralih pada semangkok bubur ayam dan segelas air putih di atas nampan itu. "Itu buat Atala, ya, Bi?" Harusnya dia tak perlu bertanya lagi karena sudah dua hari belakangan ini Bi Rahma selalu menyiapkannya untuk Atala. Hanya saja dia ingin berbasa-basi."Iya, Non. Non kalau mau sarapan, buburnya ada tuh udah siap semua. Tinggal nikmati saja. Bibi sekarang mau bawakan sarapan buat Tuan Atala. Biar nanti dia bangun bisa langsung makan," terang Bi Rahma yang kemudian mengangkat nampan itu. Namun, Citra menginterupsi."Eh, Bi, biar aku aja yang kasih." Citra memegangi nampan itu."Nggak pa-pa, N
Atala dipaksa Citra untuk sarapan. Bahkan juga dipaksa disuapi. Alasannya Citra mau memastikan kalau Atala makan dengan lahap dan cepat. Mereka makan di ruang tamu."Udah," ucap Atala ketika bubur itu tinggal sedikit lagi."Sedikit lagi, nih, habisin dong." Citra mengulurkan sesendok bubur terakhir itu ke mulut pria itu.Atala menggeleng."Sedikit lagi." Citra kekeh.Akhirnya Atala mengalah. Membuka mulutnya dan menikmati bubur terakhir itu. "Oke, kelar," ucapnya kemudian."Eh, belum.""Apalagi sih." Atala memelas."Minum susu dulu, nih." Citra mengulurkan segelas susu yang sudah tidak hangat itu pada Atala.Dengan malas-malasan Atala meminumnya hingga setengah. "Nih.""Habisin, dong."Atala memegangi perutnya. "Kenyang banget gue. Mau muntah gue.""Iya, deh." Citra mengalah kali ini."Gue berangkat dulu, ya." Lagi, Atala mengacak puncak kepala Citra. Dan Citra membiarkannya."Ingat, ya. Hati-hati jangan sampai tumbang di jalanan," pesan Citra."Iya." Atala mulai berdiri, berjalan kelu