"Sebenarnya tadi kita ngajak Atala reunian ke Sunset Cafe, Cit." Tristan mulai bercerita. Didengar oleh kelima temannya yang lain dan eyang putri yang juga ada di sana. Citra diam mendengarkan. "Atala udah janji bakal datang dia udah di jalan, tapi tiba-tiba gue dapat telepon dari salah satu teman kita, Dian, yang kebetulan lewat di jalan yang sama. Dia ngeliat Atala dikeroyok. Dia langsung nolongin dengan cara minta tolong warga. Dia juga ngehubungin gue ngasih tahu keadaan Atala. Detik itu gue batalin acara reunian itu. Kita pergi ke rumah sakit buat jenguk Atala. Walaupun teman yang lain nggak bisa semuanya ikut. Dian bingung harus kasih tahu ke siapa tentang keadaan Atala. Pas ketemu gue, dia nanya ke gue. Dan orang yang pertama gue pikirkan itu elo, Cit.""Yang mana yang namanya Dian?" Citra mengedar pandang pada kelima lelaki asing itu. "Gue.""Dia."Orang yang bernama Dian dan Tristan menjawab bersamaan. Citra lalu mendatangi lelaki bernama Dian itu. "Lo udah nolongin Atala? S
Citra masuk ke ruang ICU. Sudah mengenakan pakaian steril berwarna hijau. Air matanya kembali menitik melihat kondisi lelaki itu yang begitu memprihatinkan.Wajah Atala terdapat bulatan-bulatan berwarna keunguan, lebam dan bengkak di mana-mana. Lengan dan kakinya dipenuhi perban karena habis dijahit. Tubuhnya dipenuhi tali-tali medis.Sungguh pemandangan itu terasa begitu menyayat hatinya. Pemandangan ini, kejadian ini tak pernah ada dalam bayangannya. Dan ternyata begini rasanya.Dia tak menyangka lelaki yang dulu paling dia benci, sekarang dia cintai. Iya benar. Dia akui dia sudah merasakannya. Dia sudah jatuh cinta. Rasa takut kehilangan yang dia rasakan membuktikan semuanya.Seketika kenangan-kenangan masa lalu bersama lelaki itu terlintas lagi.Awal mula bagaimana mereka dijodohkan."Citra, jadi dokter itu biayanya ndak murah. Hidup kita selama ini pas-pasan. Mending kamu menikah sama Nak Atala. Menikah dengannya lebih dari menjamin kebutuhan hidupmu dan kami yakin dia bisa menj
"Alhamdulillah, akhirnya lo sadar juga," ucap Citra tersenyum menatap Atala yang kini sudah membuka mata. Meski masih terpasang oksigen di hidungnya. Tapi di bagian tubuhnya yang lain tidak ada tali-tali medis lagi. "Padahal gue udah takut banget. Gue takut kalau lo nggak bisa sembuh ....""Lo mulai khawatir sama gue?" Atala bertanya lirih. Dan pertanyaan itu seketika membuat Citra terdiam.Dia mulai khawatir? Bukan khawatir lagi. Tapi sudah cinta. Iya, Citra sadari itu, dia akui itu. Rasa cinta itulah yang membuatnya khawatir. Tapi dia tak mau Atala tahu.Empat hari berlalu setelah hari tragedi itu. Atala berhasil melewati masa kritisnya. Kondisi Atala menunjukkan kemajuan setiap harinya. Karenanya dia dipindahkan ke ruang HCU.Citra lah yang setia menemaninya. Papa Johan sempat datang menjenguk sebentar saat kondisi Atala masih kritis. Namun, sejak dipindahkan ke ruang HCU, papa belum datang menjenguk lagi.Begitu juga dengan Dimas. Waktu dia bilang ingin datang menjenguk, dia benar-
Seorang pria berusia empat puluhan tahun itu sedang menatap pemandangan kota dari kaca lebar ruang kantornya. Pandangannya memandang jauh di bawah sana. Sama dengan pikirannya yang melanglang jauh mengingat masa lalunya. Anaknya yang kini terbaring di rumah sakit, yang harus menanggung akibat perbuatannya di masa lalu.Johan sudah tahu siapa pelaku itu. Siapa yang mengeroyok anaknya hingga jadi seperti itu. Informasi yang dia berikan pada menantunya itu tidak sepenuhnya benar. Dulu Johan adalah pribadi yang kejam dan ambisius. Dia harus selalu bisa mendapatkan apa pun yang dia mau. Harus, dengan cara apa pun. Sekali pun harus dengan cara menghilangkan nyawa orang. Dulu Johan mencintai seorang gadis, namanya Rosa. Dia sangat mencintai gadis itu dan ingin memilikinya seakan tiada perempuan lain lagi di dunia ini. Padahal gadis itu sudah ada pemiliknya.Singkat cerita, Johan dengan sifat ambisi dan kekuasaan yang dia miliki, akhirnya berhasil merebut Rosa dari kekasihnya yang sebelumn
Selama Atala pindah ke ruang HCU, teman-teman Atala berbondong-bondong datang menjenguknya mulai dari teman SMA yang mengadakan reunian tersebut, sampai teman kuliahnya. Mereka bersyukur semakin hari keadaan Atala menunjukkan kesembuhan yang signifikan.Atala tersenyum di pembaringannya menatap satu per satu temannya, Tristan, Dian, Tino, Respi dan Andri. Semua itu teman masa SMA-nya."Ini semua juga berkat bantuan kalian," ucapnya. "Kalau nggak ada kalian mungkin sekarang gue udah di alam kubur." Atala terkekeh. "Thanks, ya, Gaes.""Sama-sama, La," jawab Dian. "Belum waktunya lo meninggal, makanya lo masih ditolongin.""Kalau ada Romi di sini pasti dia mengeluarkan kata-kata mutiaranya," celetuk Tristan yang seolah sangat paham dengan kelakuan temannya yang satu itu."Eh iya, Romi ke mana nih, nggak keliatan. Nggak ikut jenguk," sahut Andri."Mungkin lain kali," sahut Atala. "Biasalah orang sibuk."Yang lain hanya terkekeh."Kita juga masih terus berusaha mengungkap pelaku pengeroyoka
Kabar Menyedihkan Penuh Misteri, Putra Tunggal Johan Sudiharto Kritis di Rumah Sakit Akibat Dikeroyok.Lagi-lagi kita dikejutkan oleh kabar dari keluarga kaya Sudiharto. Putra tunggal Johan Sudiharto yang bernama Atala Putra Sudiharto masuk ke rumah sakit dalam keadaan kritis akibat dikeroyok hingga babak belur.Awalnya Atala dicegat segerombolan anak geng motor saat dia sedang dimobil menuju perjalanan ke kampus. Mereka sempat adu mulut, sebelum akhirnya Atala dikeroyok oleh segerombolan anak geng motor itu.Dan lebih mengejutkan lagi, kabarnya ada seseorang yang sangat berkuasa dibalik tragedi pengeroyokan itu. Ada seseorang yang memang sengaja merencanakan itu. Dia bernama Galang Nabastala.Siapa Galang Nabastala? Kenapa dia bisa ikut terseret dalam masalah ini? Galang Nabastala adalah ....Atala berkernyit membaca isi berita itu."Galang Nabastala?" gumamnya.Selanjutnya di bawa teks itu, Atala melihat foto-foto. Termasuk foto dirinya yang dikeroyok, ada juga foto seorang pria meng
Pertanyaan itu bukan pertanyaan baru. Dan Citra tahu setiap dia bersikap perhatian yang berlebihan, lelaki itu pasti bertanya demikian."Lo tuh lagi sakit, masak iya gue abaikan aja?""Gue tahu karena apa?" Atala mengangkat alisnya."Apa?" Citra menantang."Pasti karena udah cinta kan sama gue?"Lagi, lagi Citra tertegun. Tapi kali ini rasanya beda. Karena yang Atala katakan benar dan dia sudah menyadarinya."Kenapa diam? Bener kan yang gue bilang?""Enggak, kok." Citra kekeh tak mau Atala tahu. Dia malu untuk mengakuinya di depan lelaki itu. Selain itu dia juga masih sama Dimas. Tak pantas rasanya dia mengungkapkan rasa dengan lelaki lain sementara dirinya masih ada yang memiliki."Jujur aja kali, jangan gengsi.""Siapa yang gengsi, sih." Citra mulai menatap Atala tak suka. "Gue nggak suka ya lo kayak gini! Udah ini makan aja sendiri!" Citra meletakkan mangkok bubur dengan keras di atas nakas sampai menimbulkan bunyi berisik. Atala terkejut melihat aksi perempuan itu. "Kok galak bang
Citra pamit pada Atala untuk mengantar eyang putri ke rumah Kak Shinta. Selagi Citra pergi, Atala memanfaatkan kesempatan itu untuk menelepon papanya, seorang diri, di kamar, duduk di atas kursi roda, menghadap taman yang terlihat dari jendela kamarnya."Papa," panggil Atala begitu telepon tersambung."Bagaimana keadaanmu, Nak?" Suara papa terdengar ramah. "Aku udah mendingan, Pa," jawab Atala. "Sekarang aku udah di rumah, rawat jalan di rumah.""Syukurlah kalau begitu. Jaga diri, ya, Atala. Baik-baik saja di rumah, jangan ke mana-mana dulu. Jangan keluar rumah dulu. Masalahnya belum sepenuhnya beres," jelas papa yang semakin menimbulkan kecurigaan bagi Atala."Iya, Pa. Oh iya, Pa, aku mau tanya sesuatu sama Papa.""Tanya apa?""Papa kenal dengan orang yang namanya Galang?'Senyap. Tak terdengar sahutan dari papa. Atala jadi yakin papa pasti mengenal orang yang bernama Galang itu. Dan Galang bisa terdeteksi karena papa. Tapi bagaimana bisa? Sungguh semuanya membuatnya makin penasaran.
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?