Atala dipaksa Citra untuk sarapan. Bahkan juga dipaksa disuapi. Alasannya Citra mau memastikan kalau Atala makan dengan lahap dan cepat. Mereka makan di ruang tamu."Udah," ucap Atala ketika bubur itu tinggal sedikit lagi."Sedikit lagi, nih, habisin dong." Citra mengulurkan sesendok bubur terakhir itu ke mulut pria itu.Atala menggeleng."Sedikit lagi." Citra kekeh.Akhirnya Atala mengalah. Membuka mulutnya dan menikmati bubur terakhir itu. "Oke, kelar," ucapnya kemudian."Eh, belum.""Apalagi sih." Atala memelas."Minum susu dulu, nih." Citra mengulurkan segelas susu yang sudah tidak hangat itu pada Atala.Dengan malas-malasan Atala meminumnya hingga setengah. "Nih.""Habisin, dong."Atala memegangi perutnya. "Kenyang banget gue. Mau muntah gue.""Iya, deh." Citra mengalah kali ini."Gue berangkat dulu, ya." Lagi, Atala mengacak puncak kepala Citra. Dan Citra membiarkannya."Ingat, ya. Hati-hati jangan sampai tumbang di jalanan," pesan Citra."Iya." Atala mulai berdiri, berjalan kelu
Sore harinya begitu Atala pulang, Citra orang yang pertama menyambut kepulangannya.Begitu terdengar mesin mobil di garasi dan suara Atala yang berbicara dengan Pak Agus, Citra yang duduk di ruang tamu sambil menscroll ponsel sejak tadi karena sengaja menunggu kepulangan lelaki itu langsung bergegas menghampiri garasi."Atala, lo nggak pa-pa?" Citra melirik tubuh lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia menatap lekat lelaki itu. "Lo nggak sakit kan? Lo nggak hujan-hujanan kan?""Keadaan gue seperti yang lo lihat." Atala lalu berjalan masuk melewati Citra yang kemudian mengiringinya. "Baju gue nggak basah kan? Itu artinya gue nggak kehujanan.""Tapi tadi ada gerimis dikit. Bulan ini kan musim penghujan.""Ya, cuman gerimis. Waktu itu gue masih di kelas."Citra percaya dan merasa sedikit lega. Tapi diam-diam dia masih memperhatikan suaminya itu.Atala memang terlihat sudah sembuh, tapi ...."Tadi makan apa aja di kantin?" tanya Citra kemudian."Nasi putih, ayam goreng sama tel
"Sayang, kamu dengar aku nggak, sih?"Citra seketika mengerjap kaget saat Dimas menggoyangkan lengannya. "Hmm?" Gadis itu lalu menatap lelaki di hadapannya ini bingung.Melihat reaksi Citra demikian, Dimas berdecak. "Jadi kamu nggak dengerin aku ngomong panjang lebar dari tadi?" Dimas menatap tak percaya.Citra yang mulai menyadari kesalahannya, meringis. "Maaf, Sayang ... Aku ....""Kamu mikirin apa, sih, dari tadi? Mikirin suami kontrakmu itu, ya."Citra menghela napas. Dia tahu Dimas mulai marah. "Nggak, Sayang. Aku tuh cuman ....""Cuman apa? Sekarang aku sedang ada di depan mata kamu. Tapi aku ngerasa pikiran kamu tuh nggak ke aku, Cit. Apa yang lebih penting buat kamu daripada aku?"Citra yang pandangannya kini tertuju pada gelas kopi di meja, terdiam. Memang dia akui sejak tadi pikirannya ke mana-mana karena dia sibuk memikirkan Atala di rumah. Banyak hal yang dia pertanyakan. Bagaimana kondisi lelaki itu sekarang? Sedang apa dia sekarang? Sudah makan kah dia? Apakah sakitnya k
"Jam segini baru pulang?"Langkah Citra di depan pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang tengah tercekat. Gadis itu menoleh kaku ke arah sumber suara. Dilihatnya Atala berdiri tak jauh darinya sambil bersidekap dada.Gadis itu lalu meringis. "Katanya nggak akan pulang terlalu malam, ini udah jam sebelas loh.""Kan baru jam sebelas."Raut wajah Atala berubah mendengarnya. Dia pun mengangguk-angguk. "Oh jadi menurut lo jam sebelas itu belum terlalu malam?""Lo juga biasanya gitu kan? Lewat dari jam dua belas malam malah."Atala mengernyit heran. "Tadi kan katanya nggak akan pulang malam, sekarang gue protes lo malah cari pembelaan. Gimana, sih?""Ya udah sih, maaf. Kan sekarang gue udah di rumah.""Ya udah cepat masuk sana. Cuci kaki dan tangan, tidur."Citra tersenyum samar. "Iya.""Ngapain senyum-senyum gitu?" Atala memandangnya tak suka. "Jangan GR, gue cuman mau lo nepatin janji. Makanya besok-besok kalau nggak bisa pulang awal, jangan sok-sokan janji." Lelaki itu berjalan mel
Atala tak menyangka, Citra malah bertanya demikian. Kenapa gadis itu bertanya demikian?Atala tersenyum miring sambil membelai pipi mulus Citra dengan sisi telunjuknya membuat bulu kuduk Citra terasa meremang. Citra menoleh ke samping dan masih diam saja. Karena dia yakin lelaki itu tak akan berani berbuat serius."Kalau gue bilang, apa lo mau nurutin apa pun kemauan gue?" Atala berbisik.Mendengar pertanyaan itu Citra menatap Atala tajam. "Maksud lo apa?""Kenapa jadi nanya balik, sih, Sayang.""Jangan macam-macam."Tangan Atala sudah beralih ke pinggang Citra yang seketika di tepis oleh gadis itu. Atala tersenyum miring memperhatikan wajah dan sekujur tubuh mungil Citra. Atala benci melihat pemandangan di Mall tadi. Ada rasa tidak rela membayangkan gadis itu dibagi dengan lelaki lain. Dia yakin Dimas belum pernah mencicipi Citra. Tapi apakah benar begitu? Timbul pertanyaan baru di benaknya."Gue mau nanya.""Nanya apa?""Apa lo dan Dimas udah pernah ....?"Citra mengernyit. "Perna
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membantu suaminya, membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, Nduk ....”"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membel
"Apa, Pa? Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memb
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat. Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelum