Citra mengambil sepotong martabak dan memakannya. Rasanya sama seperti yang ada dalam pikirannya. Sama seperti martabak yang dia makan selama ini. "Hmmm enak. Nih, coba." Dia mengulurkan martabak itu pada suaminya.Atala malah menggeleng."Kenapa nggak mau. Enak loh.""Lo belinya di mana sih?" tanyanya kemudian."Di mamang gerobak pinggir jalan," jawab Citra santai sambil menikmati potongan martabak di tangannya."Apa?" Atala melotot."Lebay deh lo, kenapa, sih?""Harganya berapa?" tanyanya lagi."Ini udah yang paling spesial, ya. Harganya empat puluh ribu.""Murang banget."Citra menatap Atala tak percaya. "Murah banget? Ini udah yang paling mahal. Ada lagi yang paling murah tuh dua puluh ribu."Atala menggeleng. "Enggak enggak enggak. Gue nggak pernah makan martabak semurah ini.""Emang biasanya lo makan martabak yang kayak gimana?""Gue tuh biasanya belinya di tempat khusus jual martabak. Yang legendaris gitu atau di restoran gitu. Terus harganya rata-rata di atas seratus ribu. Ras
"Sebelum tidur lo minum obat dulu, yah." Setelah puas menikmati martabak manis sampai perutnya kenyang, waktunya mereka tidur. Sebelum tidur, Atala harus minum obat dulu.Citra melayaninya. Membuka bungkus obat Atala dan melayani lelaki itu meminum obatnya satu per satu.Setelah selesai, Citra bersiap mendorong kursi rodanya menuju kamar. Citra bahkan menuntun Atala turun dari kursi roda dan membaringkan tubuh berat lelaki itu ke atas kasur.Lengan dan kaki Atala masih dipenuhi perban. Dia bahkan belum bisa mandi seperti keadaan normal. Dia hanya di lap dengan kain basah, Bi Rahma yang bertugas memandikannya."Pakai selimut." Citra menarikkan selimutnya hingga menutupi setengah badan lelaki itu."Makasih udah perhatian sama gue," ucap Atala sambil tersenyum di pembaringannya.Citra juga balas tersenyum. "Sama-sama." Ketika Citra hendak berbalik badan. Atala justru memegang lengannya membuat pergerakan gadis itu tertahan.Citra pun berbalik. "Kenapa?""Mau ke mana?"Citra mengernyit. "
Hari-hari terus berlalu. Semakin hari Atala menunjukkan kesembuhan yang signifikan. Dan selama itu Citra lah yang merawatnya hingga dia sembuh. Menciptakan banyak momen berkesan di benak Atala. Hal itu membuatnya jadi semakin ingin memiliki gadis itu seutuhnya.Hari itu teman-teman Atala seperti Tristan, Romi dan Tasya berdatangan ke rumah untuk menjenguk keadaan Atala."Seperti yang kalian lihat, Gaes, keadaan gue baik-baik aja. Gue udah sembuh sehat wal'afiat," jelas Atala ketika mendengar temannya terlihat begitu mengkhawatirkannya, dan agak tidak yakin apakah dia sudah benar-benar sembuh."Alhamdulillah kalau begitu," sahut Tasya. "Gue syok banget waktu dengar Citra bilang lo dikeroyok sampai masuk ke rumah sakit. Maaf juga waktu itu gue nggak sempat jenguk lo di rumah sakit.""Santai aja," tanggap Atala."Umur lo memang panjang, La," sahut Romi kemudian. "Dulu aja pernah tawuran beberapa kali, juga masih hidup aja nyawanya. Mentok-mentok cuman jahit di bagian lengan.""Memangnya
Seminggu setelah kesembuhannya, Atala kembali menjalankan rutinitas hariannya seperti berkuliah dan mengerjakan tugas. Kali ini dia lebih semangat. Semangat melanjutkan kuliahnya agar cepat selesai dan bisa bekerja di perusahaan papa. Iya, dia sudah bertekad tak akan menyia-nyiakan waktu lagi. Walau kadang dia merasa berat dan tertekan dengan perubahan ini.Siang itu sepulang dari kampus, Atala mengajak Citra jalan-jalan. Citra yang waktu itu telah menyadari perasaannya terhadap Atala setuju saja. Rencananya mereka akan ke Sunset Cafe lagi. Tapi Citra yang menyarankan sebaiknya mereka cari kafe lain saja. Karena dia bosan ke Sunset Cafe terus. Atala menyetujui. Citra memilih kafe itu karena kafe itu adalah kafe langganannya dengan Dimas. Jadi dia sudah tahu seluk beluk dan bagaimana rasa aneka minuman di sana. Tapi Citra tak bilang kalau kafe itu adalah kafe langganannya dengan Dimas pada Atala karena takut lelaki itu cemburu. Citra pun yakin mengajak Atala ke sana karena dia tahu h
Citra melihat Dimas, pacarnya, sedang duduk di kursi belakang Atala. Dia tak sendiri. Dia bersama seorang perempuan. Mereka tampak asyik mengobrol dan tertawa sambil sesekali Dimas menciumi kepala perempuan itu. Citra yakin perempuan itu bukan keluarganya. "Dimas selingkuh."Atala yang melihat itu ikut tegang. Juga tak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki itu pun mulai panik dan spontan berdiri saat melihat Citra mulai berdiri dari duduknya dan mendatangi meja Dimas. Atala memperhatikan reaksi Citra dalam kekhawatiran."Oh jadi ini yang katanya sibuk ngerjain tugas di rumah?" ucap Citra yang sudah berdiri di samping Dimas. Bisa ditebak apa yang terjadi selanjutnya? Dimas sontak menoleh dan membelalak, terkejut melihat keberadaan pacarnya yang mungkin tak dia sangka-sangka. Sementara gadis di sampingnya sudah pucat pasi, diam menatap lurus ke meja."Citra? Kamu ada di sini juga?" Dimas lalu melirik Atala yang sudah berdiri di belakang Citra."Kenapa kaget liat aku? Nggak nyangk
Sepanjang perjalanan pulang, Citra menangis sedih. Sejak tadi gadis itu hanya duduk diam melempar pandang keluar jendela mobil sambil mengingat kejadian di kafe tadi seiring dengan air mata yang keluar deras. Gadis itu menangis dalam diam. Dia sungguh tak percaya Dimas tega berkhianat.Dan percakapannya dengan Dimas itu."Kamu tahu apa alasan aku melakukan ini? Kamu minta aku untuk setia, untuk selalu baik dan selalu meyakinkan aku untuk tetap bertahan demi mencapai cita-cita bersama. Sementara kamu sendiri udah menikah dengan orang lain, Citra. Kamu setiap hari menghabiskan waktu bersama suami kontrakmu itu tanpa tahu bagaimana aku menahan perasaan dan bersabar menunggu saat perpisahan itu tiba.""Tapi kamu tahu kan pernikahan aku itu terpaksa dan cuma sementara! Dari awal kamu udah tahu!" "Aku nggak bodoh, Citra. Aku tahu hatimu udah terbagi dengan dia. Kamu minta aku untuk setia menunggu sementara kamu dengan yang lain. Kamu pikir itu adil buat aku? Lalu ketika aku mencoba mencari
"Gue harus lakuin apa biar lo nggak nangis lagi? Harus berapa kali sih gue bilang jangan tangisin laki-laki brengsek kayak Dimas itu." Sejak tadi Atala berusaha menghibur dan menghilangkan kesedihan istrinya itu. Dia sudah mengajak Citra turun ke banyak tempat seperti di Mall, toko buku, kafe, tapi yang ada Citra semakin sedih karena tempat-tempat itu justru mengingatkannya dengan Dimas. Atala juga membelikannya boneka, membelikannya makanan kesukaannya--jajanan di pinggir jalan--tapi Citra tetap saja bersedih. Atala bingung harus melakukan apa lagi hingga akhirnya dia mengajak Citra pulang saja. Dan ketika mereka sudah sampai di rumah pun, Citra masih saja menangis. Atala menatap istrinya yang duduk di ruang tamu dengan gusar. "Kalau lo nggak berhenti nangis, gue telepon Eyang, ya? Gue panggil Eyang, nih." Atala mulai mengotak-atik ponselnya, berlagak menelepon eyang putri. Karena biasanya hanya dengan eyang putri Citra bisa menurut. Bukannya diam yang ada tangis Citra makin men
"Gue aja yang nyanyi. Gue mau nyanyi."Atala menatap Citra tak percaya. "Emang lo bisa nyanyi?"Citra terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Bisa dikit. Suara gue mungkin emang nggak bagus banget, tapi nggak false." Citra tersenyum.Melihat istrinya tersenyum, Atala pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Sepertinya cara ini ampuh untuk menghilangkan kesedihan Citra.Atala pun penasaran bagaimana suara istrinya itu. "Oke sekarang lo nyanyi, gue petik gitarnya, ya. Mau nyanyi lagu apa, nih?" "Mendua milik Astrid.""Lah, kenapa jadi lagu galau. Yang ada lo makin tambah sedih." Atala kurang setuju dengan lagu itu. Bukannya terhibur yang ada malah makin sedih."Tapi lagu itu mewakili perasaan gue. Gue mau lagu itu." Citra kekeh.Atala menghela napas. "Oke." Atala mulai memetik senar gitar pelan. Beruntung dia hapal hampir semua chord gitar lagu Indonesia."Ku tak habis pikir ... Kurangku di mana? Kau tega melepaskan aku ...." Citra mulai bersenandung sambil matanya terpejam, begitu menghayati
"Rencana apa?" tanya papanya yang sudah menikmati makanan itu beberapa sendok."Rencana buat belajar hidup sederhana." Atala lalu menoleh pada Citra dan tersenyum. "Iya kan, Sayang?"Citra yang juga sudah mengunyah malah mengernyit bingung. "Yang mana?"Reaksi Citra yang demikian membuat Atala malu. Dia menatap istrinya tak habis pikir. "Yang itu loh, Sayang, masak nggak ingat. Sini aku bisikkin." Atala lalu berbisik di telinga Citra.Citra tertawa setelahnya, bahkan sampai menepuk meja. "Oh itu ....""Ingat kan?" Atala menatap Citra dari samping dan masih merangkul bahu istrinya.Citra mengangguk-angguk. "Iya, ingat. Jadi Pa, Atala katanya dulu pernah pengin belajar hidup sederhana gara-gara aku cerita tentang novel urban legend yang mana tokohnya kebanyakan pria kaya yang pura-pura jadi miskin. Papa tahu tentang novel urban legend nggak?"Papa Johan mengernyit. "Jadi Atala mau belajar hidup sederhana? Maksudnya bagaimana?" Bukannya menjawab pertanyaan Citra tentang novel urban legen
Mereka bertiga, Johan, Atala dan Citra akhirnya memutuskan untuk makan siang di kedai yang ada di antara pasar tradisional itu. Mereka memesan gado-gado.Waktu pertama kali melihat kehadiran papanya di sini, Atala bertanya-tanya kenapa papanya bisa ada di pasar tradisional. Dan Johan menjawab bahwa dia memang sengaja ke sini untuk bernostalgia.Melihat itu, Citra langsung antusias untuk mengajak papanya makan gado-gado di kedai pasar tradisional itu. Dengan senang hati tanpa keraguan sedikitpun, Johan menerima tawaran itu.Berbeda dengan Atala yang dibesarkan dari keluarga kaya raya, Johan pernah melewati masa sulit di masa kecilnya. Karenanya Johan paham dan mengerti bagaimana rasanya hidup susah. Masa kecil Johan juga sering menikmati makan makanan murah yang tak pernah Atala makan.Sementara Atala masih terheran-heran kenapa papanya mau makan di tempat seperti ini. Atala terpaksa ikut mereka masuk ke kedai dan memesan gado-gado murah itu. "Jadi Atala tempat ini udah nggak familier
"Iya, iya, maaf, lain kali aku bakal lebih dengerin kamu, deh." Citra menunduk lesu seiring dengan langkahnya yang mengiringi langkah Atala sejak tadi. Mereka kembali ke tempat di mana Atala memarkir mobilnya. Sepanjang perjalanan itu Atala menceramahi istrinya habis-habisan. Lelaki itu berkali-kali bilang harusnya tadi Citra mengikuti sarannya untuk diantar olehnya.Dan ketika istrinya bertanya bagaimana dia bisa ada di sini juga. Atala menjawab dia membututi istrinya sejak tadi dan rela meninggalkan kafe. Perasaan tak nyamannya mendorongnya melakukan itu.Ya, sejak tadi Atala memang membututi istrinya pakai mobil. Dia juga berjalan kaki mengiringi istrinya dari kejauhan saat wanita itu memasuki pasar sayur. Sampai dia mendapati Citra di kepung dan dijahili para preman."Kayaknya kamu emang nggak aman deh kalau pergi-pergi sendiri," jawab Atala kemudian. "Harus selalu ada yang nemenin, nih." Mereka lalu berhenti di depan bagasi mobil. Dan Atala membuka pintu bagasinya"Mungkin hari
"Mana bayaran gue!" Seorang pria bertubuh besar menggertak garang seorang pedagang remaja lelaki.Remaja itu terlihat takut-takut. Sambil tertunduk, dia menjawab. "Be-be-lum ada, Bang. Pem-be-beli lagi sepi.""Bohong aja lo! Gue liat pembeli lo ramai dari tadi!" Si pria bertubuh besar itu mendorong baru si remaja sampai tubuh ringkih itu terhuyung."Nggak ada, Bang."Citra bergidik ngeri melihatnya. Dia pun berbalik arah, mencari jalan lain. Sebenarnya dia ingin menolong pedagang remaja itu. Tapi dia juga takut. Nantinya alih-alih menolong orang, yang ada dia kena batunya. Citra tak mau ambil risiko. Hidup di Jakarta memang keras. Citra yakin remaja itu masih sekolah, mungkin sekitar SMA. Tapi dia juga harus bekerja juga untuk membantu orang tuanya mencari nafkah. Atau bahkan mungkin remaja itu berhenti sekolah dan memilih bekerja.Menyusuri jalan yang cukup jauh dengan berjalan kaki sambil membawa banyak belanjaan membuatnya cukup kewalahan. Dia agak menyesal tadi sudah menolak ta
Hari-hari terus berlalu. Tidak ada yang berubah dari rutinitas Citra dan Atala selain Atala yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bekerja. Karena dia ingin fokus dengan kuliahnya dan membantu istrinya menangani Senja Cafe. Tentu Atala merasa tidak yakin dia bisa menangani semuanya dengan baik, karenanya dia memilih berhenti. Citra pun setuju saja dan tidak menghakimi suaminya karena mereka pun sudah punya kafe sendiri.Suatu hari, Citra ingin berbelanja di pasar sekaligus membeli alat dan bahan-bahan pembuatan kopi yang sudah habis seperti gelas kertas, gula, susu cair dan lain-lain."Biar aku antar, ya." Atala langsung menyambar kunci mobil yang terletak di atas meja saat dilihatnya istrinya itu sibuk mengobok-obok tas tangannya.Citra yang tengah sibuk dengan aktivitasnya itu terhenti dan mengangkat kepalanya menatap suaminya. "Nggak. Kamu di rumah aja gantiin aku. Lagian cuman belanja bentar doang, ditemenin segala.""Ya, nggak pa-pa. Di kafe kan udah ada Kak Nadia. Jadi aku tem
Sore harinya, setelah Atala pergi ke kampus, Citra berkunjung ke makam orang tuanya sekaligus ke makam eyang kakungnya. Dia pergi seorang diri. Citra ingat eyang putri pernah bilang kita tidak boleh melupakan orang yang sudah meninggal. Karena walaupun sudah meninggal mereka tetap melihat kita, mereka ingat kita. Jadi kita pun tak lantas melupakan mereka.Dengan berkunjung ke makam itu salah satu cara kita menunjukkan kalau kita pun masih ingat dengan mereka. Citra mengunjungi makam orang tuanya terlebih dulu yang jaraknya pun bersebelahan.Wanita mengenakan kerudung putih itu mengangkat tangan lebih dulu untuk berdo'a sebelum akhirnya menaburkan bunga kertas warna-warni ke atas gundukan tanah itu. Citra menaburkannya ke makam ibu dan ayahnya bergantian."Mama, Papa." Citra yang berjongkok di antara kedua makam itu memandangi makam orang tuanya bergantian. "Maaf, ya, aku baru bisa ke sini lagi. Mama dan Papa pasti bisa lihat gimana kehidupanku yang sekarang. Aku bahagia, Ma, Pa, deng
Keesokan harinya. Senja Cafe mulai beroperasi. Seperti namanya, Senja Cafe mulai buka pada sore hari menjelang magrib. Ketika para karyawan sudah bersih-bersih dan siap untuk berbuka, Citra memotret kafe mereka dari kejauhan dan menge-post-nya di sosial medianya. Memberitahu orang-orang bahwa mulai hari ini kafenya sudah buka. Malam harinya, kafe itu ramai pengunjung berdatangan. Sebenarnya Citra tak heran. Karena sebelumnya pun mereka sudah melakukan grand opening dan diliput banyak wartawan. Maka, tak heran sudah banyak yang tahu tentang kafe mereka. Citra hanya membayangkan seandainya dia membuka franchise dari dulu waktu dia masih SMA, pasti pengunjungnya tak akan langsung seramai ini, tak akan semudah ini. Semua ini juga pakai modal yang tidak sedikit. Citra jadi teringat ucapan suaminya tempo hari. " .... Franchise itu cocok buat pembisnis pemula kayak kita. Kayak kamu yang pengin nyoba dunia bisnis. Franchise itu mudah sebenarnya ngejalaninnya. Jadi misal pengin bisn
"Aku bisa banget ngerasain kekecewaan Papa," ungkap Citra begitu mereka masuk ke dalam kamar. Kata-kata yang sejak tadi tertahan dan ingin dia ungkapkan pada suaminya itu. Citra marah, bahkan dia bicara membelakangi suaminya. Dia kesal kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu ditemukan orang lain. Kenapa Atala bisa seceroboh itu."Iya aku juga tahu," sahut Atala yang duduk di pinggir kasurnya."Aku juga tahu aku juga tahu." Citra mengajukan nada bicara Atala, wajahnya terlihat mengejek.Mendengar itu Atala menoleh menatap istrinya yang masih membelakanginya itu dengan heran. Citra lantas berbalik badan. "Bisa-bisanya, sih, kamu teledor soal surat perjanjian itu? Kemana kamu simpan selama ini? Kenapa Nuri bisa menemukannya?" Citra melotot menatap Atala. Detik itu Atala tahu kalau gadis itu marah. "Kok kamu jadi marah-marah?""Ya, aku kesal. Kenapa bisa-bisanya surat perjanjian itu sampai ditemukan orang lain. Kalau seandainya Papa nggak menemukannya, semuanya nggak akan kayak gini. P
"Papa kecewa sama kalian." Atala bisa melihat bagaimana kecewanya papa. Hal itu terlihat dari tatapan mata papanya. Citra pun merasakan hal yang sama. "Terutama kamu, Citra." Citra terkejut mendengarnya. "Kalau Atala berbohong dan membuat perjanjian seperti itu mungkin Papa bisa memaklumi. Tapi kamu? Kamu juga menyetujui perjanjian itu, Citra? Kamu udah bohongin Papa padahal Papa sangat percaya sama kamu. Pantas saja waktu itu ...." Papa terdiam, mengingat percakapannya dengan menantunya itu tempo hari. Di mana dia meminta Citra mengubah perilaku Atala, tapi Citra malah tidak yakin. Sekarang Johan baru tahu kenapa waktu itu Citra tidak yakin. "Pantas apa, Pa?" tanya Atala kemudian. Papa Johan malah menggeleng. Dan mengusap wajahnya. Citra menatap Papa dengan pandangan berkaca-kaca. Sakit hatinya mendengar perkataan papa yang terdengar begitu kecewa. Citra mengerti kekecewaan papanya. "Maafin, aku, Pa," lirih Citra mengusap air mata di pipinya. Atala menoleh, me