"Gue harus lakuin apa biar lo nggak nangis lagi? Harus berapa kali sih gue bilang jangan tangisin laki-laki brengsek kayak Dimas itu." Sejak tadi Atala berusaha menghibur dan menghilangkan kesedihan istrinya itu. Dia sudah mengajak Citra turun ke banyak tempat seperti di Mall, toko buku, kafe, tapi yang ada Citra semakin sedih karena tempat-tempat itu justru mengingatkannya dengan Dimas. Atala juga membelikannya boneka, membelikannya makanan kesukaannya--jajanan di pinggir jalan--tapi Citra tetap saja bersedih. Atala bingung harus melakukan apa lagi hingga akhirnya dia mengajak Citra pulang saja. Dan ketika mereka sudah sampai di rumah pun, Citra masih saja menangis. Atala menatap istrinya yang duduk di ruang tamu dengan gusar. "Kalau lo nggak berhenti nangis, gue telepon Eyang, ya? Gue panggil Eyang, nih." Atala mulai mengotak-atik ponselnya, berlagak menelepon eyang putri. Karena biasanya hanya dengan eyang putri Citra bisa menurut. Bukannya diam yang ada tangis Citra makin men
"Gue aja yang nyanyi. Gue mau nyanyi."Atala menatap Citra tak percaya. "Emang lo bisa nyanyi?"Citra terdiam sebelum akhirnya menjawab. "Bisa dikit. Suara gue mungkin emang nggak bagus banget, tapi nggak false." Citra tersenyum.Melihat istrinya tersenyum, Atala pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Sepertinya cara ini ampuh untuk menghilangkan kesedihan Citra.Atala pun penasaran bagaimana suara istrinya itu. "Oke sekarang lo nyanyi, gue petik gitarnya, ya. Mau nyanyi lagu apa, nih?" "Mendua milik Astrid.""Lah, kenapa jadi lagu galau. Yang ada lo makin tambah sedih." Atala kurang setuju dengan lagu itu. Bukannya terhibur yang ada malah makin sedih."Tapi lagu itu mewakili perasaan gue. Gue mau lagu itu." Citra kekeh.Atala menghela napas. "Oke." Atala mulai memetik senar gitar pelan. Beruntung dia hapal hampir semua chord gitar lagu Indonesia."Ku tak habis pikir ... Kurangku di mana? Kau tega melepaskan aku ...." Citra mulai bersenandung sambil matanya terpejam, begitu menghayati
Citra menatap suaminya heran. Pasalnya belakangan ini lelaki itu kerap kali menunjukkan perhatian dan kepedulian padanya. Dia pun bertanya. "Lo kok baik banget, sih?" Sebenarnya Citra sudah menduga kira-kira apa yang membuat sikap suami kontraknya itu berubah. Tapi dia ingin memastikan lagi. Atala tak langsung menjawab dan tampak berpikir. Sebelum akhirnya dia menjawab. "Kan gue emang baik, baru nyadar lo?" Citra terdiam mendengarnya. Atala terkekeh. Lalu wajahnya terlihat serius. "Selain karena gue baik, gue juga ... sayang sama lo." Citra tertegun mendengarnya. Ya, dia sudah menduga alasannya itu, tapi hanya saja dia tak menyangka itu benar. Dan sekarang dia mendengarnya dari Atala langsung. "Kenapa?" Citra bertanya serius. Gadis itu sampai duduk tegak, melepas dekapan Atala dari tubuhnya. Atala mengernyit, tampak tak mengerti dengan pertanyaan itu. "Kenapa lo sayang sama gue?" ulang Citra. "Harus ada alasannya? Setelah apa yang kita lewati selama ini, lo masih be
Citra menggeledah lemarinya dengan tergesa-gesa seakan tak sabar menemukan surat perjanjian itu. Dan ketika dia telah menemukan kertas berlipat di balik lipatan pakaiannya, dia membuka kertas itu dan membaca ulang isinya. Lantas gadis itu keluar kamar, mendatangi suaminya dengan terburu-buru, membawa surat perjanjian itu. "Surat ini harus kita ...." Ucapan Citra menggantung di udara, kala dilihatnya suaminya tengah serius bertelepon, entah dengan siapa. Citra pun diam mendengarkan sambil pelan-pelan dia berjalan di belakang Atala. Percakapan Atala semakin terdengar jelas. "Alhamdulillah, syukurlah, Pa, kalau begitu," ucap Atala di telepon. Citra pun tahu, dia sedang bertelepon dengan papanya. Tapi apa ya yang mereka bicarakan? Apa yang Atala syukuri? "Tapi, Pa, sebenarnya aku pengin ketemu dia. Walaupun harus ketemu dia di penjara. Aku pengin ngomong sama dia. Aku udah lama nggak ketemu dia apalagi setelah aku tahu siapa dia yang sebenarnya." Citra mengernyit. Percakapan
Citra duduk diam mematung. Tatapannya mengarah ke televisi yang menyiarkan iklan, tapi pikirannya tidak fokus mendengarkan tontonan itu. Pikirannya melanglang buana mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi hari ini. Dia berasa bermimpi. Mulai dari dia yang tak sengaja memergoki Dimas yang selingkuh. Sungguh tiap saat mengingat kejadian itu membuat hatinya kembali sakit. Sangat sakit. Dia tak menyangka Dimas yang dia sangka lelaki paling baik tega berselingkuh. Lalu kejadian itu menyebabkan dirinya mau mengakui perasaan pada Atala yang juga mencintainya entah sejak kapan. Seketika percakapannya dengan Atala yang membuat perjanjian di rumah sakit waktu itu kembali membayangi. Seandainya waktu itu dia tak setuju membuat perjanjian, ini semua tak akan terjadi. Percakapannya dengan Dimas turut membayangi entah keberapa kali. "Kamu tahu apa alasan aku melakukan ini? Kamu minta aku untuk setia, untuk selalu baik dan selalu meyakinkan aku untuk tetap bertahan demi mencapai cita
Lagi-lagi Citra tak dapat tidur. Padahal sudah sejak tadi dia berusaha memejamkan mata di atas kasurnya. Berusaha bolak-balik badan mencari posisi yang nyaman. Dia bahkan juga sudah mematikan lampu seperti saat biasa dia tidur. Tapi tetap saja dia tidak bisa tidur. Kata-kata Atala tadi terus bertalu-talu di kepalanya. "Kalau lo memang belum siap sekarang nggak pa-pa. Tapi ... gue akan tunggu sampai lo siap. Kapan pun itu." Mungkin hari ini dia bisa menghindar, mungkin hari ini dia bisa untuk tidak tidur bersama. Tapi Atala menunggunya sampai dia siap. Yang itu artinya cepat atau lambat mereka akan tidur bersama. Citra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kenapa dia jadi takut seperti anak gadis sunti yang baru dipinang begini? Citra bahkan tidak bisa mendefinisikan perasaannya kini yang bercampur aduk. Dia masih sakit hati dengan perselingkuhan yang Dimas lakukan. Tentu saja dia tak bisa melupakannya begitu saja. Di sisi lain dia juga tak menyangka Atala mencintainya
Beberapa hari setelah hari itu terlewati. Pelan-pelan Citra bisa melupakan kesedihannya akan Dimas. Sebenarnya untuk takaran waktu seseorang move on dari mantan pacar memanglah lama, bahkan ada yang butuh waktu hingga bertahun-tahun. Namun, Citra sadar, yang Dimas lakukan sangat fatal. Dimas sudah mengkhianatinya. Jadi buat apa dia berlama-lama menghabiskan waktu memikirkan lelaki itu. Apalagi setiap hari Atala selalu menyemangati dan mengingatkannya untuk tidak terlalu memikirkan lelaki brengsek itu. Di samping itu, Atala juga selalu ada menghiburnya, maka tak heran, kesedihan Citra cepat berangsur. Gadis itu juga tak takut lagi dengan suami kontraknya itu, sekali pun Atala suka berbicara sesuatu yang berbau mesum dan memodusinya. Karena dia tahu apa yang Atala lakukan itu sangatlah wajar. Terlebih mereka sudah mengakui perasaan satu sama lain. Siang itu, Citra melihat Atala tampak gusar sambil menatapi laptopnya. Dia pikir suaminya itu mengeluh soal tugas kuliah. Dia pun men
Atala malah berdecak kesal. "Ternyata susah juga ya cari duit?""Emang susah, makanya lo tuh harus tahu gimana susahnya cari duit. Selama ini lo cuman dikasih Papa kan? Lo tahunya minta aja. Papa kasih lo banyak banget lagi sampai puluhan bahkan ratusan juta. Lo nggak tahu perjuangan Papa bisa dapat uang sebanyak itu berat ... Kalau lo udah kerja nanti baru deh lo ngerasain gimana susahnya cari duit. Jangan tahu nikmatinnya doang."Lagi-lagi perkataan istrinya itu terdengar menohok. Istrinya itu nyaris mirip papanya.Atala jadi teringat ucapan papanya tempo hari." .... Kamu harus bisa mandiri. Harus tahu caranya hidup mandiri. Tahu cara cari uang sendiri. Orang sukses itu dimulai dari bawah, Atala. Dan Papa mau kamu merasakannya dari bawah. Kamu nggak tahu kan bagaimana perjuangan Papa membangun perusahaan sebesar dan sesukses ini? Kehidupan Papa dulunya jauh lebih sulit daripada kamu, Atala. Papa nggak mau kam
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo