Lagi-lagi Citra tak dapat tidur. Padahal sudah sejak tadi dia berusaha memejamkan mata di atas kasurnya. Berusaha bolak-balik badan mencari posisi yang nyaman. Dia bahkan juga sudah mematikan lampu seperti saat biasa dia tidur. Tapi tetap saja dia tidak bisa tidur. Kata-kata Atala tadi terus bertalu-talu di kepalanya. "Kalau lo memang belum siap sekarang nggak pa-pa. Tapi ... gue akan tunggu sampai lo siap. Kapan pun itu." Mungkin hari ini dia bisa menghindar, mungkin hari ini dia bisa untuk tidak tidur bersama. Tapi Atala menunggunya sampai dia siap. Yang itu artinya cepat atau lambat mereka akan tidur bersama. Citra menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Kenapa dia jadi takut seperti anak gadis sunti yang baru dipinang begini? Citra bahkan tidak bisa mendefinisikan perasaannya kini yang bercampur aduk. Dia masih sakit hati dengan perselingkuhan yang Dimas lakukan. Tentu saja dia tak bisa melupakannya begitu saja. Di sisi lain dia juga tak menyangka Atala mencintainya
Beberapa hari setelah hari itu terlewati. Pelan-pelan Citra bisa melupakan kesedihannya akan Dimas. Sebenarnya untuk takaran waktu seseorang move on dari mantan pacar memanglah lama, bahkan ada yang butuh waktu hingga bertahun-tahun. Namun, Citra sadar, yang Dimas lakukan sangat fatal. Dimas sudah mengkhianatinya. Jadi buat apa dia berlama-lama menghabiskan waktu memikirkan lelaki itu. Apalagi setiap hari Atala selalu menyemangati dan mengingatkannya untuk tidak terlalu memikirkan lelaki brengsek itu. Di samping itu, Atala juga selalu ada menghiburnya, maka tak heran, kesedihan Citra cepat berangsur. Gadis itu juga tak takut lagi dengan suami kontraknya itu, sekali pun Atala suka berbicara sesuatu yang berbau mesum dan memodusinya. Karena dia tahu apa yang Atala lakukan itu sangatlah wajar. Terlebih mereka sudah mengakui perasaan satu sama lain. Siang itu, Citra melihat Atala tampak gusar sambil menatapi laptopnya. Dia pikir suaminya itu mengeluh soal tugas kuliah. Dia pun men
Atala malah berdecak kesal. "Ternyata susah juga ya cari duit?""Emang susah, makanya lo tuh harus tahu gimana susahnya cari duit. Selama ini lo cuman dikasih Papa kan? Lo tahunya minta aja. Papa kasih lo banyak banget lagi sampai puluhan bahkan ratusan juta. Lo nggak tahu perjuangan Papa bisa dapat uang sebanyak itu berat ... Kalau lo udah kerja nanti baru deh lo ngerasain gimana susahnya cari duit. Jangan tahu nikmatinnya doang."Lagi-lagi perkataan istrinya itu terdengar menohok. Istrinya itu nyaris mirip papanya.Atala jadi teringat ucapan papanya tempo hari." .... Kamu harus bisa mandiri. Harus tahu caranya hidup mandiri. Tahu cara cari uang sendiri. Orang sukses itu dimulai dari bawah, Atala. Dan Papa mau kamu merasakannya dari bawah. Kamu nggak tahu kan bagaimana perjuangan Papa membangun perusahaan sebesar dan sesukses ini? Kehidupan Papa dulunya jauh lebih sulit daripada kamu, Atala. Papa nggak mau kam
"Jadi gimana? Mau kerja apa nggak?"Atala tampak berpikir dan menatap laptopnya. "Gue bakal coba.""Jadi mau kerja apa?""Hmm gue mau kerja di Sunset Cafe tempat Tristan aja. Gue mau tanya kira-kira di sana ada lowongan nggak ya buat gue?""Serius?""Iya.""Kalau gajinya kecil gimana?""Nggak pa-pa, kan kayak yang lo bilang tadi, semuanya dimulai dari bawah. Makanya gue mau kerja di tempat teman gue aja biar lebih nyaman, kalau ada masalah apa-apa tuh gampang. Gue yakin nanti lama-kelamaan gue juga pasti bisa dapatin pekerjaan dengan gaji gede kayak Papa." Atala tampak begitu yakin dan percaya diri.Citra lagi-lagi tersenyum. "Bagus." Citra memberi dua jempol untuk Atala."Tapi lo janji, ya?" Atala minta sesuatu."Janji apa?" Citra menatap heran."Janji kalau lo akan selalu ada buat gue. Lo harus terus dampingin gue dan support gue kalau gue lagi down."Citra menghela napas. Tampak berpikir."
Malam ini malam Minggu. Atala mengajak Citra jalan-jalan. Dan ini pertama kalinya mereka jalan setelah saling mengungkapkan rasa. Karena mereka sama-sama ada keperluan ke Sunset Cafe, maka malam itu, Atala mengajak Citra ke Sunset Cafe saja. Citra pun menurut saja. Ngedate mereka kali ini tak sekadar ngedate, tapi juga sambil membahas pekerjaan, ngedate berkualitas. Sesampainya di sana ternyata sudah sangat ramai. Kursi di kafe itu nyaris penuh. Maklumlah, malam Minggu. Para muda-mudi senang menghabiskan waktu di kafe pada saat malam Minggu, entah itu dengan pacar atau teman. "Kalian mau ke sini nggak bilang-bilang gue sih. Untung aja masih ada tempat. Lagian tumben malam Minggu berdua ke sini. Silakan duduk." Tristan mempersilakan temannya itu duduk dan menarik kursi. Tapi Atala lebih menarikan kursi untuk istrinya lebih dulu dan memberi kode pada istrinya untuk duduk, sebelum akhirnya dia ikut duduk di kursi yang Tristan sediakan, di samping istrinya. Diam-diam Tristan me
"Kenapa? Lo mau kerja di sini? Seriusan? Emangnya lo mau jadi barista? Tukang bersih-bersih atau tukang cuci gelas?" Lagi-lagi Tristan menertawainya habis-habisan. Sementara Citra hanya menahan senyum. Dia mengerti apa yang ada dipikiran Tristan hingga teman suaminya itu bereaksi demikian. Kembali Tristan menatap Atala tak percaya. "Seorang Atala, sang pewaris kaya, lelaki paling gengsi yang pernah gue kenal mau kerja di kafe? Mimpi kali gue." Kembali Tristan tertawa. "Eh, makanya lo ngeremehin gue sih. Kalau lo mikir gitu selama ini berarti lo belum kenal gue. Emang apa salahnya kalau gue kerja di kafe?" Atala tampak tak senang. "Ya sebenarnya emang nggak ada salah. Cuman masalahnya gue udah kenal lo gimana, La. Bukan gue yang belum kenal lo, tapi lo yang berubah. Sumpah gue perhatiin lo banyak berubah. Ada apa, nih?" Atala berdecak. "Lo ketawain gue terus, sih. Gue serius, nih. Ada pekerjaan nggak di sini? Kalau nggak ada mending gue balik. Gue ke sini bukan minta diketaw
Jadi sebenarnya merek kopi yang tersedia di Sunset Cafe yakni Kopi Muda-Mudi memang sudah banyak yang tahu meski namanya tak seterkenal merek kopi booming lain. Percaya diri dengan kopi yang diraciknya, orang tua Tristan mencoba mengambil keuntungan lebih dari sana, mereka memberanikan diri menjadikannya franchise. Meski belum cukup terkenal, kualitas rasa Kopi Muda-Mudi cukup tinggi, selain itu harganya menengah untuk takaran kopi yang mewah. Merek kopi tersebut belum cukup dikenal hanya karena dia masih sangat baru. Sampai sejauh ini baru ada belasan franchisee yang bekerja sama dengan Kopi Muda-Mudi yang tersebar di berbagai kota di luar Jakarta. Meski namanya Kopi Muda-Mudi, tapi rasanya cocok untuk semua kalangan, tak hanya kaum muda. Begitulah cerita dari Atala yang baru Citra ketahui. Rencana Citra dan Atala yang ingin bekerja sama dengan Tristan dengan menjadi franchisee Kopi Muda-Mudi membuat lelaki itu senang bukan main. Dan tentu saja Tristan menerimanya dengan s
Dua hari berlalu setelah hari itu. Hari itu Atala mendapati Citra sedang sibuk di dapur. Istrinya itu tengah menghadap kitchen set, entah apa dibuatnya, ketika Atala memberanikan diri memeluk pinggang rampingnya dari belakang. Atala tersenyum ketika dia merasakan tubuh istrinya itu tersentak dan dia tak langsung melepas pelukannya. "Atala, apa-apaan, sih!" Citra berusaha melepas pelukan Atala dari pinggangnya dan Atala baru melepaskan. Gadis itu lantas berbalik. Menatap Atala tak suka. "Lancang tahu nggak?!" Atala tersenyum tipis. Istrinya itu pasti belum terbiasa. Lagi pula memang ini pertama kalinya Atala bersikap demikian. Ini pertama kalinya Atala bersikap mesra pada istrinya itu layaknya sepasang suami-istri yang telah lama saling mencintai. "Maaf. Kamu pasti nggak terbiasa, ya," ucap Atala kemudian. "Jangan mentang-mentang udah saling sayang, jadi seenaknya." Citra masih marah, wajahnya kecut. "Main peluk aja, nanti orang lain lihat, aku malu!" Lagi Atala hanya tersenyum
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo