"Kenapa? Lo mau kerja di sini? Seriusan? Emangnya lo mau jadi barista? Tukang bersih-bersih atau tukang cuci gelas?" Lagi-lagi Tristan menertawainya habis-habisan. Sementara Citra hanya menahan senyum. Dia mengerti apa yang ada dipikiran Tristan hingga teman suaminya itu bereaksi demikian. Kembali Tristan menatap Atala tak percaya. "Seorang Atala, sang pewaris kaya, lelaki paling gengsi yang pernah gue kenal mau kerja di kafe? Mimpi kali gue." Kembali Tristan tertawa. "Eh, makanya lo ngeremehin gue sih. Kalau lo mikir gitu selama ini berarti lo belum kenal gue. Emang apa salahnya kalau gue kerja di kafe?" Atala tampak tak senang. "Ya sebenarnya emang nggak ada salah. Cuman masalahnya gue udah kenal lo gimana, La. Bukan gue yang belum kenal lo, tapi lo yang berubah. Sumpah gue perhatiin lo banyak berubah. Ada apa, nih?" Atala berdecak. "Lo ketawain gue terus, sih. Gue serius, nih. Ada pekerjaan nggak di sini? Kalau nggak ada mending gue balik. Gue ke sini bukan minta diketaw
Jadi sebenarnya merek kopi yang tersedia di Sunset Cafe yakni Kopi Muda-Mudi memang sudah banyak yang tahu meski namanya tak seterkenal merek kopi booming lain. Percaya diri dengan kopi yang diraciknya, orang tua Tristan mencoba mengambil keuntungan lebih dari sana, mereka memberanikan diri menjadikannya franchise. Meski belum cukup terkenal, kualitas rasa Kopi Muda-Mudi cukup tinggi, selain itu harganya menengah untuk takaran kopi yang mewah. Merek kopi tersebut belum cukup dikenal hanya karena dia masih sangat baru. Sampai sejauh ini baru ada belasan franchisee yang bekerja sama dengan Kopi Muda-Mudi yang tersebar di berbagai kota di luar Jakarta. Meski namanya Kopi Muda-Mudi, tapi rasanya cocok untuk semua kalangan, tak hanya kaum muda. Begitulah cerita dari Atala yang baru Citra ketahui. Rencana Citra dan Atala yang ingin bekerja sama dengan Tristan dengan menjadi franchisee Kopi Muda-Mudi membuat lelaki itu senang bukan main. Dan tentu saja Tristan menerimanya dengan s
Dua hari berlalu setelah hari itu. Hari itu Atala mendapati Citra sedang sibuk di dapur. Istrinya itu tengah menghadap kitchen set, entah apa dibuatnya, ketika Atala memberanikan diri memeluk pinggang rampingnya dari belakang. Atala tersenyum ketika dia merasakan tubuh istrinya itu tersentak dan dia tak langsung melepas pelukannya. "Atala, apa-apaan, sih!" Citra berusaha melepas pelukan Atala dari pinggangnya dan Atala baru melepaskan. Gadis itu lantas berbalik. Menatap Atala tak suka. "Lancang tahu nggak?!" Atala tersenyum tipis. Istrinya itu pasti belum terbiasa. Lagi pula memang ini pertama kalinya Atala bersikap demikian. Ini pertama kalinya Atala bersikap mesra pada istrinya itu layaknya sepasang suami-istri yang telah lama saling mencintai. "Maaf. Kamu pasti nggak terbiasa, ya," ucap Atala kemudian. "Jangan mentang-mentang udah saling sayang, jadi seenaknya." Citra masih marah, wajahnya kecut. "Main peluk aja, nanti orang lain lihat, aku malu!" Lagi Atala hanya tersenyum
Membuat kue menjadi kegiatan yang menyenangkan bagi Citra. Sejak saat itu dia lebih sering mengisi hari-harinya dengan membuat kue. Tak hanya membuat kue, tapi juga memasak. Sementara itu Atala juga mendapat kabar dari Tristan kalau dia sudah boleh bekerja di Sunset Cafe. Maka hari itu, sepulang dari kampus sore hari, Atala bersiap-siap mandi, berganti pakaian, dan makan. Karena nanti malam, tepatnya jam setengah tujuh dia harus berangkat lagi ke Sunset Cafe. "Makan yang banyak biar kuat dan semangat kerjanya," beritahu Citra sambil memasukkan nasi yang banyak ke dalam piring suaminya. Iya, baru saja Citra memasak menu makan siang buat Atala. Yakni oseng sayur dan cumi goreng. "Aku bakal lebih semangat kalau dapat cium tiap hari dari kamu," celetuk Atala memandangi wajah istrinya yang berubah kesal. "Makan, jangan ngelantur," ucap Citra saat meletakkan piring yang sudah berisi nasi dan lauk-pauk itu ke hadapan suaminya. Atala mendelik. "Setiap ngomong gitu pasti dibilang ngel
Selepas kepergian Atala, Citra masih mematung di teras. Hangatnya kecupan Atala masih terasa di dahinya. Citra sampai memegangi dahinya sambil membayangkan apa-apa yang telah terjadi belakangan ini. Citra sungguh tak menyangka, Atala, cowok nakal yang dulu dia benci, yang dulu senang mengganggunya sampai hidupnya tak tenang kini menjadi jodohnya, menjadi lelaki yang dia cintai. Dan dia tak menyangka sifat Atala bisa berubah seperti itu ketika mencintai seorang wanita. Kembali kejadian masa lalu di mana dia menolak dijodohkan oleh eyangnya teringat, seakan kejadian itu baru terjadi kemarin sore. "Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ...." "Tapi kan Eyang Putri dan Eyang K
From suamiku: Hai, kamu lagi apa? Aku kangen sama kamu. Citra tersenyum geli membaca pesan dari suaminya itu. "Apaan, sih, baru beberapa jam pisah udah kangen aja. Lebay, deh," gumam Citra saat dia duduk-duduk santai di sofa. Pesan itu sebenarnya sudah dia balas dari tadi. Dan ada banyak percakapan mereka. Tapi dia kembali membaca pesan awal itu berulang-ulang saking herannya dia dengan sikap suaminya itu. Seingatnya dulu Dimas tidak begini padanya. Citra lalu melirik jam yang menunjukkan pukul sembilan. Dan membaca pesan terakhir dari suaminya. From suamiku: Aku pulangnya subuh, kamu tidur aja duluan, jangan tunggu aku. Bye, I love you. *** Atala terkejut. Ketika dia pulang ke rumah yang dibukakan oleh Bi Rahma, setelah Atala telepon suruh bangun, dia mendapati Citra malah tertidur di sofa. "Citra nggak tidur di kamar, Bi?" Atala menatap Bi Rahma heran. "Tadi udah Bibi suruh, kalau ngantuk masuk ke kamar saja. Terus Non Citra bilang iya. Jadi ya udah Bibi t
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo