Citra pun ikut khawatir. Wajah gadis itu berubah tegang. "Eyang Putri kenapa, Kak?""Eyang Putri nggak sadarkan diri karena jatuh di kamar mandi. Sekarang mau dibawa ke rumah sakit!""Apa? Eyang jatuh?"Mendengar suara Citra panik ART di sana ikut menoleh, tak terkecuali Bi Rahma. Mereka ikut khawatir mendengar kabar eyang putri jatuh."Iya, Cit. Kamu sama Atala bisa nggak ke rumah sakit sekarang? Kakak sekarang lagi otw ke sana ngantar Eyang."Citra lalu menoleh ke belakang, melihat kepergian Atala. "Bentar, ya, Kak. Aku usahain aku datang. Aku tutup dulu teleponnya, ya, Kak." Citra terdengar terburu-buru. Gadis itu lalu memutuskan sambungan telepon. Lantas gadis itu berlari-lari kecil mendatangi suaminya di teras. "Atala! Atala!"Sementara itu di dapur, para ART pada penasaran. "Ada apa ya dengan Eyang Putri?""Kayaknya Eyang Putri sakit. Tapi mudah-mudahan sakitnya ndak parah.""Iya, mudah-mudahan."Ternyata suaminya itu sedang sibuk membenarkan jam tangannya sambil duduk di kursi t
"Eyang ...!!"Suara Atala yang lantang beserta suara derit engsel pintu ruangan yang terdengar nyaring membuat Citra serta-merta menatap suaminya dengan pandangan melotot.Gadis itu juga menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. "Shuuuttt ... jangan berisik. Eyang lagi tidur," bisiknya. Dilihatnya suaminya itu membawa banyak kantong belanjaan di tangan.Lelaki itu lalu meringis memandang ke arah eyang. "Maaf. Eyang udah sadar?" tanyanya kemudian seraya berjalan mendekat, melihat eyang."Udah, lo bawa apa?" Citra masih melirik kantong-kantong yang di bawa suaminya."Eyang tadi sempat siuman? Dokter bilang apa?" Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, lelaki itu malah bertanya hal lain. Wajahnya terlihat begitu khawatir.Citra tersenyum menenangkan. "Iya. Tadi Eyang sempat sadar, udah ngobrol juga sama gue dan Kak Shinta tadi. Tapi abis itu Eyang tidur lagi. Dokter bilang Eyang pingsan tadi karena tekanan darah Eyang rendah. Eyang nggak ngalamin patah tulang. Jadi Eyang aman," jelas Ci
Dua hari berlalu. Selama itu, Atala dan Citra mengurusi eyang. Mereka menjenguk dan menjaga eyang. Bergantian menyuapi eyang makan, menemani eyang mengobrol, bahkan eyang sering tertawa karena mendengar lelucon Atala. Atala juga rela izin tidak masuk kelas untuk menjaga eyang. Citra tak menyangka Atala mau berkorban sebesar itu buat eyang putri.Kak Shinta bahkan bisa merasakan Atala memang satu-satunya cucu menantu kesayangan eyang. Karena eyang semangat untuk sembuh, eyang dibolehkan pulang oleh dokter keesokkan harinya.Sebenarnya Kak Shinta hendak membawa eyang ke rumahnya. Namun, Atala yang justru meminta agar eyang putri di rumahnya saja.Maka dengan menggunakan mobil SUV milik Atala, sore itu Eyang pulang bersama Citra dan Atala, bersama Kak Shinta juga, menuju rumah megah mereka.Dan di sinilah mereka. Di depan rumah megahnya. Citra sedang sibuk menuntun eyang turun dari mobil ketika Atala membantu menurunkan kursi roda dari bagasi mobil."Eyang nggak perlu pakai kursi roda k
"Dasar mesum!!!""Shuuttt ...." Atala menyentuhkan telunjuknya di bibir Citra. Gadis itu sontak terdiam dan melirik jemari Atala di bibirnya. "Jangan berisik, dong nanti Eyang bangun."Citra langsung menurunkan tangan lelaki itu dari mulutnya. "Tangan lo kotor!""Udah dibilang jangan berisik."Gadis itu menahan amarahnya dengan menatap Atala melotot. "Kenapa, sih masih kayak gitu?!"Atala melihat wajah Citra seakan ingin menangis. "Cuman bercanda, kok.""Gue nggak suka bercanda kayak gitu!" pekik Citra tertahan.Atala lantas langsung teringat dengan perubahan sikap Citra setiap dia menyebutkan kata-kata mesum. Dan dia takut gadis itu berubah lagi sikapnya. Tentu dia tak ingin hal itu terjadi lagi."Gue minta maaf," ucapnya kemudian.Citra diam saja menatap lelaki itu."Please jangan marah, jangan diamin gue lagi." 'Gue nggak sanggup jauh dari lo.' Kalimat sambungan itu tertahan di kerongkongan. "Gu-gue janji nggak bakal gitu lagi. Iya ...."Citra masih diam, lantas berlalu dari hadapan
Citra terkejut setelahnya saat tiba-tiba permukaan gelas itu menutup wajahnya, bibir gelas itu menyentuh bibirnya. Atala memaksanya untuk meminum minuman itu. Citra mau tak mau meneguk sedikit coklat hangat dari dalam gelas tersebut.Atala kembali menarik gelasnya kemudian. "Enak kan?"Citra hanya mengangguk. Tersenyum dalam hati. Begitu rupanya cara lelaki itu berbagi. Tingkahnya memang tak terduga. Kadang menyebalkan. Kadang kalem. Kadang begitu serius."Mau lagi nggak?""Lo aja yang minum," jawab Citra.Satu jam kemudian mereka habiskan dengan mengobrol banyak hal, mulai dari tugas kuliah Atala, cita-cita Citra yang masih ingin jadi dokter, rencana untuk membuka bisnis, keinginan Atala untuk mencoba menjadi barista. Ya, mereka sibuk menceritakan rencana ke depan masing-masing.Sampai Atala bertanya. "Kenapa, sih, masih mau jadi dokter?""Memangnya kenapa?" Citra menoleh ke samping di mana suaminya berada. Mereka berdua menyandar di kaki kursi. Atala sejenak mengabaikan tugasnya."Ap
Pukul dua dini hari, mata Citra yang terpejam rapat tiba-tiba terbuka. Yang di pandangnya pertama kali adalah dinding kamar yang tak asing. Lalu Citra mengedar pandang ke seluk-beluk ruangan itu, memastikan di mana dia berada.Ini di kamar Atala.Lalu dia menyadari tubuhnya berbungkus selimut di atas ranjang. Citra membelalak seketika dan melirik ke sampingnya yang ternyata kosong. Kebingungan menyergapnya.Gadis itu spontan bangun, menegak ke atas tempat tidur. Detik itu dia melihat Atala tidur di sofa seperti biasa. Dia jadi bertanya-tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Apakah dia ketiduran dan Atala membawanya ke sini? Lalu apa yang dilakukan lelaki itu padanya?Pikiran buruk Citra mulai menyerang. Wajah tegangnya tampak berpikir keras.Namun, sesaat kemudian dia mampu berpikir positif. Atala pasti tidak macam-macam padanya, lelaki itu paling-paling hanya mengantarnya ke kamar karena dirinya ketiduran. Iya, pasti begitu.Citra lalu menatap Atala yang tidur di sofa. Dan tersenyum di
Atala tak tahu ada apa lagi dengan istrinya itu. Tapi Atala merasa istrinya menghindarinya, lagi. Dan entah karena apa.Atala selalu tidak suka dengan sikap Citra yang demikian. Atala juga merasa telah berusaha untuk tidak bersikap yang membuat istrinya itu acuh padanya.Maka pagi itu, sejak turun dari rumah, selama dalam perjalanan menuju kampus, Atala sibuk berpikir kira-kira kesalahan apa yang sudah dia lakukan hingga Citra kembali berubah. Padahal semalam mereka masih terasa akrab.Terakhir kali Atala hanya menggendong gadis itu yang tertidur ke kamar. Dan saat itu gadis itu sedang tidur, jadi dia tidak mungkin tahu kalau Atala menggendongnya kan? Lalu apa yang membuatnya marah?"Apa dia tahu ya niat gue yang pengin nyentuh dia?" Atala bergumam seorang diri. Namun, sedetik kemudian dia menggeleng. Menyadari kalau asumsinya itu sangat tidak masuk akal. "Nggak mungkin, kan dia tidur. Terus apa dong yang bikin dia marah?"Lalu Atala teringat hal lain. "Oh iya kira-kira dia bingung ngg
Hari-hari terus berlalu. Atala dan Citra melewati rutinitas seperti biasa. Banyak hal yang mereka lewati bersama. Dan semakin ke sini Citra merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasakan getaran yang tak pernah dia rasakan sebelumnya tiap saat bersama Atala. Citra juga merasa sifat-sifat buruk Atala yang dulu membuatnya benci dengan lelaki itu, sekarang bisa dia terima.Sementara itu, Citra merasa hubungannya dengan pacarnya, Dimas, makin membosankan, karena sifat Dimas yang monoton. Tak jarang diam-diam Citra membandingkan sifat Dimas dengan Atala.Dulu dia merasa Dimas lah yang paling mengerti dirinya. Pacarnya itu juga cerdas, baik, dewasa, elegan dan penuh perhatian. Sangat jauh berbeda dengan Atala yang blak-blakan, terlihat kekanak-kanakan, songong, sombong, suka membully orang, senang membuat masalah.Tapi sekarang semuanya sudah terjawab. Sikap Atala itu ternyata ada sebabnya. Atala bisa tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu karena ibunya meninggal dan dia pernah di-bully
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo