"Eyang ...!!"Suara Atala yang lantang beserta suara derit engsel pintu ruangan yang terdengar nyaring membuat Citra serta-merta menatap suaminya dengan pandangan melotot.Gadis itu juga menempelkan telunjuknya di depan bibirnya. "Shuuuttt ... jangan berisik. Eyang lagi tidur," bisiknya. Dilihatnya suaminya itu membawa banyak kantong belanjaan di tangan.Lelaki itu lalu meringis memandang ke arah eyang. "Maaf. Eyang udah sadar?" tanyanya kemudian seraya berjalan mendekat, melihat eyang."Udah, lo bawa apa?" Citra masih melirik kantong-kantong yang di bawa suaminya."Eyang tadi sempat siuman? Dokter bilang apa?" Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, lelaki itu malah bertanya hal lain. Wajahnya terlihat begitu khawatir.Citra tersenyum menenangkan. "Iya. Tadi Eyang sempat sadar, udah ngobrol juga sama gue dan Kak Shinta tadi. Tapi abis itu Eyang tidur lagi. Dokter bilang Eyang pingsan tadi karena tekanan darah Eyang rendah. Eyang nggak ngalamin patah tulang. Jadi Eyang aman," jelas Ci
Dua hari berlalu. Selama itu, Atala dan Citra mengurusi eyang. Mereka menjenguk dan menjaga eyang. Bergantian menyuapi eyang makan, menemani eyang mengobrol, bahkan eyang sering tertawa karena mendengar lelucon Atala. Atala juga rela izin tidak masuk kelas untuk menjaga eyang. Citra tak menyangka Atala mau berkorban sebesar itu buat eyang putri.Kak Shinta bahkan bisa merasakan Atala memang satu-satunya cucu menantu kesayangan eyang. Karena eyang semangat untuk sembuh, eyang dibolehkan pulang oleh dokter keesokkan harinya.Sebenarnya Kak Shinta hendak membawa eyang ke rumahnya. Namun, Atala yang justru meminta agar eyang putri di rumahnya saja.Maka dengan menggunakan mobil SUV milik Atala, sore itu Eyang pulang bersama Citra dan Atala, bersama Kak Shinta juga, menuju rumah megah mereka.Dan di sinilah mereka. Di depan rumah megahnya. Citra sedang sibuk menuntun eyang turun dari mobil ketika Atala membantu menurunkan kursi roda dari bagasi mobil."Eyang nggak perlu pakai kursi roda k
"Dasar mesum!!!""Shuuttt ...." Atala menyentuhkan telunjuknya di bibir Citra. Gadis itu sontak terdiam dan melirik jemari Atala di bibirnya. "Jangan berisik, dong nanti Eyang bangun."Citra langsung menurunkan tangan lelaki itu dari mulutnya. "Tangan lo kotor!""Udah dibilang jangan berisik."Gadis itu menahan amarahnya dengan menatap Atala melotot. "Kenapa, sih masih kayak gitu?!"Atala melihat wajah Citra seakan ingin menangis. "Cuman bercanda, kok.""Gue nggak suka bercanda kayak gitu!" pekik Citra tertahan.Atala lantas langsung teringat dengan perubahan sikap Citra setiap dia menyebutkan kata-kata mesum. Dan dia takut gadis itu berubah lagi sikapnya. Tentu dia tak ingin hal itu terjadi lagi."Gue minta maaf," ucapnya kemudian.Citra diam saja menatap lelaki itu."Please jangan marah, jangan diamin gue lagi." 'Gue nggak sanggup jauh dari lo.' Kalimat sambungan itu tertahan di kerongkongan. "Gu-gue janji nggak bakal gitu lagi. Iya ...."Citra masih diam, lantas berlalu dari hadapan
Citra terkejut setelahnya saat tiba-tiba permukaan gelas itu menutup wajahnya, bibir gelas itu menyentuh bibirnya. Atala memaksanya untuk meminum minuman itu. Citra mau tak mau meneguk sedikit coklat hangat dari dalam gelas tersebut.Atala kembali menarik gelasnya kemudian. "Enak kan?"Citra hanya mengangguk. Tersenyum dalam hati. Begitu rupanya cara lelaki itu berbagi. Tingkahnya memang tak terduga. Kadang menyebalkan. Kadang kalem. Kadang begitu serius."Mau lagi nggak?""Lo aja yang minum," jawab Citra.Satu jam kemudian mereka habiskan dengan mengobrol banyak hal, mulai dari tugas kuliah Atala, cita-cita Citra yang masih ingin jadi dokter, rencana untuk membuka bisnis, keinginan Atala untuk mencoba menjadi barista. Ya, mereka sibuk menceritakan rencana ke depan masing-masing.Sampai Atala bertanya. "Kenapa, sih, masih mau jadi dokter?""Memangnya kenapa?" Citra menoleh ke samping di mana suaminya berada. Mereka berdua menyandar di kaki kursi. Atala sejenak mengabaikan tugasnya."Ap
Pukul dua dini hari, mata Citra yang terpejam rapat tiba-tiba terbuka. Yang di pandangnya pertama kali adalah dinding kamar yang tak asing. Lalu Citra mengedar pandang ke seluk-beluk ruangan itu, memastikan di mana dia berada.Ini di kamar Atala.Lalu dia menyadari tubuhnya berbungkus selimut di atas ranjang. Citra membelalak seketika dan melirik ke sampingnya yang ternyata kosong. Kebingungan menyergapnya.Gadis itu spontan bangun, menegak ke atas tempat tidur. Detik itu dia melihat Atala tidur di sofa seperti biasa. Dia jadi bertanya-tanya. Kenapa dia bisa ada di sini? Apakah dia ketiduran dan Atala membawanya ke sini? Lalu apa yang dilakukan lelaki itu padanya?Pikiran buruk Citra mulai menyerang. Wajah tegangnya tampak berpikir keras.Namun, sesaat kemudian dia mampu berpikir positif. Atala pasti tidak macam-macam padanya, lelaki itu paling-paling hanya mengantarnya ke kamar karena dirinya ketiduran. Iya, pasti begitu.Citra lalu menatap Atala yang tidur di sofa. Dan tersenyum di
Atala tak tahu ada apa lagi dengan istrinya itu. Tapi Atala merasa istrinya menghindarinya, lagi. Dan entah karena apa.Atala selalu tidak suka dengan sikap Citra yang demikian. Atala juga merasa telah berusaha untuk tidak bersikap yang membuat istrinya itu acuh padanya.Maka pagi itu, sejak turun dari rumah, selama dalam perjalanan menuju kampus, Atala sibuk berpikir kira-kira kesalahan apa yang sudah dia lakukan hingga Citra kembali berubah. Padahal semalam mereka masih terasa akrab.Terakhir kali Atala hanya menggendong gadis itu yang tertidur ke kamar. Dan saat itu gadis itu sedang tidur, jadi dia tidak mungkin tahu kalau Atala menggendongnya kan? Lalu apa yang membuatnya marah?"Apa dia tahu ya niat gue yang pengin nyentuh dia?" Atala bergumam seorang diri. Namun, sedetik kemudian dia menggeleng. Menyadari kalau asumsinya itu sangat tidak masuk akal. "Nggak mungkin, kan dia tidur. Terus apa dong yang bikin dia marah?"Lalu Atala teringat hal lain. "Oh iya kira-kira dia bingung ngg
Hari-hari terus berlalu. Atala dan Citra melewati rutinitas seperti biasa. Banyak hal yang mereka lewati bersama. Dan semakin ke sini Citra merasa ada yang aneh dengan dirinya. Dia merasakan getaran yang tak pernah dia rasakan sebelumnya tiap saat bersama Atala. Citra juga merasa sifat-sifat buruk Atala yang dulu membuatnya benci dengan lelaki itu, sekarang bisa dia terima.Sementara itu, Citra merasa hubungannya dengan pacarnya, Dimas, makin membosankan, karena sifat Dimas yang monoton. Tak jarang diam-diam Citra membandingkan sifat Dimas dengan Atala.Dulu dia merasa Dimas lah yang paling mengerti dirinya. Pacarnya itu juga cerdas, baik, dewasa, elegan dan penuh perhatian. Sangat jauh berbeda dengan Atala yang blak-blakan, terlihat kekanak-kanakan, songong, sombong, suka membully orang, senang membuat masalah.Tapi sekarang semuanya sudah terjawab. Sikap Atala itu ternyata ada sebabnya. Atala bisa tumbuh menjadi pribadi yang seperti itu karena ibunya meninggal dan dia pernah di-bully
Hari itu hari Minggu. Atala yang tidak ngapa-ngapain mendapat tugas dari Bi Rahma, yakni dimintai menemani istrinya belanja keperluan dapur yang mulai habis. Sejak memegang anggaran belanja, Citra lah yang selalu belanja. Atala yang memang sudah mencintai istrinya tentu dengan senang hati menerima tawaran itu. Di sinilah mereka berada, di sebuah Mall yang ada di Jakarta.Atala yang bertugas mendorong troli sejak tadi hanya mengiringi istrinya memilih makanan setengah jadi. "Enak, ya, sekarang mau belanja apa aja tinggal ambil, nggak mikirin harga lagi," ucap Citra sambil membaca tanggal kedaluwarsa pada sebuah kemasan ikan kaleng. Setelah memastikan tanggalnya aman, gadis itu menaruh benda itu di troli."Emangnya dulu mikirin harga?" tanya Atala."Iya," sahut Citra yang lanjut memilih aneka makanan setengah jadi lainnya. "Enak kan nikah sama gue," sahut Atala lagi. "Tapi itu karena kita pakai uang dari Papa. Karena sekarang gue belum kerja. Coba aja kalau ngarepin gaji gue yang ker
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?