"Suami istri yang udah sah wajib menjalani kewajibannya. Kalau nggak sama aja kayak suami dan istri yang durhaka. Kayak lo yang bentak-bentak suami lo sendiri, kalau suami lo nggak terima, lo udah berdosa. Itu fakta."Kata-kata itu terus terngiang di kepala Citra. Sangat mengganggu pikirannya dan membuat harga dirinya merasa dilukai. Dia sangat malu. Kenapa baru sekarang Atala membicarakan soal fakta?'Sial! Kenapa sih dia bisa-bisanya ngomong begitu?' batin Citra meradang."Citra ... dimakan nasinya, Cu, jangan diacak-acak begitu ...," tegur Eyang putri yang duduk di sebelahnya. "Makannya pelan-pelan, sendoknya jangan dipukul."Pikiran Citra yang kalut membuatnya tidak fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang hingga tanpa sadar dia mengetukkan sendok ke piring dengan keras. Citra pun tersadar dan sontak menegakan kepalanya. Di hadapannya duduk Atala yang saat ini juga sedang menatapnya. Mereka jadi bersitatap. Atala seperti tahu apa yang sedang Citra pikirkan.Citra hanya melempar
"Non Citra dan Tuan Atala selalu harmonis kok, Eyang." Bi Rahma yang tengah mengaduk kuah sayur bayam di panci tiba-tiba menyahut. ART itu tahu apa yang dirasakan oleh majikannya yang sebenarnya. "Eyang tahu ndak Tuan Atala itu demen masakannya Non Citra. Masakannya yang itu apa tuh, sop ayam, ya. Tuan Atala suka sop ayam buatan Non Citra. Disuruh beli saja dia ndak mau, dia maunya istrinya yang membuatkan. Dan Non Citra selalu membuatkannya. Non Citra selalu berusaha jadi istri yang baik buat Tuan Atala, Eyang." Bi Rahma bercerita panjang lebar.Dan Citra sungguh tak menyangka akan hal itu. Citra yang sempat menangis dalam diam, tersenyum menatap Bi Rahma. "Bi Rahma berlebihan." Lalu dia kembali fokus dengan pekerjaannya memotong daging sapi."Tapi faktanya memang begitu kan?" timpal Bi Rahma lagi."Oh iya?" sahut Eyang menatap Bi Rahma dengan pandangan berbinar. Tatapan orang tua itu terlihat bahagia. "Iya, Eyang," sahut Bi Rahma lagi. "Mereka berdua itu lucu tingkahnya. Bi Rahma s
Waktu terus bergulir. Atala yang mulai masuk kuliah kini sibuk menjalani MOS di kampus. Sementara Citra sibuk belajar di rumah, kadang juga jalan bersama Tasya atau Dimas. Jika keduanya berada di rumah pun keduanya tak peduli satu sama lain.Meski kadang kala Atala ingin bercerita tentang suatu hal yang dia alami di luar sana pada istrinya. Atala hanya bisa menahan perasaan untuk tidak bercerita dan memendam masalahnya seorang diri. Untung saja masalah teror itu benar-benar tidak lagi muncul belakang ini, hingga Atala tidak begitu pusing memikirkannya lagi. Dan dia hanya fokus dengan kuliahnya.Sedangkan bagi Citra semuanya berjalan baik-baik saja, sesuai dengan yang dia harapkan. Citra hanya menunggu waktu yang tepat untuknya membangun bisnis sebelum akhirnya bercerai dari Atala. Dan melanjutkan mimpinya yang tertunda. Sampai suatu kejadian yang membuat Citra dan Atala kembali berinteraksi pun terjadi. Tak dapat terelakkan.Malam itu hujan turun deras dari sejak sore. Citra hanya men
"Dingin banget, ya?" tanya Citra sambil berbisik. Atala hanya mengangguk. Bibirnya semakin gemeletuk.Citra bingung apa yang harus dia lakukan sekarang."Teh hangatnya lama banget, sih." Dia menoleh ke arah dapur. "Sarti!!""Iya, Non, sebentar!" Sarti menyahut dari dalam. Tak lama kemudian gadis itu keluar dengan membawa secangkir teh hangat. "Ini, Non." Citra menerima teh hangat itu dari tangan Sarti. "Makasih, ya." Lalu meminumkannya ke Atala. "Nih, minum dulu."Lelaki itu pun menurut. Menyeruput teh hangat itu pelan-pelan hingga setengah. Setelahnya Citra meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Kembali fokus pada Atala yang masih saja kedinginan."Masih dingin, ya?" Citra memberanikan diri menyentuh dahi lelaki itu dengan jemarinya. Dan meringis kala merasakan dahi Atala dingin seperti mayat. Lalu dia memegang kedua bahu Atala yang tak beralas. Sama, tubuh Atala terasa dingin seperti mayat."Duh gue harus lakuin apa, dong?" Di tengah kebingungannya, Citra mencoba membantu mengh
"Jadi gimana ceritanya lo bisa pulang dalam keadaan hujan-hujan?" tanya Citra. "Pak Agus memangnya nggak jemput lo?"Atala akhirnya tidak kedinginan lagi setelah cukup lama dia dipeluk oleh Citra. Dan setelah itu dia dipaksa mandi oleh Bi Rahma dengan air hangat. Citra pun ikut mandi karena bajunya sudah basah oleh baju Atala. Atala juga sempat makan sayur bening hangat buatan Bi Rahma. Setelah itu mereka berdua masih sempat mengobrol di ruang tamu. Citra pun penasaran kenapa Atala yang harusnya pulang pakai mobil bisa pulang hujan-hujanan."Mobil Pak Agus tadi tiba-tiba mogok di tengah jalan. Jadi gue mutusin buat naik ojek aja. Di situ gue udah kehujanan, tapi gue maksa. Gue pikir nggak akan lama. Tapi tahu-tahu di tengah jalan ojek yang gue pesan mogok juga. Gue mutusin berteduh di kedai pecel ayam sambil makan di sana. Gue nunggu sampai hujan reda, tapi hujannya juga nggak kunjung reda. Menjelang magrib, gue manggil ojek online lagi, nekat pulang. Gue pikir kalau gue sampai kemala
"Gue terkena hipotermia."Pengakuan Atala itu membuat Citra membelalak tak menyangka. "Hi-hi-poter-mia?" Citra mengeja nama yang asing di pendengarannya itu.Atala mengangguk. "Iya, penyakit hipotermia itu kedinginan hebat. Orang yang menderita penyakit itu nggak boleh kedinginan. Kalau udah gitu, dinginnya jadi kebangetan dan itu bahaya banget. Bahkan bisa menyebabkan kematian.""Kok gue baru tahu lo punya penyakit begitu?" Atala tertawa ringan mendengar pertanyaan itu. "Kan emang banyak hal yang lo nggak tahu tentang gue."Citra terdiam mendengarnya. Atala benar. Lalu dia bertanya. "Kenapa Papa nggak pernah cerita?”"Mungkin Papa pikir itu nggak penting.""Lalu kenapa lo sendiri juga nggak pernah cerita?" "Cerita ke siapa? Ke elo? Buat apa?" Atala menatap Citra remeh.Lagi, Citra terdiam. Lalu kemudian dia bertanya. "Kalau teman-teman lo tahu? Rani tahu?"Atala mengangguk.Citra terdiam lagi, memikirkan sesuatu."Ya, yang penting sekarang lo udah tahu kan kalau gue nggak boleh kedi
"Bibi liat Atala keluar dari kamar nggak? Dia udah bangun belum, ya?" Citra yang tak kuasa menahan rasa penasaran akhirnya memutuskan bertanya pada Bi Rahma yang kebetulan tengah lewat, hendak menyapu teras. Gadis itu bangun pagi-pagi sekali, sempat melakukan olahraga ringan di halaman rumahnya seperti melakukan gerakan pemanasan dan jogging keliling halaman. Dan ketika dia masuk ke rumah, dia tak kunjung melihat lelaki itu yang jam segini biasanya sudah bersiap-siap pergi ke kampus. Tadinya dia memutuskan tak mau peduli, tapir rasa penasarannya jauh lebih besar. Tidak mungkin kan lelaki itu sengaja bolos kuliah?"Belum, Non." Bi Rahma menggeleng."Kok tumben, ya, Bi, dia belum bangun? Udah lumayan siang loh ini.""Kurang tahu itu Bibi, Non. Kalau Non mau tahu cek saja di kamarnya."Citra terdiam, akhirnya dia hanya mengangguk meski tidak yakin untuk melakukan apa yang Bi Rahma sarankan. ART-nya itu lantas; pamit berlalu, melanjutkan aktivitasnya."Cek kamarnya?" Gadis itu bergumam
"Kenapa Atala bisa sakit?" Citra yang saat ini mondar-mandir di ruang tamu sambil menempelkan ponsel di telinganya, menjawab. "Itu, Pa. Semalam Atala pulang hujan-hujanan. Ya mungkin karena itu dia jadi demam.""Kenapa dia bisa pulang hujan-hujanan? Memangnya nggak pakai mobil?"Citra memejamkan matanya sejenak. Pertanyaan inilah yang dia hindari. Apa yang harus dia jawab sekarang?"Mobil Pak Agus mogok katanya, Pa, semalam.""Lalu?""Atala naik ojek.""Dalam keadaan hujan-hujanan?""Iya."Terdengar helaan napas panjang di seberang.Setelah ini Citra harap Papa tidak bertanya-tanya yang aneh-aneh lagi. Atau dia akan nekat buat kasih tahu Papa kalau selama ini mereka diteror."Panas banget badannya?" Citra lega saat mendengar pertanyaan Papa barusan. Bukan pertanyaan yang dia hindari. "Panas banget, Pa," jawabnya kemudian."Selain panas apa lagi?""Cuman panas, sih, Pa. Nggak ada gejala lain kayak pilek, batuk gitu nggak.""Hubungin dokter saja kalau gitu. Papa punya nomor dokter lang