"Teh hangatnya lama banget, sih." Dia menoleh ke arah dapur. "Sarti!!""Iya, Non, sebentar!" Sarti menyahut dari dalam. Tak lama kemudian gadis itu keluar dengan membawa secangkir teh hangat. "Ini, Non." Citra menerima teh hangat itu dari tangan Sarti. "Makasih, ya." Lalu meminumkannya ke Atala. "Nih, minum dulu."Lelaki itu pun menurut. Menyeruput teh hangat itu pelan-pelan hingga setengah. Setelahnya Citra meletakkan cangkir tersebut di atas meja. Kembali fokus pada Atala yang masih saja kedinginan."Masih dingin, ya?" Citra memberanikan diri menyentuh dahi lelaki itu dengan jemarinya. Dan meringis kala merasakan dahi Atala dingin seperti mayat. Lalu dia memegang kedua bahu Atala yang tak beralas. Sama, tubuh Atala terasa dingin seperti mayat."Duh gue harus lakuin apa, dong?" Di tengah kebingungannya, Citra mencoba membantu menghangatkan Atala dengan menggosokkan kedua permukaan telapak tangannya hingga menimbulkan panas. Lalu kedua telapak tangannya yang panas itu di tempel di k
"Kenapa Atala bisa sakit?" Citra yang saat ini mondar-mandir di ruang tamu sambil menempelkan ponsel di telinganya, menjawab. "Itu, Pa. Semalam Atala pulang hujan-hujanan. Ya mungkin karena itu dia jadi demam."Karena bingung harus berbuat apa, Citra memutuskan menelepon papa mertuanya untuk mengabarkan kondisi Atala yang sakit."Kenapa dia bisa pulang hujan-hujanan? Memangnya nggak pakai mobil?""Mobilnya mogok, Pa, jadi Atala tinggalin gitu aja, dan dia milih naik ojek hujan-hujanan," jelas Citra mengingat cerita suaminya tadi malam. Ya, sebelum tidur, Atala sempat bercerita mengenai kenapa dia bisa pulang hujan-hujanan.Terdengar helaan napas panjang di seberang. "Panas banget badannya?" "Panas banget, Pa," jawabnya kemudian."Selain panas apa lagi?""Cuman panas, sih, Pa. Nggak ada gejala lain kayak pilek, batuk gitu nggak.""Hubungin dokter saja kalau gitu. Papa punya nomor dokter langganan yang biasa nanganin Atala sakit dulu. Nanti Papa kirim ke kamu, kamu suruh datang ke rum
"Sudah lama Atala nggak demam begini lagi. Terakhir waktu dia lulus SMA.""Oh iya, Pa? Lama juga ya, Pa.""Iya. Karena Papa selalu suruh Atala minum vitamin buat jaga daya tahan tubuhnya. Papa nggak bisa mengurusinya sendiri kalau dia lagi demam. Makanya Papa nggak mau dia sakit. Momen Atala sakit ini membuat Papa selalu kepikiran." Johan menepati janjinya untuk datang menjenguk anaknya yang sakit. Kini mereka duduk mengelilingi kasur Atala.Citra menatap papa mertuanya yang duduk di hadapannya kini. Lalu dia melirik Atala yang masih tidur di kasur. "Atala ... selama ini ... selalu minum vitamin kok, Pa." Entahlah, Citra pun tak tahu apakah lelaki itu masih minum vitamin atau tidak. Kalimat itu dia katakan agar Papa tidak curiga. "Cuman memang semalam hujannya lagi deras dan memang lagi waktunya Atala kena musibah." Citra kembali menatap papa mertuanya. "Yang sabar, ya, Pa. Tadi dokternya bilang nggak apa-apa, kok. Mungkin besok atau lusa Atala udah sembuh."Papa Johan yang menatap waj
Setelah makan dan minum obat yang dilayani oleh Citra, Atala kembali tidur. Meski masih hangat, tapi Atala merasakan tubuhnya sudah lebih baik daripada tadi malam. Tubuhnya tidak lagi merasakan tak nyaman yang sulit dijelaskan.Sebenarnya pun Atala belum mau tidur, tapi efek yang terdapat dalam kandungan obat yang diminumnya, Atala jadi tertidur.Karena lelaki itu tidur, Citra memilih meninggalkannya. Gadis itu lalu masuk ke kamarnya dan belajar. Namun, saat dia tengah belajar, pikirannya tidak sepenuhnya konsentrasi pada pelajaran itu. Dia memikirkan Atala yang sakit. Juga memikirkan ucapan-ucapan Papa. Wajah Atala yang dia suapkan makan tadi terus saja membayangi."Arghh!!" Citra yang merasa sulit fokus langsung menutup bukunya. Dia meletakkan buku itu ke atas meja belajarnya. "Atala kan udah mendingan, udah makan, udah minum obat juga kan? Papa udah datang. Sekarang dia lagi tidur. Jadi ya udah nggak ada yang perlu gue pikirin." Tapi Citra tetap merasa ada yang aneh. Tapi apa, ya?
Sejak Atala sakit, setiap tiga jam sekali, Citra menjenguk Atala di kamarnya. Dia ingin memastikan kapan lelaki itu sembuh. Dan dia ingin Atala segera sembuh.Kadang dia menemukan lelaki itu sedang tidur, kadang pula dia menemukan Atala sadar dan dia mencoba mengajak lelaki itu bicara tentang suatu hal.Seperti saat ini."Gue perhatiin lo rajin jengukin gue, kenapa? Kangen, ya?"Entah sejak kapan, Atala mulai suka menggodanya seperti itu.Dan tidak seperti biasa, Citra yang biasanya menanggapi pertanyaan semacam itu dengan kesal, kini malah terlihat santai saja. Gadis itu bahkan tersenyum membuat Atala bertanya-tanya dalam hati."Gue cuman nungguin kapan lo sembuh," jawab gadis itu akhirnya."Memangnya kenapa?""Ya masak lo sakit terus kan? Lo harus sembuh, dong. Biar Papa nggak kepikiran," jawab Citra.Atala yang berbaring sejak tadi, tersenyum tipis. "Biar Papa nggak kepikiran atau biar lo yang nggak kepikiran?"Nah, kan? Atala lagi-lagi bicara seperti itu."Ih, apaan, sih?" Citra me
Pagi itu sekitar setengah delapan Citra ingin menyiapkan sarapan untuk Atala. Dia ingin kali ini dia yang membuatkan bubur ayam untuk suaminya. Namun, gadis itu tersenyum melihat semangkok bubur ayam itu sudah tersedia di atas nampan di meja makan."Eh, Non Citra mau sarapan?" Tiba-tiba Bi Rahma bertanya. "Enggak, Bi."Lalu pandangannya beralih pada semangkok bubur ayam dan segelas air putih di atas nampan itu. "Itu buat Atala, ya, Bi?" Harusnya dia tak perlu bertanya lagi karena sudah dua hari belakangan ini Bi Rahma selalu menyiapkannya untuk Atala. Hanya saja dia ingin berbasa-basi."Iya, Non. Non kalau mau sarapan, buburnya ada tuh udah siap semua. Tinggal nikmati saja. Bibi sekarang mau bawakan sarapan buat Tuan Atala. Biar nanti dia bangun bisa langsung makan," terang Bi Rahma yang kemudian hendak mengangkat nampan itu. Namun, Citra menginterupsi."Eh, Bi, biar aku aja yang kasih." Citra memegangi nampan itu."Nggak pa-pa, Non?" Bi Rahma menatapnya ragu."Nggak pa-pa, Bi.""Seri
Atala dipaksa Citra untuk sarapan. Bahkan juga dipaksa disuapi. Alasannya Citra mau memastikan kalau Atala makan dengan lahap dan cepat. Mereka makan di ruang tamu."Udah," ucap Atala ketika bubur itu tinggal sedikit lagi."Sedikit lagi, nih, habisin, dong." Citra mengulurkan sesendok bubur terakhir itu ke mulut pria itu.Atala menggeleng."Sedikit lagi." Citra kekeh.Akhirnya Atala mengalah. Membuka mulutnya dan menikmati bubur terakhir itu. "Oke, kelar," ucapnya kemudian."Eh, belum.""Apalagi sih." Atala memelas."Minum susu dulu, nih." Citra mengulurkan segelas susu yang sudah tidak hangat itu pada Atala.Dengan malas-malasan Atala meminumnya hingga setengah. "Nih.""Habisin, dong."Atala memegangi perutnya. "Kenyang banget gue. Mau muntah gue.""Iya, deh." Citra mengalah kali ini."Gue berangkat dulu, ya." Lagi, Atala mengacak puncak kepala Citra. Dan Citra membiarkannya."Ingat, ya. Hati-hati jangan sampai tumbang di jalanan," pesan Citra."Iya." Atala mulai berdiri, berjalan kel
Sore harinya begitu Atala pulang, Citra orang yang pertama menyambut kepulangannya.Begitu terdengar mesin mobil di garasi, Citra yang duduk di ruang tamu sambil menscroll ponsel sejak tadi karena sengaja menunggu kepulangan lelaki itu langsung bergegas menghampiri garasi."Atala, lo nggak pa-pa?" Citra melirik tubuh lelaki itu dari ujung kaki hingga ujung kepala. Dia menatap lekat lelaki itu. "Lo nggak sakit kan? Lo nggak hujan-hujanan kan?""Keadaan gue seperti yang lo lihat." Atala lalu berjalan masuk melewati Citra yang kemudian mengiringinya. "Baju gue nggak basah kan? Itu artinya gue nggak kehujanan.""Tapi tadi ada gerimis dikit. Bulan ini kan musim penghujan.""Ya, cuman gerimis. Waktu itu gue masih di kelas."Citra percaya dan merasa sedikit lega. Tapi diam-diam dia masih memperhatikan suaminya itu.Atala memang terlihat sudah sembuh, tapi ...."Tadi makan apa aja di kantin?" tanya Citra kemudian."Nasi putih, ayam goreng sama telur balado," jawab Atala ogah-ogahan."Mau makan
Enam tahun kemudian.Tok! Tok! Tok!Pintu ruang CEO itu terdengar diketuk, sebelum akhirnya sang CEO yang duduk di atas singgasananya menyahut."Ya, masuk!"Pintu di buka, memunculkan seorang wanita cantik mengenakan pakaian kantor. Terlihat begitu elegan. Sepatu hak tingginya terdengar menggema mengetuk lantai ketika dia berjalan mendekat sembari meninting paper bag. Sang CEO tersenyum senang melihat kehadiran wanita itu. "Makan siangnya sudah datang, Pak," beritahu sang sekretaris itu, lalu meletakkan paper bagnya ke atas meja."Terima kasih," sahut sang CEO. Ya, baru saja dia meminta sang sekretaris pribadinya itu memesankan makanan online untuknya. "Eh, kamu mau ke mana?" tanyanya ketika sang sekretaris terlihat beranjak pergi.Wanita berambut pendek itu menatapnya. "Keluar, Pak.""Duduk di sini, temanin saya makan, seperti biasa, dong." Sang CEO tersenyum penuh arti saat menutup laptopnya. "Maaf, saya belum lapar, Pak. Lagian masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,
Citra tersenyum saat dia tak sengaja masuk ke stan baju bayi dan balita, dan melihat beberapa baju bayi yang bergantungan itu. Baju-baju bayi itu membuatnya teringat dengan bayinya yang sempat singgah di perutnya. Dia bahkan belum sempat membelikan bayi itu baju, tapi bayi itu sudah pergi. "Hei, kamu di sini ternyata." Teguran itu menyadarkan lamunan Citra. Wanita itu sontak menoleh ke sampingnya. Atala menegurnya sambil menatapnya heran. Lalu Atala ikut memandang ke arah pandang Citra. "Udah jangan sedih-sedih lagi, jangan ingat-ingat lagi," ucapnya menghibur sambil mengusap kepala istrinya.Citra tersenyum. "Iya.""Udah selesai pilih bajunya?"Citra menggeleng. "Ya udah, ayok pilih lagi."Atala benar-benar mengajak Citra jalan ke Mall demi menghibur istrinya itu. Walau sepertinya hal itu tak banyak membantu. Karena Atala masih sering mendapati Citra murung memikirkan sesuatu.Citra kembali mendorong trolinya, kembali memasuki stan pakaian dewasa, bersama Atala juga. Saat Citr
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka