"La, gue boleh tanya sesuatu nggak?" tanya Citra tiba-tiba membuat Atala menatapnya.Lelaki itu menaikkan alisnya. "Tanya apa?""Lo dulu kok bisa nakal banget, sih?" Atala terdiam mendengar pertanyaan itu. Sendoknya yang sejak tadi bergerak, terhenti di atas piring, mulutnya juga berhenti mengunyah. Tatapannya mengarah ke piring.Melihat perubahan itu, Citra merasa tak nyaman. "Maaf pertanyaan gue nyinggung lo. Maksud gue kenapa lo dulu bisa senakal itu? Kelihatan kayak cowok bad boy, padahal sebenarnya lo baik." Citra meringis. Dia mengakui Atala baik.Dan kalimat terakhir itu berhasil membuat Atala menatapnya. Citra masih meringis."Kenapa lo malah nanyain itu?" Atala malah bertanya balik. "Gue emang nakal kali, nggak karena apa-apa.""Gue kirain ada sebabnya."Lagi, ucapan itu membuat Atala menatap Citra tak habis pikir. Atala bingung kenapa Citra bisa berpikir demikian. Apakah hanya kebetulan? Tapi rasanya tak mungkin hanya kebetulan. Dan Citra satu-satunya perempuan yang bertany
Siang itu, tiba-tiba Papa Johan datang ke rumah. Atala dan Citra menyambut kedatangan pria itu dengan senang. Di sana juga ada eyang putri. Eyang putri ikut mendengarkan percakapan mereka. Awalnya mereka membahas banyak hal, sampai papa Johan fokus pada tujuan dia datang kemari."Oh iya, Atala, sebenarnya tujuan Papa datang kemari, karena ada kabar bahagia buatmu dan Citra."Ucapan Papa Johan yang demikian membuat keduanya makin penasaran."Oh iya apa itu, Pa?" Atala menatap papanya penasaran. Berharap kali ini benar-benar kabar bahagia. "Soal kuliah kamu. Papa sudah urus pendaftaran kuliahmu ke kampus yang bisa nerima kamu. Papa juga sudah bayarkan biaya masuknya. Selebihnya kamu yang urus. Ini kabar baik kan?""Serius, Pa?" Atala terlihat senang. "Iya, Pa. Baik banget, Pa. Makasih, ya, Pa." Dia tersenyum sekilas ke arah istrinya yang membalas senyumnya singkat.Johan mengangguk. "Kuliah yang benar.""Aku janji, Pa, bakal jalanin kuliah ini dengan baik dan sampai selesai."Papa Joh
"Melamun aja."Citra tersentak saat sesuatu yang dingin menyentuh hidungnya. Di hadapannya terulur es krim cone yang krimnya barusan menyentuh hidungnya.Citra langsung cemberut mengusap hidungnya yang terkena krim yang menempel di hidungnya. "Lengket."Dimas tertawa dan duduk di hadapannya. "Abis melamun muluk, sih. Nih buat kamu."Citra menerima es krim cone pemberian Dimas itu sambil tersenyum. "Makasih ....""Sama-sama, Sayang ...." Dimas mengacak rambut Citra.Kini dua sejoli itu sedang menikmati malam minggu di sebuah Mall, seperti biasanya. Dua sejoli itu memang senang menghabiskan waktu di Mall, walaupun tidak belanja banyak, walaupun hanya sekadar makan. Dimas adalah pribadi yang sederhana. Dia tidak suka berfoya-foya seperti Atala. Itulah salah satu kelebihannya yang Citra suka.Citra lalu menikmati es krimnya."Enak?" tanya Dimas yang juga mencicipi es krimnya.Citra mengangguk."Kamu mikirin apa, sih? Aku perhatiin melamun aja dari tadi," tegur Dimas lagi karena Citra tak
"Jadi Citra belum pulang, Mbak? Serius?"Setelah puas menghibur diri dengan melakukan hobinya--bermain band dan bernyanyi di ruang musik lantai atas, Atala turun ke bawah. Dia pikir Citra sudah pulang, tapi dia tak melihat keberadaan gadis itu. Hingga dia bertanya pada ART nya, dan jawabannya membuatnya kecewa."Iya, Tuan. Belum."Atala terdiam. Saat ini cewek itu pasti sedang asyik dengan pacarnya."Tuan nggak perlu khawatir," ucap Tyas lagi melihat kekhawatiran pada wajah sang majikan. "Bentar lagi mungkin Non Citra bakal pulang. Mungkin sekarang sedang di jalan." Tyas menenangkan."Iya, makasih, ya," jawab Atala kemudian. Selepas kepergian ART-nya, Atala berdecak kesal. "Lama banget sih tuh cewek pulangnya. Ini udah lumayan malam." Atala melirik jarum jam di pergelangan tangannya.Entahlah, rasanya dia tak suka gadis itu jauh darinya terlalu lama. Dia tak rela membayangkan cewek itu bersama lelaki lain. "Nyesel gue ngizininnya pergi tadi," gumam Atala.Lelaki itu lalu merogoh ponsel
"Gue liat ya tadi lo mau cium istri gue!"Citra melotot mendengarnya. Dia menatap Dimas penuh tanda tanya. Apa benar yang Atala katakan? Demikian maksud tatapannya."Cium apa, sih. Gue tadi cuman berusaha buat bangunin dia," jawab Dimas. Atala tak percaya dan malah menatap cowok itu terang-terangan. "Jangan bohong lo! Gue tahu ya lo tadi mau berbuat mesum di mobil!"Citra memperhatikan dua lelaki di hadapannya dengan cemas. Sesekali dia melirik ke rumah, takut eyang putri keluar. "Terserah lo mau bilang apa. Yang pasti gue nggak kayak yang lo pikirin," jawab Dimas masih terlihat tenang. Citra mendekat dan berusaha melerai keduanya dengan memegangi dada kedua lelaki itu. Dan menatapnya bergantian. "Hei, kalian jangan berantem di sini, dong. La, udah dong, nanti Eyang denger." Tidak ada yang lebih penting bagi Citra selain perasaan eyangnya saat ini."Dia mau mesum sama lo, terus gue sebagai suami diam aja?!" Atala menatap Citra."Dia nggak mesum!" balas Citra."Lo nggak tahu, Cit, lo
Selepas bertengkar dengan Atala, Citra langsung berlari masuk ke rumah. Dia sempat melihat eyang putri yang baru keluar dari kamarnya, dan orang tua itu sempat melihat dirinya dengan tatapan heran.Sebelum eyangnya bertanya, cepat Citra masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Di kamar, dia langsung menghubungi Dimas. Citra tahu bagaimana perasaan Dimas saat ini. Dari tatapannya tadi, Citra tahu lelaki itu amat kecewa dengannya karena beranggapan dia lebih membela Atala.Selama ini Dimas begitu baik dengannya, Citra tak ingin membiarkan perasaan lelaki itu terluka atau membiarkannya salah paham. Citra menempelkan benda pipih itu ke telinganya sambil mondar-mandir di kamar itu. Awalnya terdengar dua kali nada sambung sebelum akhirnya nada sambung itu terhenti, panggilannya ditolak.Jantung Citra sontak berdebar kencang saat menatap layar ponselnya. Kekhawatirannya tentang Dimas yang kecewa menjadi. Tapi Citra tak menyerah. Dia terus menelepon pacarnya itu sampai panggilannya yang kesekian
"Citra!" Atala mengetuk pintu kamarnya pelan setelah eyang masuk ke kamar. Berharap Citra membukakannya pintu.Tapi selama beberapa detik sejak dia memanggil nama gadis itu, Citra tak kunjung keluar. Bahkan tidak terdengar pergerakan atau suara sama sekali dari dalam sana. Sedang apa gadis itu di dalam sana? Mungkinkah sedang tidur? Atau sedang melamun? Atau malah sedang menangiskan pacarnya itu? Atau mungkin juga gadis itu marah dengannya?Dugaan terakhir itu membuat Atala takut. Dia pun tak menyangka Citra akan semarah itu padanya gara-gara tindakannya tadi. Lalu apa yang harus dia lakukan sekarang?"Citra!" Atala terus saja memanggil. Tapi pintu kamarnya juga tak kunjung terbuka. Atala tahu dia harus lakukan hal yang tak biasa agar gadis itu mau membuka pintunya. "Hei, Sayang, aku mau mandi, nih, mau ambil baju di lemari, buka dong!" Atala bersandiwara, jaga-jaga kalau eyang dengar.Terbukti, tak lama kemudian pintu terbuka dan menampakkan tubuh mungil gadis itu. "Hai?" Atala tersen
Dentingan petikan gitar yang merdu terdengar di sekitar kolam renang itu, menemani malam Atala. Lelaki itu duduk menggantung, membiarkan setengah kakinya tercelup dinginnya air kolam. Lalu bersenandung pelan sambil memejamkan mata. Dia begitu menghayati lirik lagu yang dia nyanyikan. Dia menghibur diri dengan bernyanyi.Citra masih kecewa dengan sikap Atala sampai berhari-hari kemudian, dia bahkan mendiamkan lelaki itu.Dan entah kenapa, Atala tidak terbiasa dengan itu, dia amat sangat tidak nyaman dengan perlakuan Citra yang demikian.Dulu mereka selalu saling bicara, meskipun bertengkar. Sekarang malah saling diam. Rasanya bertengkar lebih baik asal mereka saling bicara dari pada begini.Meski telah menyibukkan diri dengan kegiatan daftar ulang di kampus, Atala tetap merasa tidak baik-baik saja, kesibukannya tak mampu mengalihkan pikirannya tentang sikap cewek itu.Atala tak menyangka, sikapnya kemarin membuat Citra jadi begitu marah padanya. Dan dia menyesal. Tapi Atala lebih tidak
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?