"Liat kan yang gue bilang? Baru aja tadi diomongin," kesal Atala memperhatikan buket bunga Melati yang penuh bercak darah itu terletak di lantai teras.Citra yang ikut berjongkok di sisi Atala menatap surat ditangannya, surat yang baru mereka temui dalam buket bunga tersebut. Sementara Bibi Rahma masuk ke dalam, tidak ingin ikut campur meski dia penasaran masalah apa yang sedang dialami majikannya itu."Pernikahan kalian tidak selalu indah dan putih seperti bunga Melati yang sesungguhnya. Pernikahan kalian akan dinodai dengan masalah besar seperti bercak darah yang ada di bunga Melati ini. Selamat untuk pernikahan kalian. Bunga Melati ini lambang pernikahan kalian yang kekal abadi di surga." Citra membaca surat itu berulang-ulang."Buang aja deh surat itu," kesal Atala."Jangan." Citra menyahut. "Kalau lo mau serius tindak kasus ini, kita bisa laporkan ke polisi dan surat ini bisa jadi barang bukti.""Siapa sih orang ini sebenarnya? Gue yakin teror ini ada karena berita pesta pernikaha
Meskipun Atala telah menyewa satpam untuk menjaga rumah mereka, sepasang suami-istri itu sempat stres dibuat peneror itu. Setiap hari mereka memikirkan siapa pelakunya. Namun, mereka tak bisa menemukan jawaban yang pasti. Semua tindakan yang mereka lakukan hanya jalan di tempat. Atala ingin memancing orang tua itu untuk keluar, tapi bingung bagaimana caranya. Dia juga sudah bercerita pada teman-temannya, tapi tak ada yang bisa menebak siapa pelaku teror yang menghantui Atala belakangan ini. Begitu pula dengan Citra, dia juga menceritakan masalah itu dengan Dimas dan Tasya. Namun, tidak ada yang membuahkan hasil.Atala menunggu teror itu datang lagi, karena dia ingin langsung menyergap orang itu. Namun, teror itu juga tak kunjung datang hingga beberapa hari kemudian. Sampai Atala berpikir kalau orang yang menerornya itu hanya iseng. Dan dia memilih tak menanggapi orang iseng itu. "Bego juga ya kita sampai stres mikirin siapa mereka? Padahal mereka cuman iseng ngerjain kita," ucap Ata
Citra tersenyum semringah kala pintu dibuka dan menemukan eyang putri yang pertama kali membukakannya pintu. "Assalamualaikum, Eyang," sambut Citra semringah. Eyang putri menyahut salam Citra. Lalu mempersilakan cucunya masuk."Eyang lagi apa?" Citra celingukan memindai setiap sudut rumah itu. "Kak Shinta mana?""Kakakmu sama anaknya lagi pergi ke acara ulang tahun teman anaknya," jelas eyang yang langsung masuk ke dalam. Citra mengiringinya."Oh ...." Citra mengangguk-angguk. Syukurlah kalau Kak Shinta tidak ada di rumah. Jadi Kak Shinta tak perlu banyak bertanya tentangnya. "Jadi Eyang tinggal sama siapa?" Pertanyaan Citra terjawab saat dia berpapasan dengan baby sitter Raya, anak Kak Shinta yang kedua, yang sedang duduk di meja telepon. Sepertinya dia baru habis menerima telepon entah dari siapa. Baby sitter itu sempat tersenyum halus melihatnya. Citra membalas hal serupa."Ada Kikan yang temani Eyang," jawab Eyang. Kikan adalah nama baby sitter itu.Citra mengangguk-angguk. "Oh iy
"Kamu sudah berkunjung ke makam Eyang Kakung?" Pertanyaan itu terus bertalu-talu di kepala Citra.Jujur, Citra memang belum pernah ke makam eyang kakung. Terakhir kali dia ke makam eyang kakung ketika prosesi pemakaman itu dilakukan. Dan setelah itu dia tidak pernah ke makam eyang lagi.Dia terlalu sibuk dengan dunianya, terlalu sibuk dengan rutinitas dan ambisinya, terlalu sibuk dengan masalahnya. Citra merasa menjadi cucu yang durhaka.Pertanyaan eyang tadi seolah menyadarkannya. Karenanya, setelah dari rumah Kak Shinta, setelah pamit dengan eyang, dengan menggunakan taksi, dia langsung pergi ke makam eyang kakung. Tidak lupa dia membeli bunga kenanga, potongan daun pandan beserta air minum di warung khusus yang ada di sekitar pemakaman itu.Kini gadis itu sudah terduduk di tepi makam eyang kakung. Untuk pertama kalinya Citra ke sini. Gadis itu menabur bunga dan daun pandan lalu menyiramkan air minum botol plastik ke gundukan tanah itu. Setelahnya gadis itu mengangkat tangan untuk be
"Woi berhenti lo! Jangan jadi pengecut!"Atala mengernyit mendengar teriakan itu. "Siapa yang pengecut?! Lo ngatain diri sendiri?!" Atala melawannya terang-terangan sambil tertawa. Pengendara itu tidak menyahut lagi, tapi masih menggiring mobilnya. Atala jadi kesal. Sampai dia meninju setiran mobilnya. "Anjing, nih, orang!"Motor si peneror itu berhasil menghadang jalan Atala dengan menghentikan motornya di depan mobil SUV itu secara tiba-tiba. Atala spontan mengerem mendadak seiring dengan jantungnya yang berdebar kencang. "Sial! Mau apa, sih, nih, orang?! Kenapa nggak gue tabrak aja tadi, ya." Dia baru teringat."Kayaknya orang ini makin berani, ya. Dia nantangin gue. Oke siapa takut?!" Atala pun memutuskan untuk turun dari mobilnya dan melawan orang itu. Dia pun ingin melihat wajah yang tersembunyi di balik masker kain itu."Siapa lo?!" tanya Atala lebih dulu dengan berani saat dia telah berdiri di depan orang itu yang juga sudah turun dari motornya. Kedua lelaki itu berdiri berha
Atala merasa harga dirinya yang dikenal sebagai anak pewaris keluarga Sudiharto hancur. Atala benar-benar merasa seperti pengecut, anak manja dan seperti semua yang dituduhkan oleh si peneror itu. Jika seandainya dia tidak datang memenuhi panggilan ke gedung terbengkalai itu.Demi harga diri dan demi kehormatan keluarga Sudiharto, Atala nekat untuk datang ke sana saat itu juga. Bibit nakal dan senang menghadapi masalah dalam diri seorang Atala rupanya masih bersemayam. Inilah puncak yang dia tunggu-tunggu. Sudah lama dia tidak menghadapi masalah yang memicu adrenalin seperti ini.Atala kini telah tiba di tempat tujuan. Dia telah tiba di sebuah ruangan besar dan kosong. Tembok dan lantai semen yang tak bercat terlihat polos. Namun, di sudut ruangan itu ada sofa tunggal yang mana seseorang duduk di atasnya. Orang yang menanti kedatangan Atala. Dia menghadap belakang hingga dari sini hanya kepalanya yang terlihat, kepala yang tertutup sarung."Berani juga lo datang rupanya, Anak Muda.”At
Atala terkesiap saat tahu dia dikepung oleh segerombolan laki-laki. Jumlah mereka sekitar belasan orang. Tampangnya galak dan sangar-sangar. Tampang pereman. Mereka terlihat ingin memakan Atala saat itu juga.Jantung Atala spontan berdebar kencang. Atala merasa kini dia dalam bahaya. Atala merasa kini dia sedang ditipu. Atala merasa dirinya benar-benar bodoh!Sosok misterius itu tertawa. Atala melirik ke arahnya sekilas. Sosok itu, meski dia sudah berbalik menatap ke mari, dia tidak membuka sarung hitam dan menunjukkan wajahnya. "Dasar pengecut lo!" teriak Atala geram. "Mau apa lo pengecut! Penipu! Bangsat! Bajingan!”Buk!Tubuh belakang Atala dipukul dengan sebuah balok hingga lelaki itu membukuk kesakitan. Dia mendapat serangan tiba-tiba. Ini tidak fair.Sosok misterius itu lalu mengangkat sebelah tangan memberi aba-aba pada anak buahnya untuk tidak melakukan itu."Apa-apaan ini? Kalian ngajak gue berantem? Main keroyokan! Kalian emang pengecut yang paling pengecut di dunia!" Atala
"Atala, Atala, lo nggak pa-pa?" Citra langsung saja bertanya antusias kala Atala turun dari mobil, diiringi teman-temannya.Gadis itu memegangi lengan Atala sampai langkah suaminya itu berhenti. Dia terlihat begitu khawatir.Gadis itu lalu tertunduk malu saat menyadari semua pasang mata yang ada di sana memperhatikannya sejak tadi. Sekaligus bingung bagaimana harus bersikap? Apakah harus pura-pura harmonis seperti yang dia lakukan di depan keluarganya selama ini? Atau bersikap biasa-biasa saja?Tapi selama ini dia tidak berpura-pura di depan teman-temannya. Citra yakin, Atala juga demikian.Oh iya di sini ada Rani. Rani tahu bagaimana hubungan mereka, jadi Citra pikir dia tak perlu bersandiwara."Maaf, gue, gue cuman panik." Citra terkekeh. Entah menertawakan apa. "Silakan masuk semuanya." Citra mundur untuk memberi ruang pada mereka. Atala memegang lengan Citra. "Gue nggak pa-pa. Untungnya ada mereka yang nolongin," jawab Atala menghilangkan kekhawatiran itu.Atala bingung Citra sep