Belakangan ini Citra merasa agak stres. Tiba-tiba banyak masalah yang menghampiri hidupnya sejak dia menikah. Terutama masalah Dimas yang cemburu. Belum lagi dia yang terbebani dengan amanah papa mertuanya yang memintanya mengubah perilaku Atala. Dan yang tak kalah memusingkan adalah menghadapi tingkah eyang dan menjaga sikap di depan eyang. Itu semua benar-benar melelahkan.Dia merasa amat sangat butuh teman curhat, tapi dia tidak mungkin curhat dengan eyang tentang masalah itu. Karenanya hari itu dia keluar, mengajak Tasya bertemu di sebuah kafe yang tak jauh dari kediamannya. Hanya Tasya yang bisa dia ajak curhat tentang masalah ini. Kebetulan juga mereka sudah lama tak bersua."Sumpah gue nyaris nggak ngenalin lo tadi, makanya agak bingung gue. Kalau lo nggak lambai, gue nggak akan sadar kalau itu lo," cerocos Tasya setelah dia duduk di hadapan temannya itu. Iya, waktu pertama kali datang ke kafe ini, gadis itu agak bingung mencari keberadaan temannya.Citra memutar bola mata. "Leb
Seminggu berlalu setelah hari di mana Citra curhat dengan Tasya.Hubungan Citra dan Dimas pun sudah menemukan titik terang. Setelah bersusah payah Citra membujuk pacarnya untuk percaya dan memintanya tidak cemburu dengan Atala, akhirnya Dimas melunak. Mereka baikan dengan syarat Citra harus menjaga jarak dari Atala. Dimas tak mau lagi melihat Citra posting foto bersama lelaki itu di sosial medianya. Dan Citra menyetujuinya.Dan selama seminggu itu, Citra lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbelanja di Mall, mengatur anggaran belanja. Dia juga jadi sering ke klinik kecantikan. Dia pergi sendiri tanpa ditemani Atala ataupun Dimas.Sesekali Kak Shinta datang ke rumahnya untuk menjenguk keadaan eyang putri. Dan Citra semakin pamer pada kakaknya. Selain wajahnya yang makin glowing, Citra juga mengubah penampilannya--itu permintaan Atala juga. Dia mengenakan pakaian branded. Baju, tas, sepatu dan aksesoris semuanya branded. Singkat kata penampilannya yang sekarang bak artis terkenal.Me
Siang itu para karyawan dan pekerja di perusahaan papa Johan tampak heboh, saling lirik, berbisik-bisik.Bagaimana tidak?Hari itu, Atala datang ke kantor, dia tak sendiri. Anak semata wayang pemilik perusahaan itu datang didampingi istrinya, Citra.Citra yang penampilannya kini telah berbeda bak artis Korea menjadi pusat perhatian orang-orang di sana.Beberapa karyawan yang ramah tak sungkan menyapanya seiring dengan dia yang melangkah masuk menuju ruang kerja Papa Johan."Halo Mas Atala dan istri ....""Hai istrinya Mas Atala ....""Istrinya Mas Atala cantik, ya.""Hai, kalian seperti pasangan artis Korea, deh. Seperti siapa dia? Yang di film Goblin itu ...."Macam-macam komentar orang tunjukkan. Atala dan Citra menyahuti sapaan dan pujian itu dengan senang dan tak kalah ramah.Tapi diam-diam Atala tak suka dirinya disamakan dengan pemeran pria di film Korea Goblin itu. Karena usianya yang jauh berbeda dengan dirinya yang masih sangat remaja, sedangkan pemeran pria di film Korea Gobl
Hari terus berlalu. Sambil menunggu kabar dari papa yang mengurusi kampus dan pendaftarannya, Atala sering menghabiskan waktu berdua bersama Citra, entah itu di luar atau di rumah. Ya, tak lain demi sandiwara di depan eyang.Hari ini mereka akan menghadiri acara ulang tahun anak sulung Kak Shinta yang ke empat tahun. Acara itu dirayakan besar-besaran di rumah Kak Shinta. Sebagai keluarga tentu mereka juga diundang. Tapi waktu itu eyang putri hanya tinggal di rumah, ditemani para dayang.Berhubung mereka belum ada kesibukan, mereka pun menyempatkan diri untuk datang. Citra sudah menyiapkan kado untuk keponakannya, yakni satu set boneka berbi cantik beserta baju dan kelengkapan lainnya. Bocah itu pasti senang dibelikan berbi, pikir Citra.Begitu mereka tiba di rumah Kak Shinta, acara itu sudah berjalan setengah. Mereka sedang bernyanyi bersama. Kebetulan acara itu diadakan di teras samping rumah Kak Shinta yang kini dimodif sedemikian rupa menjadi ruang berpesta anak-anak. Di sana juga r
"Senang aja dipanggil sayang sama kamu," jawab Atala dengan suara agak keras.Citra memutar bola matanya malas. "Cuman sandiwara, ya. Jangan ge-er!" bisik Citra."Oke, tepuk tangannya yang meriah buat Nuri mana?!" Suara panitia di depan sana terdengar membahana dari mikrofon. Setelah tadi acara diisi dengan nyanyian si kecil, Nuri. "Hadiah buat Nuri yang udah berani nyanyi, anak pintar."Tepuk tangan pun terdengar bergemuruh. Atala dan Citra ikut bertepuk tangan."Sekarang kita masuk ke acara intinya, ya. Yaitu nyanyi lagu selamat ulang tahun. Kita nyanyi bareng-bareng, yuk, kita nyanyi buat Nuri." Kembali, suara sang panitia terdengar mengisi.Citra dan Atala fokus menikmati pesta yang dipenuhi pekikan riang bocah itu.***Ketika acara ulang tahun itu sudah selesai, para tamu undangan yang merupakan orang tua teman Nuri langsung pulang. Tapi tentu tidak dengan keluarga dekat yang lain. Mereka berkumpul ke ruang tengah rumah Shinta, tak terkecuali Atala dan Citra. Sebenarnya Citra mal
Citra dan Atala belum juga pulang dari rumah kakaknya itu. Setelah mengobrol, menjawab pertanyaan-pertanyaan aneh kakaknya, Atala yang tak kuasa ditanya lagi memilih menjauh dari sana. Citra ikutan. Kini mereka berdua malah menghabiskan waktu duduk-duduk berdua di area pesta tadi sambil menikmati makanan yang ada. Yakni kue brownies coklat dan kue ulang tahun Nuri yang sudah dipotong-potong."Onty Citra ...." Gadis mungil berambut panjang, mengenakan bando dan baju kembang itu berlari-lari kecil ke arah Citra."Hei, keponakan Onty yang paling cantik ...," sambut Citra riang.Gadis kecil itu duduk ke pangkuan Citra dan tersenyum semringah menatapnya."Kangen ya sama Onty?""Onty lama nggak ke sini," balas bocah itu."Iya, Onty sibuk soalnya." Ya, dulu setiap kali main ke rumah Kak Shinta, apalabila dia ada di rumah, gadis kecil itu menyambut kedatangan Citra, dia senang mengajak Citra bermain. "Btw kamu cantik banget hari ini. Kayak princess kecil.""Ya iyalah cantik, kan aku baru aja n
"Ciee ... senyum-senyum sendiri liatin foto kita ...."Citra sedikit tersentak mendengar suara Atala begitu dekat di telinganya. Cepat dia menelungkupkan ponselnya di pangkuan dan menoleh ke Atala.Pria itu memasang tampang menyebalkan sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Citra benci melihat ekspresi itu.Tangan Citra spontan melayang ke pipinya. Tidak sakit tamparan itu, tapi cukup membuat kepala Atala bergerak. Atala yang sedang menyetir melotot menatapnya kemudian, ekspresinya berubah. "Kok gue ditampar?""Biarin." Citra mengulurkan lidahnya, mengejek Atala."Malu, ya, ketahuan liatin foto gue?" Citra mendelik. "Gue nggak liatin foto lo ya, di sini juga ada muka gue dan Nuri." Citra menunjuk-nunjuk layar ponselnya."Sama aja.""Beda, dong. Karena di sini ada muka gue dan Nuri yang lucu banget. Itu yang membuat gue senyum-senyum sendiri.""Terserah, deh." Atala malas berdebat. Lelaki itu lalu memilih fokus menyetir.Sejatinya mereka sama. Sama-sama gengsi.Citra pun memilih sibuk
"Ada apa gerangan lo ke sini? Nggak mungkin kalau cuman mau pesan kopi."Atala tertawa mendengar pertanyaan itu. Belum sempat dia menjawab, Romi yang baru selesai mengantar pesanan muncul dan ikut bertanya. "Hai, La, sama siapa lo? Cewek mana lagi nih yang lo embat bawa ke sini?" tanyanya saat memperhatikan gadis yang berdiri di samping Atala sejak tadi, Citra.Tristan menatap Citra juga dengan pandangan serupa, dalam hati mengagumi kalau gadis di hadapannya ini manis, cantik natural. Tidak seperti cewek-cewek yang Atala bawa sebelumnya."Nah, inilah tujuan gue sekarang ke sini," ucap Atala kemudian sambil melirik Citra yang terdiam sejak tadi. Gadis itu tampaknya sibuk dengan pikirannya sendiri."Gue mau memperkenalkan istri gue ke elo pada." Atala semringah.Wajah Tristan dan Romi langsung berubah. Tristan tampak tersenyum sedangkan Romi tampak segan saat menatap Citra, entah kenapa."Kenalan dulu, Sayang," bisik Atala pada Citra.Citra pun mengulurkan tangannya pada Tristan lebih du
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo