"Siapa sebenarnya yang mengusulkan ide perjodohan ini pertama kali?" tanya Citra akhirnya. "Hmm maksudku apakah benar Eyang Kakung yang meminta demi kebaikanku atau Papa yang menyarankan?"Citra menatap Papa harap-harap cemas. Khawatir Papa marah, tapi melihat wajah Papa yang tetap tenang, kecemasan yang sempat Citra rasakan memudar."Perjodohan kalian itu atas dasar kesepakatan kami bersama."Jawaban itu tak Citra sangka, tapi dia tidak yakin papa menjawab dengan jujur. Dia juga tak cukup puas dengan jawaban itu."Dari pihak keluargamu juga menyetujui," lanjut Papa Johan. "Dan kami pikir itu sama-sama menguntungkan buat kami, buat kamu dan Atala ke depannya.""Kenapa Papa bisa berpikir begitu?""Karena kami yakin kalian bisa menjadi pasangan yang baik.""Kenapa Papa nggak jodohin Atala sama perempuan lain aja? Kenapa harus aku?" tanya Citra lagi.Papa tertawa ringan sebelum menjawab. "Karena anak sahabat Papa itu kamu, bukan orang lain." Johan tersenyum."Tapi bagaimana kalau ternyata
"Kamu dari tadi di sini?" Citra terkejut begitu dia masuk dan menemui Atala di balik pintu."Enggak. Baru aja tadi nyariin lo, ternyata lo dari teras, ngapain?" Wajah Atala terlihat tenang saja.Citra ingin curiga, tapi sepertinya Atala memang tidak tahu kalau papanya sempat datang. "Hmm gue cuman liat-liat bunga." Citra meringis. Sangat berharap Atala percaya dan tidak curiga.Atala mengangguk-angguk."Lo mandinya dua jam, ya?""Habis mandi tadi gue makan."Citra mengangguk-angguk. Sepertinya Atala memang tidak menyadari kedatangan papanya. Citra pun tidak ingin menceritakannya. Biarkan saja."Hari ini ada rencana mau ke mana?" tanya Citra lagi.Atala mengangkat bahu seraya berbalik badan berjalan menuju sofa. Lalu santai duduk di sana dengan kedua tangan direntangkan di kepala sofa."Kok nggak tahu." Citra ikut duduk di samping lelaki itu."Ya, sekarang belum, nggak tahu nanti. Memangnya kenapa?" Atala menatap C
Di samping menikmati perannya sebagai nyonya, Citra tetap melakukan rutinitas yang biasa dia lakukan yaitu belajar untuk persiapan masuk PTN. Kadang dia belajar bersama Tasya sambil membicarakan Atala. Kadang pula dia belajar dengan Dimas sambil pacaran.Seperti hari ini. Mereka belajar di perpustakaan daerah yang ada di Jakarta. Dimas yang menyarankan tempat itu. Karena di sana tersedia banyak pilihan buku. Mereka jadi lebih mudah mencari referensi.Awalnya Citra fokus mendengarkan Dimas mengajarinya. Namun, lambat laun Citra merasa bosan dan mulai mengantuk."Sayang aku bosan ...," ucap Citra tiba-tiba saat Dimas masih semangat menjelaskan. Menuliskan angka-angka dalam rumus di atas kertas.Citra yang sejak tadi bertopang dagu menguap kecil."Belajarnya udah dulu aja, ya." Citra menatap Dimas dengan pandangan memohon.Dimas yang mengerti langsung mengiyakan saja. Pria itu lalu mengemaskan buku-bukunya.Citra melirik jam di per
"Enak, ya, dipeluk sama gue?"Citra serta-merta menepis jemari lelaki itu dari bahunya begitu ditegur.Sejak tadi Atala merangkul bahunya bahkan sampai mereka sudah masuk rumah. Atala memang tidak akan melepasnya sebelum Citra sadar sendiri. Namun, hingga mereka tiba di ruang tengah, Citra juga tak kunjung sadar sampai Atala menegurkannya."Kalau nggak ditegur, nggak dilepas. Kalau suka gue peluk, bilang aja kalik."Citra melotot. "Jangan modus, ya! Dasar mesum!""Seneng kali dimodusin sama gue. Seneng ya deket-deket sama gue?" Atala menyenggol bahu Citra."Udah deh. Gue capek nih mau istirahat. Dan gue lagi malas berantem sama lo.""Oh iya? Kenapa?"Citra terdiam. Kenapa?Dia pun tak tahu kenapa rasanya akhir-akhir ini dia tidak ingin marah-marah dengan lelaki itu. Seperti tidak tega. Apalagi mengingat Atala yang sudah berkorban agar dirinya tetap bisa hidup enak. Juga mengingat kebaikan Papa mertuanya padanya.
"Siapa?"Gerak sendok Atala terhenti di depan mulut, sempat menoleh ke Citra. "Ibu gue." Sebelum akhirnya menyuap kembali.Citra mengangguk-angguk. "Ada cerita apa emangnya antara ibu lo sama sop ayam ini?""Gue emang suka sop ayam. Ibu gue senang bikinin buat gue dulu. Dan rasanya hampir sama kayak masakan lo ini," jelas Atala sambil makan.Citra terdiam. Rasa masakannya hampir sama dengan masakan ibu Atala? Masak iya?"Tapi gue nggak dapatin resep ini dari ibu lo kok, jadi gimana bisa sama?" tanya Citra kemudian.Atala yang sibuk makan hanya mengangkat bahu. "Tapi emang bener rasanya hampir sama. Sama banget malahan."Citra tersenyum simpul. "Ah elo mah muji gue kayak gitu." Gadis itu lalu tertawa terbahak-bahak sambil menepuk bahu Atala keras-keras.Atala mendelik. Dia baru tahu Citra bisa ketawa lepas seperti itu. "Gue nggak muji." Ucapan Atala membuat tawa keras Citra terhenti. "Muji apaan coba? Gue cuman bilang rasa
"Kenalin aku Rani.""Citra."Perempuan yang mengaku bernama Rani itu berjabat tangan dengan Citra. Mereka saling memperkenalkan diri.Citra memperhatikan penampilan Rani yang modis dan seksi. Dia mengenakan terusan ketat merah tanpa lengan. Pakaian itu membalut tubuhnya yang langsing dan tinggi semampai. Rambut pirang wanita itu lurus panjang sepinggang. Kulitnya putih mulus. Citra menaikkan sebelah alisnya, melihat bagaimana penampilan pacar Atala. Dari penampilan perempuan itu dia tahu Atala lelaki yang seperti apa. Citra insecure melihat perempuan itu. Meskipun kini dirinya sudah memperbaiki penampilan dengan wajah yang makin glowing dan memakai pakaiannya branded seperti artis, tetap saja dia tidak ada apa-apanya dibanding perempuan di hadapannya ini.Dia sangat cantik. Cantik dari lahir. Setidaknya di mata Citra."Silakan duduk," ucap Citra nyaris lupa."Terima kasih." Perempuan itu pun duduk di sofa di hadapan Citra.Seperti kesepakatan sebelumnya, karena Citra sudah memasakka
"Apa aja yang cewek itu tanya sama lo?" Atala bertanya saat dia mengantar Rani pulang ke rumah."Gue deg-degan selama ngomong sama dia. Tapi untungnya dia nanya yang ringan-ringan aja. Nggak nanya yang bersifat rahasia," jelas Rani."Bersifat rahasia gimana?" Atala menoleh sekilas."Kayak nanyain gimana masa kecilnya lo atau nanyain soal ibu lo dan pertanyaan semacamnya," jelas Rani panjang lebar."Ya, kalau dia nanyain gitu-gitu kan bilang aja nggak tahu. Bilang aja waktu itu kita belum saling kenal. Gampang kan? Ngapain takut."Rani meringis. "Gitu, ya.""Iya.""Gue cuman khawatir jawaban kita nggak sama.""Tapi tadi emang dia nggak nanya yang aneh-aneh kan? Dan lo nggak ngomong yang aneh-aneh juga?"Rani menggeleng. "Enggak. Gue cuman jawab pertanyaan-pertanyaan dia. Gue nggak ngomong duluan."Atala mengangguk-angguk. "Bagus, deh.""Cuman tadi ....""Tadi apa?" Atala menoleh lagi.
"Ngapain sih Papa ngadain pesta pernikahan buat aku segala?" Atala bertanya begitu dia tiba di ruang kerja papanya dan papa menanyakan ada keperluan apa dia datang kemari."Jadi kamu jauh-jauh datang ke sini hanya untuk menanyakan itu?" Johan malah bertanya balik. Dia melipat koran yang hendak dia baca. Dan fokus pada anaknya yang kini berdiri menatapnya."Ya iyalah, Pa. Aku tahu pasti Papa ingin memberitahu orang-orang yang belum mengetahui kabar pernikahan aku kan? Terutama kolega bisnis Papa.""Kalau kamu sudah tahu jawabannya, kenapa tanya lagi?""Ya, aku cuman ingin memastikan. Dan kenapa juga Papa baru berpikiran buat ngadain pestanya sekarang? Pernikahan aku udah basi.""Belum. Pernikahan kamu baru sekitar satu bulan. Masih bisa diadakan pesta. Nanti Papa akan jelaskan ke mereka kalau kamu udah nikah sebulan yang lalu di luar negeri. Dan menginginkan pesta di sini, biar orang-orang tahu. Apa susahnya?"Jujur, Atala masih kesal dengan papanya yang tidak mengizinkannya bekerja di