"Jadi semalam gue beneran mabuk?" tanya Atala meyakinkan. Citra yang duduk di hadapan lelaki itu mengangguk."Dan lo tahu gimana usaha gue buat ngatasin rasa takutnya gue ngeliat kondisi lo? Gue syok dan gue ...." Citra tiba-tiba terhenti, lantas gadis itu menggeleng. Sungguh Citra takut waktu itu, sangat takut. Dan dia tidak menyangka bisa mengatasi itu semua sendiri pada akhirnya.Sebenarnya Atala meminta Citra cerita sejak tadi, sejak pertama kali dia bertanya. Hanya saja Bi Rahma menyuruhnya sarapan dulu. Citra juga berjanji akan cerita setelah Atala sarapan. Namun, Atala juga mengajak Citra sarapan bersama. Dan setelah selesai sarapan, di sinilah mereka mengobrol. Mereka bahkan lupa akan batas-batas yang mereka buat."Lo ... kenapa?" tanya Atala saat melihat mata cewek di hadapannya ini berkaca-kaca."Gue takut ...." Air mata Citra menetes begitu saja tanpa bisa dicegah. Atala mengernyit seolah belum mengerti. "Lo nyaris ngelecehin gue." Citra mengatakannya tanpa memandang Atala.
"Atala lagi mandi, Pa. Apa perlu aku panggilin?""Nggak perlu." Johan mencegah ketika Citra hendak berbalik untuk memanggil Atala.Citra menatap papa mertuanya heran. "Papa nggak mau ketemu Atala?"Johan menggeleng. "Biar saja dia mandi. Papa ke sini cuman perlu ngomong sama kamu."Citra mengangguk. Dia sudah tahu. Dia sudah mendengar ceritanya dari Atala. "Kita ngobrol di dalam yuk, Pa," ajak Citra kemudian ketika dia menyadari sejak tadi mereka hanya berdiri di teras."Kita ngomong di sini saja." Johan menolak diajak masuk. Membuat Citra tetap diposisinya."Hmmm oke, Pa." Citra mengangguk. Dia jadi teringat ucapan Atala yang bilang kalau papanya itu keras kepala. Kita semua harus tunduk patuh dengan semua perintahnya. "Papa mau ngomong apa?" tanya Citra kemudian."Papa mau bilang sama kamu jangan terlalu membenci Atala."Citra tertegun. Kenapa Papa bicara begitu? Seolah tahu mereka memang sering bertengkar. Darimana Papa tahu? Siapa pula yang sudah tega membocorkan rahasia mereka? Si
"Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya."Kalimat itu terus bergaung di kepala Citra, sejak papa mertuanya pergi dan bahkan sampai hari ini.Papa mengamanahkannya untuk menjaga Atala. Dan jujur, Citra merasa terbebani dengan amanah itu. Dia takut tak bisa melakukannya sesuai harapan papanya. Dia juga tak tahu apa yang harus dia lakukan untuk bisa mengubah perangai lelaki itu.Dan bagaimana reaksi papanya kalau tahu mereka akan bercerai nanti?Banyak hal yang Citra pikirkan dan takutkan. Setelah ini dia tak tahu apa yang terjadi ke depannya. Tapi setidaknya untuk saat ini, dia akan melakukan apa yang bisa dia lakukan.Malam itu, Citra melihat Atala sedang nonton televisi, acara pertandingan sepak bola. Tata
Atala ikut tersenyum. "Papa udah kasih kartunya ke elo?"Citra mengangguk. Lalu meletakkan kartu itu ke paha Atala. "Sebenarnya Papa kasih ini buat gue, tapi buat lo aja. Biar lo nggak stres lagi, biar lo nggak ke club lagi, dan biar lo bisa royalin cewek lo lagi." Citra tersenyum.Ekspresi Atala saat menatap benda itu berubah datar. Lalu dia mengembalikan benda itu pada Citra. "Buat lo aja."Citra menerimanya dengan heran. Reaksi Atala sungguh di luar dugaannya. "Kenapa? Bukannya belakangan ini lo yang koar-koar minta gue bujukin Papa buat balikin nih kartu? Dan akhir-akhir ini juga lo galau banget gara-gara kehilangan benda berharga ini. Ini berharga banget kan buat lo?""Gue sebelumnya emang sedih sejak Papa cabut fasilitas kartu kreditnya dari gue, tapi sekarang nggak lagi. Gue juga nggak royalin cewek lagi. Jadi gue rasa gue nggak butuh kartu itu lagi. Elo yang lebih butuh kan buat belanja." Atala mengalihkan pandangannya ke layar televisi. Citra terdiam. Memang papa mertuanya me
Mengingat mereka pernah berencana jalan berdua agar eyang tidak curiga, Atala pun mengajak Citra jalan-jalan. Kalau memang sudah terbiasa, kebiasaan itu sulit dihilangkan. Nyatanya Atala terbiasa hidup berfoya-foya dan meroyalkan seorang wanita. Hari itu, Atala menyuruh Citra ke klinik kecantikan untuk memperbaiki penampilan gadis itu, tapi Citra spontan menolak."Ngapain sih gue treatment segala. Nggak perlu." "Mana ada cewek yang nggak perlu treatment wajah. Lo tuh sekarang udah jadi istri gue. Gue nggak mau orang-orang nanti ada yang ngomong 'istri sang pewaris kok penampilannya kucel banget, ya.' Terus nanti sewaktu-waktu ada wartawan yang nyorot kita, keliatan di kamera lo jelek banget. Malu-maluin gue tahu nggak? Lagian emangnya lo nggak pengin punya muka yang lebih cantik dan terawat?" Bisa saja Atala menjawabnya. Dia tak tahu saja kalimat pedasnya itu menyakiti perasaan istrinya. "Enak aja. Emang gue sejelek itu apa?" Citra tak terima. "Emang iya, kok. Kebiasaan kampungan
"Biasa aja liatnya. Jangan malu-maluin gue ...," bisik Atala saat mendapati Citra celingukan memperhatikan interior klinik itu. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo orang kampung.""Sembarangan!" Citra mendelik kesal."Pendaftaran dulu sana."Citra malah menatapnya bingung. "Gimana? Gue nggak tahu caranya.""Masuk aja dulu di ruangan pendaftaran, nanti diarahin.""Lo ikut, dong." Citra memelas.Atala pun menemani Citra melakukan pendaftaran dan administrasi, tapi pria itu hanya menemani, menunggu di depan ruang pendaftaran tersebut.Setelah semua proses dilakukan, seperti pembayaran administrasi, mengisi formulir dan konsultasi dengan dokter, tibalah Citra melakukan treatment di ruang perawatan.Selama Citra melakukan treatment, Atala meninggalkannya, mencari salon terdekat untuk potong rambut. Sambil berbaring dengan mata terpejam, Citra menikmati proses treatment tersebut. Dia merasakan kenyamanan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya. Pikirannya tenang dan banyak hal yang dia i
Atala kewalahan menanggapi Citra. Kenapa? Sejak tadi gadis itu meminta dirinya menemaninya berbelanja berkeliling ke sana ke mari, memilih dan memilah baju yang ingin dia beli, dia menanyakan pendapat Atala pakaian mana yang bagus untuknya.Namun, ketika Atala sudah memberi penilaian, Citra malah tak setuju. Ujung-ujungnya pakaiannya itu tidak jadi dibeli, dan kembali memilih pakaian lain. Dan begitu seterusnya.Bagaimana Atala tidak kewalahan?"Dari tadi perasaan keliling-keliling, bajunya cuman segini?" kesal Atala melihat enam helai dress pilihan Citra di dalam troli. "Udah deh nggak usah dipermasalahin juga," jawab Citra cuek sambil mengscroll ponselnya. "Gue bingung soalnya bajunya bagus semua.""Ya udah beli semuanya aja."Citra tak menanggapi."Sekarang kita ke mana, nih?" tanya Atala kemudian.Citra menoleh. "Kita belanja keperluan make-up dan skincare gue, aja, ya?" Gadis itu tersenyum."Oke." Atala mengangguk-angguk.Selama berkeliling Mall bersama Citra, Atala merasa berbed
Citra mondar-mandir di kamar dengan perasaan gelisah. Sejak tadi dia menelepon pacarnya, Dimas, berulang kali. Namun, telepon itu tak kunjung diangkat.Berbagai prasangka buruk menyerang pikirannya. Namun, yang paling mungkin adalah Dimas tidak mengangkat teleponnya karena marah, bukan karena sibuk. Tidak pernah Dimas begini. "Seenggaknya angkat, dong, telepon gue. Biar gue bisa jelasin." Citra mulai kesal.Sepanjang perjalanan tadi dia lebih banyak diam. Ketika Atala mengajaknya bicara, dia hanya menjawab sekenanya. Di pikirannya hanya satu. Dia ingin cepat-cepat sampai rumah. Agar bisa menelepon Dimas dengan leluasa. Dan dia tak ingin Atala tahu kalau mereka kini sedang ada masalah.Karena Dimas tak kunjung mengangkat teleponnya terpaksa Citra mengirimi pesan panjang lebar. To Dimas Sayang: Dimas kamu nggak marah karena lihat foto aku sama Atala tadi kan? Kamu jangan salah paham, ya, Sayang. Foto itu aku tunjukkin buat keluargaku. Biar mereka percaya kalau aku dan Atala bahagia. B
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?