Kabar Mengejutkan, Putra Tunggal Keluarga Sudiharto Mendadak Mengadakan Resepsi Pernikahan Mewah di Jakarta.Pewaris Tunggal Keluarga Sudiharto Mendadak Menikah Muda, Netizen Bertanya-Tanya.Begini Respons Johan Sudiharto Di Depan Awak Media Saat Ditanya Kapan Anaknya Menikah?Rahang Atala mengeras saat membaca serentetan judul berita online di ponselnya. Baru semalam dia mengadakan resepsi, paginya sudah banyak saja wartawan membuat berita tentang pernikahannya. Dugaannya tentang hal itu benar adanya."Kabar mengejutkan apaan sih nih berita ngawur aja. Kalau gue nikah mudah emangnya kenapa? Masalah buat lo? Sibuk banget ya ngurusin hidup orang. Arghh!!" Atala melempar ponselnya jauh di sofa seberang. Lelaki itu lalu bersidekap dada dan bersandar di sofa."Papa juga ngeselin, kenapa sih pesta gue nggak disembunyiin aja dari media? Kenapa harus kasih tahu orang-orang?" Sejenak Atala pun sadar itulah tujuan papanya mengadakan resepsi pernikahan mewah."Gitu-gitu aja dijadiin berita, ngga
Citra menoleh kaku ke arah eyang, gadis itu lalu menatap eyang tak mengerti. Dahinya berkernyit. "Pernikahan sementara apa sih, Eyang?""Jangan pura-pura ndak ngerti kamu, Citra. Eyang dengar tadi percakapan kalian, kamu bilang pernikahanmu dengan Atala cuman sementara dan kalian ndak saling mencintai.""Aku nggak ngomong gitu kok, Eyang." Citra menggeleng. "Eyang salah dengar mungkin."Sementara Atala diam saja sejak tadi, ikut mendengarkan dengan jantung berdebar. Dan akan menyahut di waktu yang tepat.Eyang terlihat marah. "Eyang tahu Eyang udah tua. Tapi Eyang belum budek. Eyang dengar tadi kamu ngomong begitu."Citra lalu menatap Atala, meminta bantuan. Atala yang mengerti langsung tertawa pelan. "Hmmm aku tahu nih maksud Eyang," ucap lelaki itu akhirnya. Citra menunggu dengan jantung berdebar dan rasa penasaran luar biasa. Apa lagi ide lelaki ini?Atala lalu menatap Citra. "Kan tadi kita lagi ngomongin pernikahan teman kita, itu siapa namanya, Shelin, ya?" Atala menatap Citra p
Ternyata Rani tak mau percaya dan mengertikan Atala begitu saja. Gadis itu masih saja marah dengan tak memedulikan Atala dan memberi lelaki itu perhatian. Hal itu membuat Atala kalang-kabut, dia berusaha mencari cara agar Rani mau mengerti dan percaya dengan janji-janjinya.Dan Rani akhirnya mau percaya dan terima dengan sebuah syarat.Atala mengusap wajahnya. "Oke, mau kamu apa?""Aku mau malam ini juga kamu temanin aku jalan-jalan. Terus kita ke Mall dan beliin semua barang-barang yang aku mau."Atala terdiam sejenak mendengar persyaratan itu."Kenapa diam? Nggak bisa penuhin?""Oke. Aku jemput kamu sekarang, ya." Atala langsung menjawab.Malam itu juga Atala bergegas keluar, menjemput Rani. Meski ada eyang, Atala tetap mencari cara untuk keluar. Dia pikir eyang pun tak akan tahu dia ke mana dan dengan siapa."Mau ke mana lo?" Citra masuk ke kamar saat dia sedang bersiap-siap mengenakan jaket dengan terburu-buru."Jalan sama Rani," jawab Atala. "Kalau Eyang nanya lo bisa kan cari ala
"Makasih, ya, Sayang untuk semuanya hari ini." Wajah gadis cantik itu tersenyum manis. Membuat lelaki di hadapannya semakin senang melihatnya.Lelaki itu membalas senyumnya. "Iya, Sayang. Semuanya, apa pun itu bakal aku lakuin buat kamu asal kamu tetap di samping aku.""Kamu bisa aja, sih, Sayang.""Serius aku.""Ya udah, kalau gitu aku turun dulu, ya. Sekali lagi makasih." Gadis cantik itu tersenyum melihat tootbag di genggaman tangannya. Dia baru saja habis memborong Mall bersama sang pacar."Oke. I love you.""I love you too, Sayang." Gadis itu lantas turun dari mobil membawa tootbag-nya yang begitu banyak.Lelaki di dalam mobil SUV putih itu masih memperhatikan kepergian sang gadis yang melenggang menuju rumah mewah bertingkat dua itu. Perasaannya sudah benar-benar lega sekarang. Masalahnya sudah clear.Ting! Ting!Sampai suara pesan masuk menyadarkannya.Dia pun merogoh ponselnya dari saku celana. Pesan dari papa dan istrinya masuk hampir bersamaan. Dia membacanya satu per satu. P
PT Jaya Food Indonesia.Tulisan berwarna putih yang terpampang di bagian depan gedung pencakar langit itu seakan menyambut kedatangan Atala.Lelaki mengenakan jaket yang baru turun dari mobilnya itu tersenyum miring menatap tulisan itu. Dia bangga menjadi pewaris dari pemilik perusahaan tersebut.Perusahaan pangan itu bergerak di bidang industri yang menghasilkan produk-produk makanan berupa bahan-bahan pembuatan kue, seperti tepung, margarin, susu, mentega dan bahan pembuatan kue lainnya.Perusahaan itu terkenal di Indonesia karena kualitas produknya yang tinggi. Produknya sudah tersebar luas bahkan sampai ke luar negeri. Memiliki aset sebesar ratusan triliun pada dua tahun terakhir.Lelaki itu melangkah masuk ke dalam perusahaan itu, memenuhi janji yang sudah dia buat dengan sang papa."Hai, Mas Atala!"Seorang karyawan cantik menegur saat berpapasan dengannya.Atala membalas dengan tersenyum sekilas dan mengangguk.Para pekerja, Office Boy, Cleaning Service, juga menegurnya saat ber
Atala semakin tak mengerti dengan ucapan papanya. "Langsung aja, Pa. Maksud Papa apa?"Johan menoleh menatap anaknya. "Selama ini Papa sudah salah mendidik kamu. Papa terlalu memanjakan kamu hingga kamu jadi seperti ini. Tapi semuanya belum terlambat. Papa mau kamu berubah lebih dewasa makanya Papa nikahkan kamu. Tapi itu belum cukup untuk mengubah perangai kamu. Jadi mulai sekarang Papa mau mengubah cara mendidik Papa terhadap kamu. Papa nggak mau kamu bergantung terus sama Papa. Papa mau kamu mandiri."Atala semakin tak mengerti dan sebelum lelaki itu menyahut, Johan kembali bicara. "Papa mau kamu cari pekerjaan sendiri di luar sana."Atala spontan melotot mendengarnya. "Aku kerja di luar? Kalau Papa aku sendiri punya perusahaan, kenapa aku harus repot-repot cari kerjaan di luar?""Sebenarnya kamu bisa saja bekerja di sini." Johan mengangguk-angguk. "Di jabatan mana saja yang kamu mau. Tapi permasalahannya, kamu nggak punya gelar sarjana apalagi magister. Jadi kamu nggak bisa memimpi
Atala melotot. Itu adalah pernyataan paling mengejutkan diantara banyaknya pernyataan. Membayangkan dirinya seorang pewaris tunggal menjadi OB di kantor papanya sendiri. Sungguh memalukan. Mau taruh di mana mukanya?"Kamu keberatan?""Iyalah, Pa. Aku anak satu-satunya Papa. Semua karyawan di sini tahu itu. Masak aku kerja sebagai OB atau CS sih, Pa. Dan emangnya Papa nggak malu anaknya bekerja jadi bawahan di kantor Papa sendiri?"Johan menggeleng. "Justru Papa malu kalau kamu cuman ongkang-ongkang kaki di rumah. Papa malu kamu jadi pengangguran. Papa malu kamu tahunya cuman minta duit tanpa tahu bagaimana menghasilkan duit itu sendiri. Papa malu kamu cuman keluyuran ngabisin duit nggak jelas buat apa."Nada bicara papanya terdengar tenang, mimik wajahnya juga. Tapi Atala tahu, papanya sedang marah padanya. Papanya kecewa padanya. Sehingga dia dihukum demikian."Papa nggak tahu lagi bagaimana mendidikmu, Atala, supaya kamu bisa jadi anak yang mandiri, anak yang dewasa dan membanggakan
"Papa masih kasih kamu kesempatan buat berpikir. Mau mengulang kuliah sampai punya gelar dan bekerja di sini, di posisi mana pun kamu mau. Atau langsung bekerja di sini sebagai bawahan, atau cari pekerjaan sendiri ....""Papa akan cabut fasilitas yang selama ini Papa berikan buat kamu. Seperti kartu kredit, debit, ATM dan lain-lain. Kamu nggak bisa menggunakannya lagi."Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di telinga Atala. Dia sungguh tak menyangka papanya setega itu padanya.Atala menghantamkan tinju ke setir mobilnya dengan geram. "Argghhh!!" pekiknya putus asa. "Papa tuh apa-apaan, sih, kayak gini. Papa keterlaluan!" Atala berteriak marah seorang diri. Dia kesal. Dan kekesalannya menjadi ketika dia sadar dia tidak bisa melakukan apa pun untuk meredam rasa kesalnya. Dia tidak bisa melakukan apa pun selain diam pasrah menerima keadaan.Sepanjang perjalanan itu pikiran Atala tak menentu. Dia membawa mobil dengan kecepatan tinggi untuk tiba di rumah. Dia ingin segera mendiskusikan ini
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo