"Berapa lama Papa menghabiskan waktu untuk membangun perusahaan sebesar ini?"
Atala tak tahu kenapa dia bisa punya pertanyaan seperti itu? Begitu sampai di ruang kerja papanya, sempat makan siang bersama yang dipesan lewat aplikasi online, mengobrol hal-hal receh, merenungkan apa-apa yang telah terjadi belakangan ini, tiba-tiba saja dia penasaran bagaimana papanya bisa membangun perusahaan? Yang anehnya pertanyaan itu baru muncul sekarang.
"Kenapa memangnya? Apa pedulimu? Bukannya selama ini kamu cuman pengin uang Papa aja, tanpa mau tahu bagaimana Papa menghasilkannya?" jawab papanya yang tengah sibuk membaca koran di sofa yang ada di ruang kerjanya.
Pertanyaan itu membuat Atala tertampar. Dia memutar kursinya, menatap papa. "Ya, tapi sekarang aku pengin tahu, Pa."
"Serius?"
"Iyalah, Pa." Atala memutar kursinya lagi.
Mengingat cerita masa lalu Citra yang begitu sulit dan menyedihkan, Atala jadi sedikit bersyukur. Selama ini dia
Citra masih belum bisa tenang sebelum dia memastikan eyang putri tidak benci padanya. Rasanya dia ingin melakukan sesuatu agar eyang memaafkannya. Dia ingin melakukan sesuatu untuk menebus rasa bersalahnya itu, tanpa membiarkan eyang tinggal di sini.Maka hari ini, mumpung dia tidak ada rencana ke mana-mana, dia memanfaatkan waktu untuk membuat masakan.Citra mengecek bahan-bahan masakan di kulkas, hendak memasak makanan kesukaan eyang."Cari apa, Non?" Saat Citra sibuk menggeledah kulkas, Bi Rahma bertanya.Citra menoleh. "Emm ngecek bahan-bahan, masakan, Bi. Aku mau masak.""Bibi udah masakin tuh buat Non dan Tuan Atala." Bi Rahma mengedar pandang pada sajian di atas meja makan. Seperti biasa di sana sudah tersaji berbagai aneka lauk pauk yang siap disantap. Para ART yang menyiapkannya."Tapi aku mau masak lain, Bi. Aku mau masak sendiri khusus buat Eyang aku." Citra menjawab apa adanya."Memangnya Non Citra mau masak ap
"Non Citra ternyata bisa bikin kue kering juga?" ucap Bi Rahma. Daripada pertanyaan, kalimat itu lebih terdengar seperti pernyataan. "Bibi ndak nyangka loh." Bi Rahma membantu Citra menaburi choco chips ke atas adonan kue yang sudah Citra cetak sedemikian rupa, adonan berwarna coklat itu berbentuk bulat tak beraturan.Sementara ART lain sibuk berkemas rumah. Beberapa ada yang mendengar percakapan mereka, sesekali ikut menimbrung.Citra tertawa singkat sambil mencetak adonan kue coklat kukis itu ke atas loyang kosong. "Kenapa nggak nyangka, Bi? Emangnya penampilanku kayak anak-anak orang kaya yang nggak pandai masak gitu, ya, nggak pernah ke dapur gitu?" Ya, setelah selesai masak sop ayam, Citra membuat kue juga."Bukan, Non. Cuman kan mengingat pesan Pak Johan yang bilang kalau bisa Non jangan dibiarkan beres-beres rumah atau memasak ....""Pak Johan, eh, Papa bilang gitu?" Citra menatap Bi Rahma terkejut tak menyangka. Papa mertuanya ternyata pernah berp
Adu mulut antara Citra dan Atala mungkin tidak akan berhenti, jika saja Bi Rahma tidak melerai kedua majikannya itu dan menenangkannya. Bahkan sampai kue mereka gosong pun.Bi Rahma mengatakan setidaknya untuk saat ini mereka jangan bertengkar karena bibi tak sanggup melihatnya. Bi Rahma meminta mereka hargai bibi sebagai orang yang lebih tua usianya.Lagi pula masalah mereka itu sepele, tidak seharusnya diperdebatkan. Sebagai pasangan suami-istri, terlepas dari saling cinta atau tidak, mereka harusnya tetap rukun.Karena itu lah mereka akhirnya tidak ribut lagi. Demi menghargai Bi Rahma.Kue kering Citra sudah matang semua. Saatnya tinggal di masukkan ke dalam toples. Dan selama proses pembuatan kue itu, Atala sedikit banyak membantu. Seperti membantu memasukkan loyang ke dalam tempat pemanggangan kue dan mengeluarkannya. Juga membantu membersihkan toples yang hendak dipakai.Atala terbiasa melakukan ini karena dulu dia juga sering mel
"Sop ayamnya udah, Choco Chip Cookies-nya juga udah." Citra memastikan makanan yang dia persiapkan buat eyang sudah masuk ke dalam tootbag, tidak ada yang tertinggal."Saatnya telepon Dimas." Citra duduk di ruang tamu sambil mengotak-atik ponselnya. Gadis itu tersenyum begitu teleponnya diangkat."Sayang kamu lagi sibuk nggak?" tanya Citra hara-harap cemas. Jeda sedetik. "Aku mau minta antar ke rumah Kak Shinta, lebih tepatnya minta temenin, boleh kan?" Jeda lagi. "Itu ... aku mau ngasih kue ke Eyang. Iya sekarang. Asyik aku tunggu, ya. I love you ...." Citra lalu menatap ponselnya sambil tersenyum saat sambungan sudah diputuskan olehnya."Sore ini bakal jalan-jalan lagi, deh." Gadis itu terlihat begitu bahagia. Lalu dia menatap salah satu toples kue itu. "Dimas pasti senang deh kalau tahu gue bikinin kue buat dia juga." Iya, Citra tak hanya membuat kue untuk eyang, tapi juga pacarnya.Diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu, Atala mengintipnya dari balik
"Apa-apaan ini, Sayang?" Dimas melotot menatap isi toples di hadapannya. Lalu beralih menatap Citra tak percaya."Itu kue kering--" ucapan Citra terhenti saat dia menoleh, dan mendapati wajah Dimas terlihat tegang. Citra pun mengintip isi toples yang baru saja dia berikan pada sang pacar.Citra pun terkejut dengan apa yang dia lihat di dalam toples itu. Seketika bulu kuduk Citra meremang. Sesuatu yang paling dia takuti sejak dulu, lebih tepatnya pobia."Kenapa ada cicaknya?!"Citra tahu, Dimas marah. "Sayang aku bisa jelasin. Aku nggak tahu kenapa ada bangkai cicak di dalamnya. Aku nggak mungkin masukin dan sebelumnya nggak ada." Citra menggeleng kencang."Lalu kenapa bisa ada bangkai cicak?!""Aku nggak tahu, beneran." Citra ingin menangis rasanya."Nggak mungkin kamu nggak tahu. Kamu pasti sengaja kan?""Enggak, Sayang. Ini pasti ulahnya Atala, iya pasti.""Kamu bohong juga aku nggak tahu."
"Setelah apa yang kamu lakukan ke Eyang kemarin, kamu masih bisa ngomong begini?"Citra terkekeh. "Ya, bisa lah, Kak. Aku masih peduli sama Eyang--""Kalau kamu memang peduli, harusnya kamu mau menampung Eyang.""Loh, bukannya kemarin kita udah sama-sama dengar keputusan Atala? Atala juga nggak bisa terima Eyang. Kita punya alasan pribadi kenapa kita nggak bisa terima Eyang. Dan alasan itu nggak bisa kita ceritain ke Kakak. Harusnya Kakak ngerti." Citra mulai emosi."Harusnya kamu bisa, dong, bujuk suamimu ...." Kak Shinta terlihat tak mau kalah. Citra jadi makin yakin kalau kakaknya itu memang tidak mau mengurusi eyang putri."Ya, nggak bisa gitu, dong, Kak. Kak Shinta sendiri yang bilang rumah mewah itu punya Atala, bukan punya aku. Jadi aku nggak bisa maksa. Tahu diri ajalah, Kak. Sebagai istri yang baik aku harus nurut sama suami kan?"Kak Shinta terdiam, seakan tak dapat menjawab lagi. "Dan Kak Shinta nggak berhak melarang aku ketemu Ey
Citra pulang ke rumah menggunakan taksi. Sesampainya di rumah gadis itu tampak bahagia, saking bahagianya orang lain bisa melihat hal itu dari wajahnya."Senyum-senyum aja nih, bahagia banget keliatannya."Langkah Citra terhenti di ruang tamu. Citra menoleh. Atala terlihat duduk santai di kursi sofa seperti biasanya.Citra tentu tak lupa dengan apa yang sudah Atala lakukan terhadap kue coklatnya. Cowok itu pasti berharap hubungannya dengan Dimas berantakan gara-gara bangkai cicak itu. Bohong kalau Citra tidak marah, tapi untuk saat ini dia tidak mau marah dulu. Ada suatu hal yang ingin dia lakukan.Citra semakin melebarkan senyumnya. "Ya iyalah, emang gue lagi bahagia banget ....""Bahagia kenapa lo?" Atala terlihat begitu penasaran."Karena udah ketemu Eyang ...." Citra berjalan mendekati Atala. Duduk di kursi yang ada di hadapan suaminya itu."Oh iya, gimana tadi reaksi Eyang dan Kak Shinta liat lo datang? Keadaan Eyang gimana? Baik
"Mulai sekarang gue mau menikmati peran sementara gue sebagai nyonya di sini." Citra mengungkapkan inginnya.Atala menggeleng. "Gue nggak ngerti. Langsung aja, deh."Citra mengernyit. "Ya, gue mau jadi nyonya di rumah ini sebagaimana seharusnya, gitu aja nggak ngerti. Dulu kan lo pernah bilang kalau sebaiknya gue tuh bersyukur dan menikmati peran gue sebagai istri lo, menikmati fasilitas di rumah ini kan?"Atala pun ingat dengan apa yang pernah dia ucapkan dulu. "Oh itu ... iya ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi lo mau apa?""Gue mau jadi nyonya yang sebenarnya. Gue mau memegang anggaran belanja, belanja dan mengatur semua belanjaan sehari-hari. Gue juga yang membiayai ART di sini. Gue mau menikmati uang lo, ya, lebih tepatnya uang Papa lo. Ya, pokoknya gue mau jadi istri lo yang sebenarnya, istri pada umumnya. Udah cukup jelas Tuan Atala?" Citra menatap Atala lekat-lekat.Atala tersenyum jahil. "Jadi istri gue yang sebenarnya? Berarti lo juga ma