"E-eyang, sejak kapan Eyang di sini?" Citra langsung menutup pintu kamar itu."Kamu kenapa? Eyang dengar kamu teriak-teriak." Eyang memperhatikan cucunya dengan penuh kecurigaan."Eng ....""Kamu sama Atala bertengkar?"Citra langsung menggeleng kencang. "Enggak, Eyang. Itu tadi--""Tapi Eyang tadi dengar suara Atala juga.""Bukan berantem, Eyang. Cuman kita ada salah paham sedikit gitu.""Kamu marah sama Atala?""Iya, tapi kita udah baikan kok, Eyang. Aku sama Atala udah baik-baik aja, iya. Beneran Eyang." Citra tersenyum lebar."Atala mana?" Eyang malah mencari Atala."Atala lagi mau ganti baju, dia habis mandi, Eyang." Citra menjawab apa adanya, karena dia kehabisan ide untuk berbohong."Kamu kenapa keluar?" Eyang mengernyit heran."Aku--aku nggak enak aja liatnya." Citra benar-benar bingung menjawab apa."Kalian kan sudah suami istri."Citra meringis. "Iya, Eyang, cuman aku nggak enak liatnya. Oh iya Eyang ngapain malam-malam keluar kamar? Eyang belum tidur?" Citra mengalihkan topi
Citra membelalak dan bergegas duduk di atas kasur saat dia sadar, dia telah tertidur. Matanya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam. Diliriknya sofa tempat Atala tidur, tapi lelaki itu sudah tidak ada. Mungkin dia sudah bangun."Gue ketiduran, ya, ya ampun!" Citra menepuk dahinya. Apa saja yang sudah terjadi selama dia tidur? Atala sudah bangun duluan daripadanya, jangan-jangan Atala sempat ....Citra menggeleng-geleng. "Dia nggak ngapa-ngapain gue kan?" Citra meraba-raba tubuhnya sendiri. Lalu mengintip tubuhnya melalui kerah bajunya. Bajunya aman. Tidak ada yang terbuka. Dan baju tidur yang dia kenakan masih sama. Itu artinya Atala tidak melakukan macam-macam padanya. Tapi ... Citra masih curiga."Aduh gimana ini?" Saat Citra sibuk dengan pikiran buruknya, tiba-tiba pintu kamar terbuka, didorong dari luar.Citra sontak menatap pintu dan menemukan Atala masuk. Lelaki itu masih mengenakan pakaian tidur yang sama dengan yang tadi malam. Itu artinya lelaki itu belum mandi."Eh
"Suami istri yang udah sah wajib menjalani kewajibannya. Kalau nggak sama aja kayak suami dan istri yang durhaka. Kayak lo yang bentak-bentak suami lo sendiri, kalau suami lo nggak terima, lo udah berdosa. Itu fakta."Kata-kata itu terus terngiang di kepala Citra. Sangat mengganggu pikirannya. Dia baru tahu Atala bisa berkata seperti itu. Dan kenapa baru sekarang lelaki itu membicarakan soal fakta? Kenapa dia membuat perjanjian kalau dia tahu pernikahan itu tidak boleh dipermainkan?'Sial! Kenapa sih dia bisa-bisanya ngomong begitu?' batin Citra meradang."Citra ... dimakan nasinya, Cu, jangan diacak-acak begitu ...," tegur Eyang putri yang duduk di sebelahnya. "Makannya pelan-pelan, sendoknya jangan dipukul."Pikiran Citra yang kalut membuatnya tidak fokus dengan apa yang dia lakukan sekarang hingga tanpa sadar dia mengetukkan sendok ke piring dengan keras.Citra pun tersadar dan sontak menegakkan kepalanya. Di hadapannya duduk Atala yang saat ini juga sedang menatapnya. Mereka jadi b
"Aku tuh memang bukan anak orang kaya banget gitu, ya, Bi." Citra bercerita pada Bi Rahma sambil memotong kentang yang sudah dia kupas. Sedangkan eyang meracik bumbu sop ayam menggunakan blender. Walau eyang putri sempat bingung cara menggunakannya. Yang kemudian diajar Bi Rahma. Meski sudah ada eyang, Bi Rahma tetap membantu, seperti membantu mengarahkan Citra jika Citra melakukan kesalahan, membantu mencuci dan memotong ayam, membantu mengerjakan pekerjaan yang sekiranya tidak bisa Citra lakukan.Hingga Citra pun menjelaskan kalau dia biasa masak dan meminta Bi Rahma untuk tidak memperlakukannya berlebihan seperti ratu. "Maksudku dibanding Atala, keluargaku nggak sekaya dia. Cuman ya nggak miskin juga. Keluargaku berasal dari keluarga yang biasa-biasa aja. Aku juga pernah diajarin masak dan beres-beres rumah sama Mama. Apalagi semenjak orang tuaku meninggal dan aku jadi tinggal sama Eyang. Aku jadi lebih rajin bantuin mereka. Dulu kan Eyang jualan nasi kuning di sekolah. Aku juga p
Masakan sop ayam ala Citra dan eyang putri sudah tersaji di atas meja. Tidak hanya sop ayam, mereka juga membuat tempe dan tahu bacem sebagai teman makannya. Juga membuat camilan tradisional yaitu cilok kacang.Begitu melihat menu-menu itu tersaji di atas meja, Atala mengusap-usap perutnya yang tiba-tiba lapar. "Wah, enak, nih, buatan Eyang pasti, jadi pengin makan lagi," celetuk lelaki itu. Kebetulan hari sudah beranjak siang, menunjukkan pukul sebelas siang."Kalau Tuan Atala mau, makan saja Tuan, sini biar Bibi ambilin," ucap Bi Rahma."Eh, nggak usah, Bi." Atala mencegah Bi Rahma yang sudah mengambil piring untuknya. "Aku makannya nanti aja, tunggu Eyang Putri dulu sama Citra. Aku nggak mau duluin mereka.""Katanya lapar.""Aku cuman bercanda, Bi." Lelaki itu meringis.Citra yang mendengar percakapan itu sejak tadi lagi-lagi memutar bola matanya malas. 'Caper banget tuh orang. Sok baik aja di depan Eyang.'Lalu Atala terheran saat melihat menu di mangkok lain, yakni potongan-potong
Rupanya Atala mendapat pesan dari papanya yang mengabarkan kalau tak lama lagi papanya akan mengadakan pesta besar-besaran untuk pernikahannya. Dan papanya meminta dia dan Citra bersiap-siap menghadapi momen itu. Tapi ternyata Atala tidak setuju dengan pesta itu. Yang menurutnya tidak penting untuk dilakukan. Karenanya lelaki itu datang ke kantor papanya untuk menyelesaikan masalah tersebut."Ngapain sih Papa ngadain pesta pernikahan buat aku segala? Buat apa? Nggak penting, Pa," bantah lelaki itu begitu tiba di ruang kerja papanya.Johan menatap heran. "Loh, bukannya bagus, ya. Tujuan Papa mengadakan pesta pernikahan besar-besaran buatmu itu supaya orang-orang tahu kalau kalian sudah menikah. Apa kata orang nanti kalau mendengar anak Papa menikah tanpa pesta. Nikah secara diam-diaman?""Tapi kan pernikahan aku sama Citra juga udah lewat, Pa.""Pernikahan kamu sama Citra baru beberapa hari. Masih bisa diadakan pesta. Papa akan bilang ke orang-orang nanti kalau sebelumnya kalian menika
"Dulu Mama dan Papa gue kerjaannya guru SMA. Waktu Mama dan Papa gue masih ada, gue selalu bahagia. Gue dimanjain sampai kakak gue iri. Tapi semenjak orang tua gue meninggal semuanya berubah." Akhirnya Citra memutuskan untuk bercerita pada suaminya."Berubah gimana?" tanya Atala."Waktu Mama dan Papa gue meninggal dalam kecelakaan pesawat, pihak maskapai memberi ganti rugi buat gue sebagai ahli waris Mama dan Papa. Waktu itu gue masih SMP. Dan kedua kakak gue ... gue lupa umur mereka berapa waktu itu, tapi yang pasti mereka udah nggak di bawah umur lagi.""Beda usia Kak Shinta sama Kak Nadia berapa?" tanya Atala kemudian.Citra menoleh. Tak menyangka dengan pertanyaan yang Atala lontarkan. "Kak Shinta lebih tua dua tahun dari Kak Nadia.""Hmm kalau sama lo beda jauh, ya. Maksud gue jarak usia Kak Nadia sama lo.""Iya. Soalnya katanya gue anak bungsu yang paling nggak diinginkan. Dulu Mama dan Papa gue cuman berencana punya dua anak, persis kayak peraturan pemerintah. Hingga bertahun-ta
Tibalah hari itu, hari di mana pesta pernikahan Atala dan Citra dilaksanakan. Siang itu gedung The Imperial Wedding Hall terlihat begitu ramai oleh para tamu undangan. Mulai dari keluarga dekat, kerabat, teman, hingga kolega bisnis, semuanya berdatangan. Mobil-mobil mewah memenuhi area pelataran, menunjukkan siapa mereka.Lihatlah pasutri yang berdiri di singgasana yang mewah itu. Mereka begitu sibuk menyalami para tamu undangan yang menghampiri. Sibuk foto bersama. Sibuk menunjukkan senyum bahagia di depan orang-orang.Jangan tanya bagaimana perasaan Citra. Sejak tadi gadis itu gugup dan canggung. Dia juga merasa tak nyaman. Gugup dan canggung karena berada di keramaian. Dan merasa tak nyaman karena berada di pesta pernikahan mewah, tapi bukan dalam pernikahan yang dia inginkan. Semuanya penuh sandiwara dan itu membuatnya sakit. Meski sejak tadi dia berusaha untuk tenang, tetap saja dia tidak bisa. Tentu saja karena ini pengalaman pertama baginya.Bahkan sejak pertama kali dia turun d
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?