"Jadi Citra belum pulang, Mbak? Serius?"Atala merasa tak percaya mendengar jawabannya saat dia bertanya pada Tyas, ART-nya. Apakah Citra sudah pulang atau belum?"Iya, Tuan. Belum. Memangnya kenapa?""Enggak. Saya nanya aja." Atala tak menyangka dia malah pulang lebih dulu daripada cewek itu. Tadinya dia pikir dia yang paling telat."Tuan nggak perlu khawatir. Bentar lagi mungkin Non Citra bakal pulang. Mungkin sekarang sedang di jalan." Tyas menenangkan.Tapi tetap saja, nyatanya dia yang tiba ke rumah lebih dulu. Atala lalu mengangguk-angguk. "Mungkin. Ya udah kalau gitu. Makasih, Mbak.""Sama-sama, Tuan."Sepeninggal Tyas, Atala diam merenung. "Nggak nyangka gue jam segini cewek itu belum pulang juga. Ke mana sih dia sama pacarnya itu? Jangan-jangan mereka ke club malam juga?" Pikiran buruk Atala tentang Citra mulai menyerang. "Wah nggak bisa dibiarin, nih."Atala merogoh ponselnya, hendak menghubungi cewek itu untuk menyuruhnya pulang, tapi ... tiba-tiba dia ragu. Pergerakannya me
"Ngapain sih lo sembarangan kayak tadi?"Mereka akhirnya melanjutkan perdebatan itu di rumah. Ketika Citra sudah berganti baju dan hendak tidur. Mereka kini duduk berdua di ruang tamu. Citra menatap tajam Atala yang tertunduk malu, terlihat seperti lelaki bodoh, seperti sedang dihakimi."Ya, maaf soalnya kan gue kira ....""Dasar emang otak lo aja yang isinya busuk. Mikirnya tentang orang lain busuk juga." Citra marah. Tentu saja.Bagaimana tidak? Pacarnya dituduh ingin berbuat mesum padanya, padahal setelah mendengar penjelasan Dimas tadi, lelaki itu hanya berusaha membangunkannya yang sedang tidur. Karena Citra sejak tadi memang susah dibangunkan. Bukan ingin menciumnya. Sedangkan Atala hanya melihat sekilas dari balik kaca jendela. Tentu itu tidak valid. Dan tentu Citra lebih percaya pada pacarnya, Dimas. Atala diam."Lagian kalau Dimas mau mesum sama gue, terus kenapa? Apa urusannya sama lo?! Lo nggak lupa kan kalau kita nikah ada perjanjiannya? Lo nggak berhak melarang gue berhu
"Perkenalkan nama saya Citra Putri Kusuma. Panggilan saya Citra." Gadis remaja mengenakan seragam putih abu-abu itu memperkenalkan diri di depan kelas, di depan teman-teman dan gurunya. Citra tak tahu kenapa, tapi dia bisa merasakan teman-temannya itu memperhatikannya dengan tatapan aneh, seperti meremehkan, mengejek atau sejenisnya. Bahkan sejak awal kehadirannya di kelas ini.Dia juga mendengar beberapa siswi berbisik mengatainya penampilannya yang katanya cupu. Itu semua membuatnya makin gugup dan tidak percaya diri.Maka setelah menyebutkan biodata diri lainnya, Citra kembali duduk di bangkunya yang paling belakang. Jantungnya berdebar seiring dengan tatapan teman-temannya yang terus memandangi, sampai dia duduk di bangkunya. Di sebelah cewek yang juga baru dia kenal."Santai." Teman sebangkunya bersuara.Citra menoleh. "Iya?" Citra tak mengerti kenapa teman sebangkunya itu berkata demikian."Tadi gue liat lo tegang banget. Nervous, ya, ngomong di depan kelas?""Lumayan, Sya." Ci
Mata Citra spontan membuka lebar seiring dengan napasnya yang memburu. Begitu menatap plafon kamar yang sangat dia kenal, dia menyadari ternyata dia hanya mimpi.Kalau bukan karena suara kokok ayam dan suara kicauan burung yang terdengar samar dari luar sana, dia tidak akan sadar kalau hari sudah pagi. Karena gordennya masih saja berlabuh, tidak ada yang membukanya.Gadis itu bangun dan duduk di atas kasur. Dia merenungkan mimpinya."Kenapa sih kok gue bisa mimpiin momen itu? Apa karena semalam gue berantem sama tuh cowok dan gue kepikiran sampai susah tidur? Makanya sampai terbawa mimpi?" Citra berdecak. Tak kuasa memikirkan hal itu, dia turun dari kasur.***"Masuk kedokteran lewat jalur SBMPTN itu butuh skor UTBK yang tinggi loh, Sayang," ucapan Dimas tadi malam masih membekas diingatan Citra pagi ini."Kamu harus punya target yang tinggi. Di kampus aku rata-rata yang diterima di kedokteran minimal skornya 800. Untuk bisa mencapai angka itu kamu harus kuasai dua-duanya, TPS dan TKA,
Di depan pintu sudah berdiri Tasya. Wajah gadis itu terlihat tak nyaman--mungkin karena merasa sudah mengganggu. Gadis itu menggendong ransel, di tangannya juga ada tootbag warna coklat.Seketika Citra teringat dengan janji yang mereka buat lewat chat tadi malam. Tasya akan datang ke rumahnya untuk mengerjakan tugas dan belajar bersama."Sorry ... gue--""Silakan masuk, Sya," suruh Citra yang langsung berjalan mendekati Tasya. "Ayo." Citra menarik lengan Tasya yang masih terlihat tidak nyaman.Citra mengajaknya duduk di ruang tamu dan mengusir Atala dari hadapannya mereka. Citra juga mengatakan kalau Tasya tak perlu merasa tidak enak, juga tak usah memikirkan apa yang baru saja dia lihat tadi.Citra langsung mengalihkan pikiran temannya itu dengan langsung mengajaknya belajar."Gue nggak nyangka kalian bisa seromantis itu." Tapi ternyata Tasya masih saja memikirkannya.Tasya menatap Citra dengan senyum menggoda
Citra mengernyit dalam mengamati wajah Tasya. Dia tak mengerti dengan apa yang sahabatnya itu katakan. "Ngomong apa sih lo? Nggak ngerti gue."Tasya lantas teringat sesuatu. Nyaris saja dia kelepasan. "Enggak, Cit, udah lupain aja. Hmm lo belum pertanyaan gue yang lain. Kalian tidur bareng?""Enggak. Gue dan Atala tidur di kamar yang beda."Tasya menatapnya tak percaya. "Serius kalian pisah kamar?""Iya. Jadi sekarang masih mau bahas Atala?" Sungguh, kesabaran Citra mulai habis. Sepertinya tak lama lagi dia benar-benar mengusir temannya itu."Ini minumannya, Kak." Bi Rahma datang mengantarkan teh leci buat Tasya, juga sepiring kue lapis kuning yang banyak, menginterupsi bicara mereka. "Silakan diminum." Bi Rahma tersenyum ramah menatap Tasya.Tasya balas tersenyum. "Makasih, Bi.""Sama-sama, Kak." Bi Rahma lalu berbalik badan menuju dapur.Tasya lantas melirik Citra. "Gue minum, ya.""Oh minum aja. Kue lapisnya juga maka
Ketika Kak Shinta muncul di depan pintu dan mengucapkan salam, Citra dan Tasya sibuk menonton video belajar.Citra menatap ke arah pintu, menyambut Kak Shinta dengan ramah dan menyuruhnya masuk. Dan ternyata Kak Shinta tak hanya sendiri. Dia membawa seseorang."Eyang Putri ...." Citra menyalami eyang putri.Mereka berempat--termasuk Tasya--duduk di ruang tamu."Atala mana, Cit?" tanya Kak Shinta. Lalu tatapannya mengedar pada buku yang berserakan di meja. Juga jamuan buat Tasya. "Kalian pada ngapain?"Citra tersenyum tak nyaman. "Maaf, ya, Kak, rumahku agak berantakan." Cepat Citra menyusun buku-bukunya. Tangannya dia usahakan sebisa mungkin menutup cover buku itu biar Kak Shinta tidak melihat kalau buku itu adalah buku berisi kumpulan soal tes masuk PTN.Siapa pula yang butuh buku itu? Siapa pula yang hendak masuk PTN kalau bukan dirinya? Tidak mungkin Tasya. Citra lalu menaruh bukunya dalam tas ransel Tasya."Nggak ma
"Gimana, Cit? Kamu setuju?" Pertanyaan Kak Shinta membuyarkan lamunan Citra sejak tadi. "Hmm maaf, Kak." Citra lalu menatap eyang. "Maaf, Eyang. Untuk masalah itu agaknya rumit, ya. Aku belum bisa mutusin. Aku mau diskusi sama Atala dulu.”Citra tahu sebenarnya alasan Kak Shinta menumpangkan eyang ke rumahnya bukan karena tidak ada yang mengurusi, tapi memang dia tidak mau mengurusi eyang. Hingga tugas itu dibebankan kepada Citra sebagai cucu kesayangan eyang. Dengan menerima eyang di rumah ini, itu sama saja membuat beban Kak Shinta lepas. Tidak, Citra tidak akan biarkan itu.Melihat wajah Kak Shinta lama-lama, mengingatkan Citra akan kenangan buruk masa lalu itu. Kenangan yang amat dia benci. Yang membuat hidupnya jadi menderita. Ya, penderitaannya ini sedikit banyak disebabkan oleh kakak kandungnya. Setidaknya begitu pemikiran Citra selama ini. Hubungan Citra dengan kedua kakaknya memang kurang baik. "Oh soal Atala. Atala itu anak baik, iya kan Eyang?" sahut Kak Shinta yang lag