Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.
Siapa lagi kalau bukan Citra?
"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.
Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin hah?!"
Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?"
"Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!"
Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya lagi setelah dari toilet.
Ternyata dia masuk ke kamar Citra yang ada di sebelah kamarnya dan kebetulan kamar cewek itu gelap juga. Dia tak habis pikir kenapa dia bisa sampai salah masuk kamar. Dia salah masuk kamar, tapi dia gengsi untuk mengakuinya.
"Kenapa diam lo?"
"Si-siapa yang masuk ke kamar lo, sih? Ini kamar gue. Lo kali yang salah masuk kamar." Atala pura-pura tidak tahu.
"Udah jelas lo yang salah masuk kamar gue. Ini kamar gue. Nggak liat lo! Lo pasti sengaja kan masuk ke kamar gue buat mesum. Kurang ajar banget!"
"Gue nggak sengaja!" Akhirnya Atala memilih mengaku. "Gue emang salah masuk kamar lo, tapi gue nggak sengaja. Pas gue masuk lampunya mati kan gue pikir ini kamar gue." Ata sudah berusaha jujur, tapi Citra masih tak percaya.
"Alasan aja lo. Mesum ya mesum aja!"
"Ih siapa juga yang mau mesum sama lo, lo kan boneka santet!" Atala berlagak jijik.
Citra terkekeh culas. "Lo pikir gue mau dimesumin sama lo? Gue juga nggak pernah mau nikah sama lo. Seandainya di dunia ini hanya ada lo dan kucing, lebih baik gue nikah sama kucing, deh. Sumpah gue!"
"Ya udah nikah sana sama kucing! Lagian siapa suruh tidur pintunya nggak dikunci!"
"Ih udah dia yang salah masuk kamar orang, nyalahin orang lain lagi!"
"Ya, kan kalau seandainya pintu kamar lo dikunci, gue nggak akan masuk!"
"Dasar mesum lo!"
"Dasar cewek nggak mau disalahin!"
"Ya udah lo ngapain masih di sini? Ini kan kamar gue. Pergi sana!"
Atala menatap Citra kesal. "Dasar boneka santet!" ucapnya sebelum akhirnya keluar dari kamar itu.
Sebelum Citra melemparnya dengan bantal guling dan berteriak. "Gantengan kucing daripada muka lo!"
***
Pagi itu wajah Citra terlihat begitu berseri-seri. Wajahnya tidak sedih dan murung seperti kemarin. Kesal yang dia rasakan tadi pagi karena Ata tidur di kamarnya pun seakan sirna.
Kenapa? Baru saja dia selesai mandi, Dimas, pacarnya menelepon, meminta maaf karena kemarin tidak sempat membalas pesannya karena sibuk. Dimas juga mengajaknya jalan hari ini. Di telepon tadi dia juga puas mengungkapkan keluh kesahnya yang dipendamnya dua hari ini pada sang kekasih.
Tentu saja Citra senang bukan main. Rencananya pagi itu, sebelum berangkat dan berdandan, dia ingin menyiapkan sarapan untuknya dan untuk Dimas.
Namun, begitu dia tiba di dapur, makanan sudah tersaji di meja makan panjang itu. Bermacam aneka jenis lauk ada di sana. Citra terkesima melihatnya.
"Pagi, Non," sapa salah satu ART di rumah itu. "Mau sarapan, Non? Udah bibi siapin, tuh."
"Eng ... iya." Citra mengangguk menatap ART itu. Dilihat dari perawakannya, ART itu berusia separuh abad, tubuhnya tambun, tapi wajahnya yang bulat masih terlihat muda dan segar, ditambah kulitnya yang putih. Dia masih terlihat cantik. "Siapa yang masak?"
"Kami, Non," jawab ART bertubuh tambun itu.
Citra mengangguk-angguk, mengedar pandang sekeliling dapur. ART di sana tidak hanya seorang. Ada sekitar 3-4 orang. Mereka terlihat sibuk hilir-mudik berkemas. Ada yang menyapu dan mengepel dan mengemaskan ruang lainnya.
Citra menghela napas. Belum mengerti kenapa papa mertuanya itu menyiapkan dayang-dayang sebanyak ini. Padahal dia dan Atala hanya tinggal berdua. Hanya untuk mengurusi rumah dan memasak, sebenarnya Citra bisa. Kalau pun butuh orang yang membantu paling-paling hanya seorang.
Sampai hari ini dia bahkan belum merasa menyuruh para ART itu untuk melaksanakan tugas berat. Kalau seperti ini terus akan ada dua kemungkinan. Para dayang itu yang bersantai atau dirinya yang bersantai karena tidak ada pekerjaan yang harus dilakukan.
"Silakan makan, Non." Lagi, ART bertubuh tambun itu mempersilakan Citra duduk di kursi makan. Citra merasa ini sungguh berlebihan tapi demi menghargai dayang-dayangnya dan untuk menikmati fasilitas yang ada, dia pun menurut.
Gadis itu mengambil piring, lantas mengisinya dengan nasi dan lauk-pauk yang tersedia di sana.
Belum sempat dia menyuap, Atala muncul dan duduk di hadapannya. Sendok makan yang sudah berada di ujung mulut, terhenti. Melihat wajah laki-laki itu mengingatkannya dengan kejadian tadi pagi. Laki-laki itu tidur di kamarnya bahkan memeluknya. Membayangkan kembali adegan itu membuat nafsu makannya hilang seketika. Citra meletakkan sendok yang hendak disuapinya tadi kembali ke piring.
"Kenapa lo?" tegur Ata yang sudah menikmati makanannya. Laki-laki itu makan dengan kaki di angkat sebelah ke atas kursi.
"Gue nggak nafsu makan liat muka lo."
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membantu suaminya, membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, Nduk ....”"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata.Dia benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di M
"Apa, Pa? Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memb
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat. Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya,
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Mereka berangkat menggunakan mobil Johan.Selama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Dia yang juga masih berkabung atas kepergian eyang kakung lebih banyak diam. Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Dia benar-benar tak menyangka eyang kakung meninggal secepat itu. Dan kini dia malah menikah dengan cowok yang paling dia benci di dunia.Atala mencolek lengan Citra membuat Citra menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjian awal, ekting lo di depan keluarga gue harus bagus," bisik Atala.Citra hanya diam."Maklum, ya, Pa. Citra masih sedih," jawab Atala mewakili Citra, seolah sangat mengerti.Johan yang menyetir di depan, mengangguk. "Iya. Kami semua mengerti kesedihanmu, Citra. Sekarang kamu ti
"Jangan-jangan cowok itu mau dinikahin sama gue karena supaya dibeliin rumah?" tiba-tiba pikiran buruk tentang Atala menyerang kepala Citra. Terlebih mengingat bagaimana wajah Atala yang tampak semringah tadi karena dibelikan rumah mewah oleh papanya."Dia manfaatin gue? Iya, dia manfaatin gue! Kurang ajar!" Citra menjawab pertanyaannya sendiri. Tangis yang sejak tadi tertahan pun seketika pecah. Merasa amat miris. "Kenapa sih nasib gue begini banget?"Kenapa takdirnya seperti ini?Orang bilang takdir bisa diubah, tapi kenapa dia tidak bisa mengubah takdirnya? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengubahnya sesuai dengan takdir yang dia harapkan. Dia tidak bisa memilih."Ehem!"Suara dehaman yang keras membuyarkan lamunan Citra akan nasibnya. Bahu Citra agak tersentak. Cepat dia menghapus air matanya yang mengalir deras sejak tadi, lalu menutup album foto keluarganya yang dia pandangi sejak tadi. Yang membuatnya semakin rindu dengan momen-momen terdahulu bersama keluarga. Yang me
"Jam segini biasanya gue nongkrong sama teman-teman atau jalan sama Rani," gumam Atala setelah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, tujuh malam. Lalu duduk di pinggir ranjang. Bingung harus berbuat apa. Dia tiba-tiba merasa bosan.Atala menatap wajah Cristiano Ronaldo yang menempel di dinding kamarnya yang bercat biru. Ruang kamar itu kini sudah tersedia dan ditata sedemikian rupa. Kamar itu juga lengkap dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan termasuk lemari penyimpanan alat musik. Kamar itu sesuai dengan yang diimpikannya. Seperti yang tertera dalam surat perjanjian, Atala dan Citra akan tidur pisah kamar. Maka, Atala meminta dayang-dayangnya--yang sudah papanya persiapkan--alias mbak-mbak yang bekerja di rumah untuk membantu mereka menyiapkan kamar. Jadilah kamar ini.Suara notifikasi ponsel di saku celana menyadarkan lamunannya, dia mengecek ponselnya.From Rani (PPP): Hai, seharian ini kok nggak ngasih kabar? Gimana pernikahannya? Jadi? Sekarang lagi apa?Ata m