"Jam segini biasanya gue nongkrong sama teman-teman atau jalan sama Rani," gumam Atala setelah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, tujuh malam. Lalu duduk di pinggir ranjang. Bingung harus berbuat apa. Dia tiba-tiba merasa bosan.
Atala menatap wajah Cristiano Ronaldo yang menempel di dinding kamarnya yang bercat biru. Ruang kamar itu kini sudah tersedia dan ditata sedemikian rupa. Kamar itu juga lengkap dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan termasuk lemari penyimpanan alat musik. Kamar itu sesuai dengan yang diimpikannya.
Seperti yang tertera dalam surat perjanjian, Atala dan Citra akan tidur pisah kamar. Maka, Atala meminta dayang-dayangnya--yang sudah papanya persiapkan--alias mbak-mbak yang bekerja di rumah untuk membantu mereka menyiapkan kamar. Jadilah kamar ini.
Suara notifikasi ponsel di saku celana menyadarkan lamunannya, dia mengecek ponselnya.
From Rani (PPP): Hai, seharian ini kok nggak ngasih kabar? Gimana pernikahannya? Jadi? Sekarang lagi apa?
Ata menepuk jidatnya. "Gue lupa kasih kabar ke Rani. Tadi kan gue sempat cerita dikit ke dia."
Pria itu pun mulai mengetik pesan.
To Rani (PPP): Pernikahan gue sama cewek itu jadi, sekarang kami resmi jadi suami-istri. Yah, tapi kami udah bikin perjanjian dulu, perjanjian kalau pernikahan ini cuman sementara. Soalnya tuh cewek nggak mau nikah sama gue. Sekarang gue lagi di rumah, bosan nih di kamar.
From Rani (PPP): Kalian sekamar? Istri lo sekarang lagi apa?
To Rani (PPP): Ya, enggaklah. Kami tidur pisah kamar. Mana gue tahu dia lagi ngapain. Tadi aja gue liat dia sempat nangis. Lebay deh tuh cewek. Kalau sekarang gue samperin lagi yang ada dia marah.
Malam itu dia habiskan dengan chatingan bersama Rani.
***
To Dimas: Kamu lagi ngapain?
Sementara di sebelah kamar Atala, Citra juga sedang sibuk menghubungi kekasihnya. Pesan itu sudah dia kirim sejak tadi sore, tapi belum dibaca juga.
Dia menatap pesan itu sambil memeluk guling dalam ruang kamar yang temaram karena hanya mengandalkan lampu duduk. Ya, Citra sengaja tidak menghidupkan lampu utama.
"Mungkin dia lagi sibuk," gumam Citra yang sudah sangat paham akan kesibukan pacarnya sebagai mahasiswa kedokteran.
Gadis itu lalu meletakkan ponselnya di samping bantal kepalanya. Dia memeluk guling erat-erat seiring dengan perasaannya yang mendadak sedih.
Ya, sejak tadi gadis itu berusaha menghibur diri dengan bermain ponsel, bolak-balik aplikasi, berharap bisa melupakan sejenak kesedihan yang menguasai diri. Namun, tetap saja kesedihan itu masih ada. Kesedihan bercampur penyesalan. Menyesal karena telah menerima perjodohan ini. Terlebih mengingat isi perjanjian yang dia dan Atala buat tadi, rasanya dia masih tidak terima.
Matanya memejam seiring dengan air mata yang terasa hangat mengaliri parit matanya. Dia kini telah menjadi istri Atala, Eyang Kakung baru saja meninggal. Semua terasa seperti mimpi. Citra berharap ini mimpi yang tidak lama lagi dia akan terbangun dan menyudahi mimpi buruk ini.
Tangan Citra bergerak, mematikan lampu duduk yang tak jauh darinya membuat ruang kamar itu gelap gulita.
***
"Enggaaakkk!"
Pagi itu Atala dibangunkan dengan teriakan kencang perempuan. Dia yang tengah tertidur nyenyak spontan bergegas duduk di atas ranjang, tapi nyawanya belum sepenuhnya terkumpul.
Belum sempat dia mencerna siapa yang berteriak dan ada apakah? Tubuhnya di dorong keras hingga bokongnya menghantam kerasnya lantai ubin kamar itu. Atala meringis merasakan bokongnya sakit bukan main.
"Kurang ajar lo! Kurang ajar!"
Atala berusaha mengumpulkan nyawa. Mengucek-ucek matanya yang masih buram. Kepalanya berdenyut nyeri karena bangun mendadak.
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.Siapa lagi kalau bukan Citra?"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin hah?!"Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?""Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!" Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya lagi setelah dari toilet.Ternyata dia masuk ke kamar Citra yang ada di sebelah kamarnya dan kebetulan kamar cewek itu gelap juga. Dia tak habis pikir kenapa dia bisa sampai salah masuk kamar. Dia salah masuk kamar, tapi dia gengsi untuk
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membantu suaminya, membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, Nduk ....”"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata.Dia benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di M
"Apa, Pa? Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memb
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat. Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya,
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Mereka berangkat menggunakan mobil Johan.Selama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Dia yang juga masih berkabung atas kepergian eyang kakung lebih banyak diam. Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Dia benar-benar tak menyangka eyang kakung meninggal secepat itu. Dan kini dia malah menikah dengan cowok yang paling dia benci di dunia.Atala mencolek lengan Citra membuat Citra menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjian awal, ekting lo di depan keluarga gue harus bagus," bisik Atala.Citra hanya diam."Maklum, ya, Pa. Citra masih sedih," jawab Atala mewakili Citra, seolah sangat mengerti.Johan yang menyetir di depan, mengangguk. "Iya. Kami semua mengerti kesedihanmu, Citra. Sekarang kamu ti
"Jangan-jangan cowok itu mau dinikahin sama gue karena supaya dibeliin rumah?" tiba-tiba pikiran buruk tentang Atala menyerang kepala Citra. Terlebih mengingat bagaimana wajah Atala yang tampak semringah tadi karena dibelikan rumah mewah oleh papanya."Dia manfaatin gue? Iya, dia manfaatin gue! Kurang ajar!" Citra menjawab pertanyaannya sendiri. Tangis yang sejak tadi tertahan pun seketika pecah. Merasa amat miris. "Kenapa sih nasib gue begini banget?"Kenapa takdirnya seperti ini?Orang bilang takdir bisa diubah, tapi kenapa dia tidak bisa mengubah takdirnya? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengubahnya sesuai dengan takdir yang dia harapkan. Dia tidak bisa memilih."Ehem!"Suara dehaman yang keras membuyarkan lamunan Citra akan nasibnya. Bahu Citra agak tersentak. Cepat dia menghapus air matanya yang mengalir deras sejak tadi, lalu menutup album foto keluarganya yang dia pandangi sejak tadi. Yang membuatnya semakin rindu dengan momen-momen terdahulu bersama keluarga. Yang me