"Jangan-jangan cowok itu mau dinikahin sama gue karena supaya dibeliin rumah?" tiba-tiba pikiran buruk tentang Atala menyerang kepala Citra. Terlebih mengingat bagaimana wajah Atala yang tampak semringah tadi saat tahu dibelikan rumah mewah oleh papanya.
"Dia manfaatin gue? Iya, dia manfaatin gue! Kurang ajar!" Citra menjawab pertanyaannya sendiri. Tangis yang sejak tadi tertahan pun seketika pecah. Merasa amat miris. "Kenapa sih nasib gue begini banget?"
Kenapa takdirnya seperti ini?
Orang bilang takdir bisa diubah, tapi kenapa dia tidak bisa mengubah takdirnya? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengubahnya sesuai dengan takdir yang dia harapkan. Dia tidak bisa memilih.
"Ehem!"
Suara dehaman yang keras membuyarkan lamunan Citra akan nasibnya. Bahu Citra agak tersentak. Cepat dia menghapus air matanya yang mengalir deras sejak tadi, lalu menutup album foto keluarganya yang dia pandangi sejak tadi. Yang membuatnya semakin rindu dengan momen-momen terdahulu bersama keluarga. Yang membuat kesedihannya menjadi.
Ya, sejak tadi gadis itu meratapi nasib sambil memandangi album foto dipangkuannya, sebelum akhirnya pikirannya kembali mengingat sikap senang Atala waktu dibelikan rumah ini.
Gadis berambut pendek dan berkacamata itu menoleh ke sumber suara. Terlihat Atala berdiri di depan pintu, menatapnya dengan pandangan mengejek. "Ngapain lo nangis?"
"Bukan urusan lo!" jawab Citra ketus sambil masih mengusap air matanya hingga kering tak bersisa. Tentu saja dia tak mau terlihat lemah, terlebih di depan lelaki yang dia benci.
"Lo nangis karena nikah sama gue?" tebak Atala sambil berjalan mendekati Citra.
Citra tak menjawab dan sibuk dengan matanya.
Pria itu terkekeh tak habis pikir. "Ngapain nangis, sih? Kan kita sama-sama tahu kalau pernikahan ini cuman sebentar. Begitu aja ditangisin. Cengeng banget, dasar cupu!"
Citra masih tak menggubris.
Dan itu membuat Atala kesal. "Eh, dari pada lo nangis, mending lo nikmatin dulu aja rumah dan fasilitas yang ada, mumpung masih jadi istri gue. Kapan lagi coba? Lo pasti nggak pernah kan menginjakkan kaki di rumah semewah ini, apalagi tinggal di sini. Jadi istri sementara gue selama setahun, lo bisa puas banget tinggal di sini. Lo tuh harusnya bersyukur, bukannya--"
"Lo nggak usah sok tahu tentang gue!" Citra sudah tak dapat membendung emosi, terlebih mendengar ucapan Atala yang begitu merendahkannya.
Sergahan itu membuat Atala terdiam.
"Lo nggak kenal siapa gue!" Citra melanjutkan. "Banyak hal yang gue pikirin. Apalagi Eyang gue baru aja meninggal. Dan gue bukan cewek matre yang mengharapkan semua kemewahan ini! Dan ingat perjanjian yang udah kita buat sebelumnya." Citra merasa puas setelah meluapkan segala kerisauannya.
Berbicara soal perjanjian, Atala teringat sesuatu, Citra juga.
"Oh iya perjanjian itu, gue baru mau ngasih tahu--"
"Gue juga," potong Citra. "Ada beberapa peraturan yang mau gue tambah dari perjanjian yang udah kita buat di rumah sakit tadi. Mau nggak mau lo harus setuju."
"Enak aja!" Atala tidak mau kalah. "Gue juga punya peraturan tambahan. Dan lo harus setuju!"
Citra mengernyit, coba memikirkan peraturan tambahan yang Ata maksud, tapi dia tidak bisa menebak dengan yakin. Dia jadi makin penasaran. Hingga akhirnya dia menengadahkan telapak tangannya. "Mana coba lihat?"
Atala pun mengambil surat perjanjiannya yang sudah dia ketik dan print, serta diberi materai yang tinggal ditandatangani kedua belah pihak.
Namun, ketika membaca isi perjanjian itu, Citra membelalak seakan tak setuju dengan isinya. Dia lalu memandang Atala tak suka.
"Kenapa lo?" Dahi Atala mengernyit.
"Jam segini biasanya gue nongkrong sama teman-teman atau jalan sama Rani," gumam Atala setelah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, tujuh malam. Lalu duduk di pinggir ranjang. Bingung harus berbuat apa. Dia tiba-tiba merasa bosan.Atala menatap wajah Cristiano Ronaldo yang menempel di dinding kamarnya yang bercat biru. Ruang kamar itu kini sudah tersedia dan ditata sedemikian rupa. Kamar itu juga lengkap dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan termasuk lemari penyimpanan alat musik. Kamar itu sesuai dengan yang diimpikannya. Seperti yang tertera dalam surat perjanjian, Atala dan Citra akan tidur pisah kamar. Maka, Atala meminta dayang-dayangnya--yang sudah papanya persiapkan--alias mbak-mbak yang bekerja di rumah untuk membantu mereka menyiapkan kamar. Jadilah kamar ini.Suara notifikasi ponsel di saku celana menyadarkan lamunannya, dia mengecek ponselnya.From Rani (PPP): Hai, seharian ini kok nggak ngasih kabar? Gimana pernikahannya? Jadi? Sekarang lagi apa?Ata me
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.Siapa lagi kalau bukan Citra?"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin hah?!"Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?""Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!" Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya lagi setelah dari toilet.Ternyata dia masuk ke kamar Citra yang ada di sebelah kamarnya dan kebetulan kamar cewek itu gelap juga. Dia tak habis pikir kenapa dia bisa sampai salah masuk kamar. Dia salah masuk kamar, tapi dia gengsi untuk
"Kamu kenapa sih mukanya kok keliatan betek gitu?" tegur Dimas, pacar Citra, saat mereka sudah berduaan dalam mobil dan menuju perjalanan. "Padahal tadi di telepon suaranya ceria, beda banget sama sekarang. Pasti ada yang bikin kamu badmood, kamu sedih karena Eyang Kakung meninggal?"Mendengar Eyang Kakung disebut, Citra teringat lagi akan sosok eyangnya. Jika menuruti perasaan, memang dia masih sedih. Rasanya juga belum sepenuhnya ikhlas. "Iya, Sayang, itu pasti. Tapi ...." Citra terdiam teringat hal lain yang membuatnya kesal. Yaitu tingkah laku Atala selama serumah dengannya. "Tapi apa? Coba cerita ke aku. Oh iya, aku turut berduka cita, ya, atas meninggalnya eyang kamu. Maaf kemarin aku nggak ada waktu pemakamannya eyang. Aku benar-benar sibuk waktu itu--""Iya, Sayang. Nggak pa-pa, kok." Citra memaksakan senyum saat menatap Dimas sekilas. Lalu wajahnya kembali murung saat menatap jalanan depan. "Dan sebenarnya bukan cuman itu yang aku pikirin.""Apa? Coba cerita sama aku."Citra
"Kenapa?" tanya Dimas. "Si Talas barusan ngirim pesan, nyuruh aku pulang ke rumah. Soalnya papa mertua aku mau datang. Dan nggak cuma papa mertua. Eyang putri dan kedua kakakku katanya juga ada. Mereka barengan." Citra menoleh pada Dimas dengan pandangan melotot. "Gawat ini, Sayang. Aku harus pulang sekarang." Citra terlihat panik.Dimas terdiam sesaat, kemudian baru mengangguk. "Oke, deh. Kita putar haluan, ya."Citra memperhatikan wajah sang kekasih lamat-lamat. "Tapi nggak pa-pa, kan, Sayang? Kamu nggak masalah, kan?" Dia bertanya dengan hati-hati.Dimas menggeleng tanpa ragu. "Enggak, kok. Aku paham posisi kamu sekarang. Yang penting aku yakin kamu sayang sama aku."Citra tersenyum. "Aku sayang kamu itu pasti. Makasih, ya, Sayang. Kamu emang yang paling ngerti aku. Aku janji lain kali kita bakal cari waktu buat quality time. Oke? Atau ... atau ... nanti sore atau malam kalau keluarga aku udah balik atau masalahnya udah kelar, kita jalan lagi, Oke?""Iya, Sayang. Kamu santai aja."
"Kalian berantem?" tanya Johan dengan nada curiga."Eng ... Berantem bercanda gitu, loh, Pa, maksudnya. Berantem sayang, bukan yang gimana-gimana." Lagi Atala menjelaskan sambil menatap istrinya. "Iya kan, Sayang?"Citra meringis, memaksakan senyum. "Iya, Pa ....""Bener?" Kali ini Kak Shinta bertanya memastikan seakan tak percaya. Tatapannya menyelidik penuh kecurigaan. Membuat Atala dan Citra agak panik. "Kalian lucu." Berbeda dengan Kak Shinta, Kak Nadia malah terlihat santai dan menganggap hubungan adiknya dan adik iparnya itu lucu, tidak terlihat curiga tentang apa pun.Atala dan Citra hanya meringis, lagi dan lagi.Selanjutnya mereka melanjutkan obrolan di ruang tamu itu. Lebih ke Atala dan Citra yang menceritakan keseharian mereka. Tentu Atala tak menceritakan keadaan yang sebenarnya. Untuk pertama kalinya rumah megah yang biasanya sepi itu terasa ramai. Citra dan Atala minta maaf karena tak menyediakan mereka makanan enak. Hanya meminta bibi menyiapkan minuman teh hangat dan
"Pantasan saja tadi pagi saya dengar suara Non Citra teriak-teriak di kamar. Rupanya mereka lagi berantem."Setelah menyelesaikan perdebatannya dengan Citra dan berakhir dengan kemenangan cewek itu, Atala langsung mendatangi para ART-nya di dapur. Tapi ternyata mereka sibuk bercengkrama di taman belakang. Karena tidak ada pekerjaan yang harus mereka kerjakan lagi. Dan Atala sempat mendengar para ART itu bergosip ria. "Iya, mereka emang ndak akur. Ndak saling cinta, tapi kenapa ya mereka mau-maunya dinikahkan?""Banyak rahasia orang yang kita nggak tahu. Kalau kata saya sih kita nggak usah ikut campur. Mending kita fokus aja sama kerjaan kita jadi ART di sini. Selama mereka baik sama kita, nggak ada masalah.""Kita kan cuman cerita, bukan mau mencampuri!" ART lain seakan tak terima dengan tuduhan mencampuri itu.Atala berdeham membuat para ART itu terdiam, lalu menoleh menatap Atala dengan pandangan tak nyaman."Eh, Tuan Atala," sapa salah satu ART di sana. Wanita paruh baya yang bert
Citra berdiri di teras rumahnya yang megah, menunggu kedatangan sang kekasih yang telah berjanji akan menjemputnya. Mereka akan jalan-jalan lagi. Sebenarnya Citra bisa saja menunggu di dalam, tapi dia tidak betah, dia tidak senang melihat wajah Atala lama-lama hingga lebih rela menunggu di teras begini. Setelah terbangun dari mimpi buruk sore tadi, Citra langsung menghubungi pacarnya. Sebenarnya Citra tak ingin mengganggu pacarnya yang sibuk dengan tugas kuliah, tapi perasaan takut yang dia rasakan akibat mimpi itu tadi tak dapat dibendung. Dia merasa sangat butuh ketemu Dimas. Hanya Dimas yang bisa menghiburnya saat ini. Saat tatapannya sibuk menatap gerbang, tiba-tiba keluar mobil lain dari garasi. Mobil itu mengeluarkan klakson nyaring, tapi tak membuat Citra terkejut. Citra melirik sekilas mobil itu yang kaca pintunya mulai terbuka. "Ngapain, sih, itu anak," gumamnya.Wajah songong Atala yang dia benci muncul. Laki-laki itu mengenakan kaca mata hitam. "Mau ke mana, Mbak? Ayok Ma
"Rani?" Atala menatap perempuan bernama Rani itu tak percaya.Gadis dengan tubuh semampai dan rambut bergelombang sepinggang itu tersenyum. "Iya, ini aku."Rahang Atala terlihat mengeras. Lelaki itu lalu berdiri lantas menarik lengan Rani. "Kita butuh bicara empat mata. Ikut aku!"Rani terkejut. "Ma-mau ke mana?"Atala langsung menarik Rani ke tempat yang agak jauh dari meja teman-temannya. Sikap Atala yang demikian menjadi pembicaraan temannya lagi, tapi Atala tak peduli."Lepasin, Atala, sakit!" Rani meringis saat dia merasakan Atala memegang lengannya terlalu kuat. Susah payah dia menyamakan langkah Atala yang panjang. Sampai akhirnya mereka berhenti di suatu tempat, di pelataran cafe yang agak sepi."Siapa yang nyuruh kamu kasih tahu mereka kalau aku udah nikah? Kamu lupa pesan aku?" Atala langsung mencercanya dengan pertanyaan bernada tuduhan. Kentara sekali lelaki itu tidak suka dengan apa yang Rani lakukan barusan.Rani menatap Atala takut-takut. "Sorry, La. Tapi aku terpaksa."