Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak.
Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.
Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.
Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.
Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.
Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan celana jins. Lalu kepala keduanya dilabuhi kain tipis. Atala berjabat tangan dengan Pak Penghulu.
Citra duduk mematung menatap satu arah, yakni dinding ruang rawat inap yang berwarna putih. Atala menyadari wajah Citra yang sejak tadi terlihat sedih. Kentara sekali cewek itu terpaksa. Seandainya tak ada papanya dan Pak Penghulu di hadapannya, sudah pasti Atala menegur cewek itu. Cewek itu memang sulit diajak kerja sama.
"Sudah siap, Nak Atala?" tanya Pak Penghulu menyadarkan Atala.
Atala menatap Pak Penghulu. "Siap, Pak."
"Nak Citra?" tanya Pak Penghulu pada Citra.
Citra menatap Pak Penghulu. Wajah cewek itu masih terlihat sedih sekaligus tegang, dan tergugup ketika menatap Atala. Atala memegang tangannya di bawah meja, mencoba menenangkan tapi Citra malah menepisnya.
"Santai ...," bisik Atala menahan geram.
Citra memaksakan senyum. "Siap, Pak," jawabnya lirih.
"Siap ijab kabul, ya," ucap Pak Penghulu pada Atala yang langsung mengangguk. Mereka berjabat tangan.
"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Atala Sudiharto bin Johan Sudiharto dengan Citra Putri Kusuma binti Kusuma Wijaya dengan mahar satu juta dibayar tunai." Pak Penghulu mengucap kalimat ijab.
"Saya terima nikah dan kawinnya Citra Putri Kusuma binti Kusuma Sudiharto dengan mahar yang tersebut tunai." Atala membalas dengan kalimat kabul.
Pak Penghulu menoleh pada para saksi. "Bagaimana para saksi? Sah?"
"Sahh ....!!"
Bersamaan dengan itu, air mata Citra lolos di pipi. Pak Penghulu, kedua mempelai dan para saksi mengangkat tangan untuk berdo'a. Citra juga mengangkat tangan, tapi dia tidak berdo'a, pikirannya melanglang buana entah ke mana. Walau pun pernikahan ini hanya sementara, rasanya dia tidak percaya, di usianya yang amat belia, dia telah menjadi seorang istri. Istri dari laki-laki yang sama sekali tidak dia cintai.
"Kalian sudah sah menjadi sepasang suami-istri," ucap Pak Penghulu pasca berdo'a.
Harusnya momen ini menjadi momen yang amat membahagiakan, tapi bagi Citra momen ini adalah musibah terburuk dalam hidupnya. Meskipun pernikahan ini hanya sementara dan dia dan Atala sudah membuat perjanjian, tetap saja dia tidak ikhlas.
"Suami sudah boleh mencium kening istrinya," ucap Pak Penghulu.
Belum sempat Atala menjawab, Citra sudah menyahut. "Nggak usah!" Citra lalu melempar Atala tatapan tajam.
"Citra ...."
Citra mendengar eyang kakung yang terbaring di tempat tidur, memanggilnya. Citra langsung berdiri dan menghampiri. "Iya, Eyang, ini aku. Aku udah menikah dengan Atala sesuai dengan yang Eyang harapkan." Citra memaksakan senyum.
"Alhamdulillah." Eyang kakung tersenyum. "Nak Atala ...," lirihnya amat pelan.
Citra menoleh ke Atala. "Lo dipanggil Eyang!"
Atala pun berdiri, mendekati eyang kakung, berdiri di samping Citra.
"Ada apa, Eyang?" tanya cowok itu hati-hati.
Eyang lalu meraih tangan Citra dan Atala. Lalu dia menyatukan tangan keduanya di atas perutnya. Beliau menatap Citra. "Cit, Atala ini anak baik. Berasal dari keluarga baik-baik. Dia bisa jadi suami yang baik buatmu. Kamu harus yakin itu. Jadi, kamu juga harus bisa menjadi istri yang baik untuknya. Jadilah istri yang berbakti untuknya." Eyang Kakung menasihati dalam bahasa Jawa yang kental.
Citra menatap Atala sekilas dengan raut datar, lalu kembali menatap eyang kakung. "Iya, Eyang."
Lalu eyang kakung menatap cucu menantunya. "Kamu Nak Atala, jaga Citra baik-baik, ya. Jadikan dia istri yang merasa paling bahagia di dunia. Perlakukan dia sebagaimana seharusnya."
"Iya, Eyang," jawab Atala.
"Kalian harus selalu bahagia. Harus selalu sama-sama sampai maut memisahkan," pesannya lagi.
"Insya Allah, Eyang," jawab Atala. Sedangkan Citra hanya diam.
Eyang kakung memaksakan senyum. Citra bisa melihat parit matanya yang berair, mungkin menangis karena haru. "Eyang sudah tenang sekarang," lirihnya lagi. Lalu orang tua itu menatap plafon, pandangannya menerawang, terlihat ingin mengucapkan sesuatu, tapi kesusahan. "La ... ilaha ... ilallah ...."
"Eyang!" Citra menangis. Dia tak percaya eyangnya benar-benar akan meninggal secepat itu. Semua orang-orang yang ada di sana serta-merta mengelilingi tempat tidurnya.
Pak Penghulu membantunya mengucapkan dua kalimat syahadat. Dan akhirnya dengan bimbingan Pak Penghulu, eyang kakung berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan lancar sebelum akhirnya orang tua itu menutup mata untuk selamanya.
"Innalilahi Wa Innailaihi Raji'un," ucap Pak Penghulu.
"Eyang!" Citra berteriak histeris sambil mendekap jasad eyang kakung.
"Yang sabar, Cit, yang kuat." Atala coba menepuk-nepuk pundak cewek itu, menenangkannya.
Tapi ternyata cewek itu pingsan di tempat, dalam keadaan memeluk jasad eyang kakung.
Seketika semua yang ada di sana panik. "Citra! Citra!"
***
Mohon maaf pembaca, jika kalian menemukan alur yang nggak nyambung, itu artinya editanku blm di ACC sama admin, ya. Mohon dimaklumi dan tunggu sampai di ACC. Terima kasih.
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Sekaligus untuk menghibur Citra yang sedih. Mereka berangkat menggunakan mobil Pajero milik JohanSelama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Perasaannya campur aduk. Sedih atas kepergian eyang kakung, juga sedih melihat eyang kakung meninggal dalam keadaan belum melihatnya sukses. Kesal, dendam, sakit hati juga dengan kakaknya dan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memutar ulang waktu. Dia pasti akan bergerak cepat dan melakukan apa saja agar eyang kakung tak perlu bekerja keras lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Citra tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan kini.Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Atala mencolek lengan Citra membuat gadis itu menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjia
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?""Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini.""Maaf, Pa." Tiba-tiba Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pri
Sore harinya, orang kepercayaan Johan datang bersama mobil khusus yang membawakan barang-barang Citra. Semua barang-barang Citra yang ada di rumah eyang putri dibawa ke mari. Begitu juga barang Atala yang dari rumah papanya.Pak Jono, orang kepercayaan Johan juga membawa beberapa bodyguard untuk mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah. Tak hanya itu, Pak Jono juga sudah menyeleksi para ART yang akan bekerja di sini. Totalnya ada lima orang.Singkat cerita semuanya sudah beres. Rumah mereka yang sudah lengkap dengan perabotan dan bahan makanan itu pun sudah siap huni. Semuanya diurus sama Papa Johan. Citra dan Atala tinggal menikmati."Terima kasih, ya, Pak," ucap Atala di teras saat Pak Jono hendak pamit pulang. "Maaf udah repot-repot." Lelaki belasan tahun itu cengar-cengir."Nggak pa-pa, Mas Atala. Nggak perlu merasa sungkan begitu. Ini juga sudah bagian dari tugas saya. Kalau Mas Atala dan istri ada perlu apa-apa jangan sungkan bilang saya. Ini pesan dari Pak Johan," jelas pria
"Apa-apaan, nih?" Citra melotot menatap lembaran kertas itu. Lalu menatap Atala tak percaya."Kenapa?" tanya Atala bingung."Kenapa isi surat perjanjiannya kayak nguntungin lo doang, ya.""Iya, memangnya kenapa? Lo keberatan?" Atala bersidekap dada. Menatap Citra angkuh karena merasa dirinyalah yang paling berhak menentukan bagaimana isi perjanjian itu."Iyalah, gue nggak setuju.""Nggak bisa gitu. Setuju nggak setuju, lo tetap harus setuju.""Enak aja nggak bisa gitu dong. Ini ngerugiin gue banget." Citra kembali menatap kertas itu."Kayak poin nomor dua, gue harus ngelayanin lo selayaknya istri melayani suami sebagaimana mestinya, tapi nggak boleh tidur bareng, cuman ngelayanin yang lain seperti memberi perhatian, mengingatkan makan, menyucikan pakaian, bersih-bersih rumah ...." Citra membaca seluruh tugasnya secara singkat. Lalu menatap Atala sengit. "Eh, lo pikir gue babu lo. Itu babu lo udah banyak, ya, terus mereka ngapain kalau ngurusin semuanya harus gue.""Bukannya emang itu y
"Sayang, temenin aku keluar, yuk."Atala berbicara di telepon dengan pacarnya, Rani. Sejak tadi dia merusing dan merasa bosan menetap di kamar. Dia memang terbiasa keluyuran dan pulang malam waktu masih tinggal bersama papanya. Rumah semewah itu ternyata tak cukup membuatnya betah."Keluar ke mana, Sayang?" sahut suara di seberang."Ke mana aja. Asal sama kamu. Ke Sunset Cafe juga boleh. Suntuk banget aku di rumah." Atala duduk di pinggir kasur melempar pandang ke taman samping yang terlihat dari jendela kamarnya."Istri kamu mana?"Atala tak menyangka dengan pertanyaan itu. "Ngapain nanyain dia, sih?""Ya enggak pa-pa. Kamu sekamar sama dia?""Enggak, dong, Sayang. Nggak sudi banget aku tidur sama dia. Kami tidur pisah kamar, dong.""Terus sekarang dia di mana?""Ya, mana aku tahu. Aku juga nggak peduli dia di mana dan ngapain ya terserah dia lah. Jadi kamu mau nggak jalan sama aku, nih?""Boleh, tapi habis itu singgah ke Mall, yah. Beliin tas yang kemarin itu ...." Suara Rani terdeng
Atala dan teman-temannya berbincang banyak hal, lebih ke hubungannya dan Rani saat ini. sesekali membahas Romi yang selalu curhat tentang nasibnya yang miskin, tapi dia bersyukur karena dikelilingi oleh teman-teman yang tajir dan tidak sombong."Gue bangga punya kalian." Romi tersenyum menepuk-nepuk bahu temannya satu per satu termasuk Atala."Atala, mah, temenan nggak pilih-pilih. Siapa-siapa aja diembat, ya, nggak?" ucap Tristan."Emang nggak pilih-pilih. Bapak-bapak aja dijadiin temen." Kali ini Rani menyahut, mencoba menyambung percakapan. Gadis itu teringat Galang yang dia temui di club malam itu."Nah, kan. Pak bapak aja bisa temenan ama dia.""Tapi sebenarnya gue khawatir sama lo, Bro," ucap Romi kemudian. "Kalau semuanya lo temenin, takutnya nanti salah pergaulan, terjerumus pada suatu yang negatif. Hati-hati, Bro. Pergaulan itu berpengaruh besar dalam hidup kita. Pernah dengar kan peribahasa yang bilang kalau 'jika kita berteman dengan tukang minyak wangi, maka kita akan terci
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur sambil marah-marah.Siapa lagi kalau bukan Citra?"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin, hah?!"Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?""Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!" Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya setelah pulang dari jalan-jalan. Waktu itu memang lampunya mati, dia pikir itu kamarnya. Karena Atala memang mematikan lampu terakhir kali sebelum pergi. Dan dia tidak menghidupkan lampu saat tidur. Tapi ternyata dia masuk ke kamar
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo