Share

4. Pindah ke Rumah Mewah

Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Mereka berangkat menggunakan mobil Johan.

Selama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Dia yang juga masih berkabung atas kepergian eyang kakung  lebih banyak diam. Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.

Dia benar-benar tak menyangka eyang kakung meninggal secepat itu. Dan kini dia malah menikah dengan cowok yang paling dia benci di dunia.

Atala mencolek lengan Citra membuat Citra menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjian awal, ekting lo di depan keluarga gue harus bagus," bisik Atala.

Citra hanya diam.

"Maklum, ya, Pa. Citra masih sedih," jawab Atala mewakili Citra, seolah sangat mengerti.

Johan yang menyetir di depan, mengangguk. "Iya. Kami semua mengerti kesedihanmu, Citra. Sekarang kamu tinggal punya Eyang Putri. Seandainya kamu nggak menikah dengan Atala, kamu jadi sebatang kara. Karena itu almarhum Eyang Kakung meminta kamu menikah kan? Sekarang kami udah menjadi keluargamu juga." Johan tersenyum, menatap Citra dari kaca spion depan.

Kata-kata bapak mertuanya itu sungguh menentramkan hati. Sandainya anak pria itu bukan cowok songong seperti yang ada di sampingnya kini, Citra pasti bersyukur punya bapak mertua sebaik beliau. Citra melihat begitu kontras perbedaan sikap anak dan papanya itu.

"Makasih ... Pa." Citra sungkan memanggilnya papa.

Johan tersenyum. "Kamu sekarang sudah menjadi anak Papa juga. Jadi jangan sungkan panggil 'Papa'."

Lagi, Citra tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Citra merasa Papa Atala sedang mengakrabkan diri padanya.

Tanpa terasa mobil yang mereka kendarai tiba di depan sebuah rumah besar dan bertingkat dua. Citra agak tekejut melihat rumah megah yang ada di depannya. Berkata dalam hati bahwa pemilik rumah ini pastilah kaya raya.

"Nah, kita udah sampai," ucap Johan sambil menoleh ke belakang. "Ayok Citra kita turun."

Citra yang sibuk dengan pikirannya pun langsung tersadar dan turun dari mobil. Johan mendului mereka dan membuka kunci rumah itu. Mereka bertiga masuk ke rumah yang begitu besar dan mewah. Tangga mewah yang melingkar menuju lantai dua di dekat ruang tamu itu seolah menyambut kedatangan mereka. Citra dan Atala sampai bengong melihat kemegahan rumah yang tampak tak berpenghuni itu.

"Pemilik rumah ini ke mana? Kenapa kita bawa ke sini?" Rupanya Atala memiliki pertanyaan yang sama dengan Citra.

"Ini rumah kalian," jawab Johan.

"Apa?!" Citra dan Atala bereaksi bersamaan. Keduanya melotot menatap papanya.

"Iya rumah kalian. Kenapa memang? Harusnya kalian senang Papa hadiahi rumah sebesar ini." Tatapan Johan memindai setiap sudut ruangan rumah mewah itu dengan rasa bahagia. Kini niat dan rencananya sudah terlaksana. Atala sudah menikah dengan menantu pilihannya. Dan kini dia sudah menyiapkan rumah untuk anak dan menantu kesayangannya itu.

"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?"

"Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.

Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.

Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini."

"Maaf, Pa." Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"

Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pria itu tersenyum sambil berandai-andai.

Citra dan Atala melotot mendengarnya. Citra jijik membayangkan dirinya akan punya anak dari manusia songong satu ini. Namun, kemudian Atala berusaha menetralkan wajahnya dan menyenggol Citra untuk bersikap netral juga.

"Jadi nanti kalian nggak perlu repot-repot lagi cari rumah. Bener kan yang Papa bilang?" ucap papanya lagi sontak membuyarkan lamunan keduanya.

"Eng-i-iya, Pa," jawab Atala tersenyum terpaksa.

Johan mengangguk. "Oke kalau begitu. Nanti Papa suruh orang buat bawa baju dan barang-barang Citra buat di bawa ke sini. Kamu juga Atala. Biar kalian nggak perlu repot-repot lagi. Kalian nggak usah banyak mikir. Cukup tinggal duduk manis saja di rumah ini. Semuanya Papa yang urus. Enak kan kerja sama dengan Papa asal kalian nurut."

"Iya, Pa," sahut Atala lagi dengan semringah tak surut dari wajahnya. Kontras dengan wajah Citra yang tampak tak senang.

"Kalian di sini harus romantis. Jangan berantem, ya, Atala. Ciptakanlah keluarga yang bahagia. Citra, Eyang-mu di sana pasti bahagia melihat kalian bahagia, jadi akur-akurlah. Kalau ada apa-apa bilang Papa. Papa pulang dulu, ya."

Walau tidak senang, Citra berusaha menghargai usaha papa mertuanya itu. Citra tersenyum dan menyalami tangan orang tua itu. "Makasih, Pa."

"Sama-sama, Nak."

Johan terus berpesan agar mereka menjaga hubungan menjadi pasangan yang harmonis sebelum akhirnya dia keluar dari rumah megah itu.

Mereka mengantar kepulangan Johan sampai pria itu masuk ke mobil. Atala masih mempertahankan senyum dan kemesraannya dengan merangkul bahu Citra, kala papanya menoleh dibalik kaca mobil yang terbuka. Atala mengangkat tangan, berdada ria saat mobil itu perlahan melaju meninggalkan rumah megah mereka.

Ketika mobil itu tak terlihat lagi, Citra spontan mencubit perut laki-laki itu.

Atala sontak meringis kesakitan dan melepas rangkulannya.

Citra menatap penuh kebencian. "Jangan cari-cari kesempatan dalam kesempitan, ya!"

"Idih siapa juga yang cari kesempatan," gumam cowok itu mengusap-usap perutnya yang masih nyilu. "Gue kan cuman ekting di depan Papa. Nggak paham-paham, sih."

"Dengar, ya, gue mau nikah sama lo bukan karena gue suka sama lo!" Citra tak mengindahkan perkataan Atala. "Gue nikah demi Eyang gue dan perjanjian. Ingat perjanjian yang udah kita buat!"

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status