Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Mereka berangkat menggunakan mobil Johan.
Selama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Dia yang juga masih berkabung atas kepergian eyang kakung lebih banyak diam. Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.
Dia benar-benar tak menyangka eyang kakung meninggal secepat itu. Dan kini dia malah menikah dengan cowok yang paling dia benci di dunia.
Atala mencolek lengan Citra membuat Citra menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjian awal, ekting lo di depan keluarga gue harus bagus," bisik Atala.
Citra hanya diam.
"Maklum, ya, Pa. Citra masih sedih," jawab Atala mewakili Citra, seolah sangat mengerti.
Johan yang menyetir di depan, mengangguk. "Iya. Kami semua mengerti kesedihanmu, Citra. Sekarang kamu tinggal punya Eyang Putri. Seandainya kamu nggak menikah dengan Atala, kamu jadi sebatang kara. Karena itu almarhum Eyang Kakung meminta kamu menikah kan? Sekarang kami udah menjadi keluargamu juga." Johan tersenyum, menatap Citra dari kaca spion depan.
Kata-kata bapak mertuanya itu sungguh menentramkan hati. Sandainya anak pria itu bukan cowok songong seperti yang ada di sampingnya kini, Citra pasti bersyukur punya bapak mertua sebaik beliau. Citra melihat begitu kontras perbedaan sikap anak dan papanya itu.
"Makasih ... Pa." Citra sungkan memanggilnya papa.
Johan tersenyum. "Kamu sekarang sudah menjadi anak Papa juga. Jadi jangan sungkan panggil 'Papa'."
Lagi, Citra tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Citra merasa Papa Atala sedang mengakrabkan diri padanya.
Tanpa terasa mobil yang mereka kendarai tiba di depan sebuah rumah besar dan bertingkat dua. Citra agak tekejut melihat rumah megah yang ada di depannya. Berkata dalam hati bahwa pemilik rumah ini pastilah kaya raya.
"Nah, kita udah sampai," ucap Johan sambil menoleh ke belakang. "Ayok Citra kita turun."
Citra yang sibuk dengan pikirannya pun langsung tersadar dan turun dari mobil. Johan mendului mereka dan membuka kunci rumah itu. Mereka bertiga masuk ke rumah yang begitu besar dan mewah. Tangga mewah yang melingkar menuju lantai dua di dekat ruang tamu itu seolah menyambut kedatangan mereka. Citra dan Atala sampai bengong melihat kemegahan rumah yang tampak tak berpenghuni itu.
"Pemilik rumah ini ke mana? Kenapa kita bawa ke sini?" Rupanya Atala memiliki pertanyaan yang sama dengan Citra.
"Ini rumah kalian," jawab Johan.
"Apa?!" Citra dan Atala bereaksi bersamaan. Keduanya melotot menatap papanya.
"Iya rumah kalian. Kenapa memang? Harusnya kalian senang Papa hadiahi rumah sebesar ini." Tatapan Johan memindai setiap sudut ruangan rumah mewah itu dengan rasa bahagia. Kini niat dan rencananya sudah terlaksana. Atala sudah menikah dengan menantu pilihannya. Dan kini dia sudah menyiapkan rumah untuk anak dan menantu kesayangannya itu.
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?"
"Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.
Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.
Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini."
"Maaf, Pa." Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"
Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pria itu tersenyum sambil berandai-andai.
Citra dan Atala melotot mendengarnya. Citra jijik membayangkan dirinya akan punya anak dari manusia songong satu ini. Namun, kemudian Atala berusaha menetralkan wajahnya dan menyenggol Citra untuk bersikap netral juga.
"Jadi nanti kalian nggak perlu repot-repot lagi cari rumah. Bener kan yang Papa bilang?" ucap papanya lagi sontak membuyarkan lamunan keduanya.
"Eng-i-iya, Pa," jawab Atala tersenyum terpaksa.
Johan mengangguk. "Oke kalau begitu. Nanti Papa suruh orang buat bawa baju dan barang-barang Citra buat di bawa ke sini. Kamu juga Atala. Biar kalian nggak perlu repot-repot lagi. Kalian nggak usah banyak mikir. Cukup tinggal duduk manis saja di rumah ini. Semuanya Papa yang urus. Enak kan kerja sama dengan Papa asal kalian nurut."
"Iya, Pa," sahut Atala lagi dengan semringah tak surut dari wajahnya. Kontras dengan wajah Citra yang tampak tak senang.
"Kalian di sini harus romantis. Jangan berantem, ya, Atala. Ciptakanlah keluarga yang bahagia. Citra, Eyang-mu di sana pasti bahagia melihat kalian bahagia, jadi akur-akurlah. Kalau ada apa-apa bilang Papa. Papa pulang dulu, ya."
Walau tidak senang, Citra berusaha menghargai usaha papa mertuanya itu. Citra tersenyum dan menyalami tangan orang tua itu. "Makasih, Pa."
"Sama-sama, Nak."
Johan terus berpesan agar mereka menjaga hubungan menjadi pasangan yang harmonis sebelum akhirnya dia keluar dari rumah megah itu.
Mereka mengantar kepulangan Johan sampai pria itu masuk ke mobil. Atala masih mempertahankan senyum dan kemesraannya dengan merangkul bahu Citra, kala papanya menoleh dibalik kaca mobil yang terbuka. Atala mengangkat tangan, berdada ria saat mobil itu perlahan melaju meninggalkan rumah megah mereka.
Ketika mobil itu tak terlihat lagi, Citra spontan mencubit perut laki-laki itu.
Atala sontak meringis kesakitan dan melepas rangkulannya.
Citra menatap penuh kebencian. "Jangan cari-cari kesempatan dalam kesempitan, ya!"
"Idih siapa juga yang cari kesempatan," gumam cowok itu mengusap-usap perutnya yang masih nyilu. "Gue kan cuman ekting di depan Papa. Nggak paham-paham, sih."
"Dengar, ya, gue mau nikah sama lo bukan karena gue suka sama lo!" Citra tak mengindahkan perkataan Atala. "Gue nikah demi Eyang gue dan perjanjian. Ingat perjanjian yang udah kita buat!"
***
"Jangan-jangan cowok itu mau dinikahin sama gue karena supaya dibeliin rumah?" tiba-tiba pikiran buruk tentang Atala menyerang kepala Citra. Terlebih mengingat bagaimana wajah Atala yang tampak semringah tadi karena dibelikan rumah mewah oleh papanya."Dia manfaatin gue? Iya, dia manfaatin gue! Kurang ajar!" Citra menjawab pertanyaannya sendiri. Tangis yang sejak tadi tertahan pun seketika pecah. Merasa amat miris. "Kenapa sih nasib gue begini banget?"Kenapa takdirnya seperti ini?Orang bilang takdir bisa diubah, tapi kenapa dia tidak bisa mengubah takdirnya? Dia bahkan tidak diberi kesempatan untuk mengubahnya sesuai dengan takdir yang dia harapkan. Dia tidak bisa memilih."Ehem!"Suara dehaman yang keras membuyarkan lamunan Citra akan nasibnya. Bahu Citra agak tersentak. Cepat dia menghapus air matanya yang mengalir deras sejak tadi, lalu menutup album foto keluarganya yang dia pandangi sejak tadi. Yang membuatnya semakin rindu dengan momen-momen terdahulu bersama keluarga. Yang me
"Jam segini biasanya gue nongkrong sama teman-teman atau jalan sama Rani," gumam Atala setelah melirik jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh, tujuh malam. Lalu duduk di pinggir ranjang. Bingung harus berbuat apa. Dia tiba-tiba merasa bosan.Atala menatap wajah Cristiano Ronaldo yang menempel di dinding kamarnya yang bercat biru. Ruang kamar itu kini sudah tersedia dan ditata sedemikian rupa. Kamar itu juga lengkap dengan segala perlengkapan yang dia butuhkan termasuk lemari penyimpanan alat musik. Kamar itu sesuai dengan yang diimpikannya. Seperti yang tertera dalam surat perjanjian, Atala dan Citra akan tidur pisah kamar. Maka, Atala meminta dayang-dayangnya--yang sudah papanya persiapkan--alias mbak-mbak yang bekerja di rumah untuk membantu mereka menyiapkan kamar. Jadilah kamar ini.Suara notifikasi ponsel di saku celana menyadarkan lamunannya, dia mengecek ponselnya.From Rani (PPP): Hai, seharian ini kok nggak ngasih kabar? Gimana pernikahannya? Jadi? Sekarang lagi apa?Ata m
Atala mengernyit kala melihat perempuan berambut pendek tengah berkacak pinggang duduk di atas kasur dan marah-marah.Siapa lagi kalau bukan Citra?"Apaan, sih? Pagi-pagi udah teriak aja? Dorong-dorong gue lagi!" kesalnya setelah sadar apa yang terjadi.Citra melotot mendengarnya. "Apaan-apaan? Lo tidur di kamar gue! Apa aja yang udah lo lakuin hah?!"Atala terkejut mendengarnya. Dia memindai seluruh penjuru kamar itu. Iya, kamar itu memang kamar Citra, tapi bagaimana dia bisa masuk ke sini? Dia menatap Citra bingung. "Gu-gue kok bi-bisa ada di sini?""Harusnya gue yang tanya. Kenapa lo bisa masuk ke kamar gue? Lo pasti sengaja kan?! Dasar mesum!" Atala terdiam, mengingat apa yang terjadi tadi malam terakhir kali. Yang dia ingat dia masuk ke kamarnya lagi setelah dari toilet.Ternyata dia masuk ke kamar Citra yang ada di sebelah kamarnya dan kebetulan kamar cewek itu gelap juga. Dia tak habis pikir kenapa dia bisa sampai salah masuk kamar. Dia salah masuk kamar, tapi dia gengsi untuk
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membantu suaminya, membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, Nduk ....”"Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata.Dia benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-jalan membeli buku soal tes masuk perguruan tinggi di M
"Apa, Pa? Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memb
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang putri yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung padahal orang tua itu sudah sekarat. Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya,