"Lo lo pada? Ngapain kalian ngehadang jalan gue, hah?! Kurang kerjaan banget kalian!" sergah Atala begitu kesal.
Rani ikut turun dari mobil. "Mereka siapa, sih, Sayang?" Rani menatap kedua cewek di hadapannya ini dengan pandangan remeh. Penampilan kedua cewek itu jauh berbeda dengannya yang kekinian dan seksi.
"Mereka tukang pembawa masalah ...," jawab Atala sambil menunjuk kedua cewek itu. "Ngapain coba lo berdiri di tengah jalan begitu? Syukur nggak gue tabrak lo."
"Sebelumnya kita minta maaf tiba-tiba ngehadang jalan kalian kayak gini," jelas cewek yang menghadang jalannya tadi. "Tapi itu semua karena gue butuh banget bantuan lo Atala buat benerin ban mobil gue yang pecah." Cewek itu menatap Atala dengan pandangan memohon.
Atala malah menatap cewek itu remeh, lantas kemudian tertawa. "Lo nyuruh gue benerin mobil lo? Lo kira gue kang mon--"
"Bukan. Bukan nyuruh, kok." Cewek itu menggeleng kencang. "Tapi minta tolong, please ..." Cewek itu menangkupkan kedua tangan di depan dada.
Atala lalu mengangguk-angguk, melirik ban mobil cewek itu. Terdiam sejenak, lalu ... "Gue bisa sih benerin ban mobil, tapi ...."
"Tapi apa? Apa aja gue lakuin asal lo mau benerin ban mobil gue. Kita harus cepat, nih. Kasihan Citra, dia harus ke rumah sakit buat jenguk eyangnya yang udah sekarat. Urgent, nih," jelas cewek itu sambil melirik cewek berambut pendek dan berkacamata di sebelahnya.
"Tapi ... guenya nggak mau ...." Atala lantas tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perut seolah kalimat yang dia ucapkan barusan adalah lelucon paling lucu sedunia. Dia memandang kedua cewek itu dengan tatapan mengejek. "Gimana, dong."
"Please, Atala, bantuin gue. Gue nggak tahu lagi mau minta tolong ke siapa. Soalnya ini juga udah malam banget. Nggak ada bengkel yang buka jam segini, kalau pun ada paling jauh, kita nggak bisa ngejangkaunya. Dan gue tadi nekat aja minta tolong sama siapa pun yang lewat, dan gue nggak nyangka kalau orang itu elo, La. Jadi gue mohon bantuin gue, ya. Gue ada kok bawa alat-alatnya, cuman emang gue nggak bisa benerinnya."
"Udah, cukup, Tasya!" Cewek berambut pendek dan berkacamata yang sejak tadi diam tiba-tiba menyahut. Dia geram melihat kelakuan cowok songong itu. Dia lalu berjalan mendekati Atala. "Eh, lo kalau nggak mau nolongin udah pergi sana, tapi nggak usah ngejek-ngejek kita juga! Gue nggak butuh bantuan lo!" Dia menatap tajam Atala.
Tasya terkejut melihat tindakan temannya itu.
Terlebih Rani dan Atala sendiri. "Sembarangan lo ngomong sama pacar gue." Rani angkat bicara, tak terima dengan perilaku cewek berkacamata itu terhadap pacarnya.
Gadis berkacamata itu menatap Rani. "Bilangin ke pacar lo jadi orang jangan kesombongan!"
"Nggak usah nunjuk-nunjuk cewek gue juga, najis!" Atala menepis tangan cewek berkacamata yang telah mengarah ke depan wajah pacarnya.
Plakkk!!!
Tanpa disangka, tangan cewek berkacamata spontan melayang ke pipi Atala hingga kepala cowok itu tertoleh ke samping. Tasya dan Rani terkejut tak menyangka.
"Kenapa lo tampar pacar gue?!" Rani maju dan hendak membalas cewek itu, tapi Atala mencegahnya dengan memegang tangannya.
Rahang Atala mengeras, tangan kirinya tanpa sadar terkepal geram, berusaha meredam emosi.
"Cit, lo ngapain? Lo berlebihan deh," desis Tasya tak habis pikir.
"Biarin aja. Biar manusia kayak dia tahu nggak semua orang bisa dia rendahin begitu."
Atala masih diam sambil memegangi pipinya yang kini terlihat memerah. Bekas tamparan itu masih terasa panas menjalari pipinya.
"Atala, maafin Citra, ya ...," ucap Tasya kemudian.
Citra menoleh ke Tasya tak suka. "Ngapain minta maaf, sih? Jangan bego. Kita kan nggak salah apa-apa."
"Tapi lo udah nampar dia, Cit ...."
Atala lantas berdeham nyaring membuat tiga pasang mata yang ada di sana menatapnya. Dia menatap Citra. "Tadinya gue masih berpikir buat nolongin teman lo atau nggak. Tapi pas liat sikap lo yang begini, gue berubah pikiran."
"Terserah!" Citra tak mau kalah.
"Yah, Cit, tapi kan kita butuh bantuan Atala buat benerin mobil gue. Lo harus ke rumah sakit sekarang dan ini udah malam banget, Cit. Sesekali ngalah demi keadaan yang lebih baik." Tasya tampaknya masih saja mengalah demi keadaan mobilnya. Lalu Tasya menatap Atala. "Atala, tolong benerin mobil gue, ya, please. Maafin Citra ...."
"Nggak semudah itu." Atala menggeleng.
"Please, Atala maafin Citra dan gue bakal lakuin apa aja buat nebus kesalahan Citra dan lo mau benerin ban mobil gue." Tasya terus memohon. Dia menangkupkan kedua tangannya di depan dada dengan wajah penuh harap.
"Tasya, lo malu-maluin gue aja deh ngemis-ngemis gitu. Kita bisa kok cari bantuan lain," tegur Citra.
"Tapi lo liat sendiri kan di sini tuh sepi. Bahkan sekarang nggak ada lagi mobil lain yang lewat selain mereka. Kita harus tahu kondisi, dong. Kita harus ngalah demi kebaikan kita. Emang lo mau terjebak di sini sampai subuh?"
Citra terdiam mendengarnya. Yang Tasya katakan ada benarnya.
Tasya kembali terpaling ke Atala. "Atala, gue tahu dasarnya lo baik, jadi please maafin Citra dan bantuin gue, ya."
Atala menatap Citra dan Tasya bergantian, menimbang-nimbang apakah akan menolong mereka atau tidak?
***
"Alhamdulillah, Atala akhirnya mau nolongin kita. Kan gue bilang juga apa, Atala itu sebenarnya baik orangnya. Buktinya tadi dia masih mau nolongin kita padahal lo udah nampar dia. Bahkan dia nggak minta imbalan apa pun ke gue," ucap Tasya panjang lebar sambil menyetir, melanjutkan perjalanan mereka yang tertunda. Gadis itu masih terkesima dengan kebaikan Atala.
Seandainya Atala tak mau menolongnya, mungkin kini mereka masih terjebak di jalan sepi itu sampai subuh dan Citra tidak ketemu dengan eyangnya yang kini telah menunggu lama di rumah sakit.
Ya, setelah melewati debat yang cukup panjang akhirnya Citra mau mengalah dan Tasya berhasil membujuk Atala untuk membenarkan ban mobilnya. Berbeda dengan Tasya, Citra tidak tersentuh dengan kebaikan cowok itu. Apalagi mengingat sikap cowok itu terakhir kali.
"Liat gue masih mau berbaik hati, ya, nolongin lo dan teman lo walaupun gue habis di tampar. Harusnya lo tuh berterima kasih ke gue, bukannya nampar gue!" Kentara sekali cowok itu tidak tulus.
Tapi waktu itu Citra diam saja karena tak kuasa meladeni. Jika menuruti emosinya, maka perdebatan itu tak akan selesai sampai besok.
Ya, begitulah Citra dan Atala, sejak SMA mereka dikenal sebagai musuh bebuyutan. Semua teman-teman mereka tahu bagaimana hubungan Citra dan Atala, termasuk Tasya.Sikap sombong cowok itu yang membuat Citra tak suka. Dia benci cowok itu, tapi anehnya mereka selalu dipertemukan. Bahkan ketika mereka sudah tak satu sekolah lagi. Contohnya seperti kejadian barusan. Ada saja kejadian yang membuat mereka berinteraksi.
"Tapi lo nggak liat reaksinya tadi, nggak ikhlas banget nolongnya," jawab Citra kemudian.
"Ya, kalau itu sih gue maklum. Wajar kan dia kesal sama lo yang udah nampar dia. Yang penting akhirnya dia mau nolongin kita. Lagian ya gue nggak ngerti sama kalian itu dari dulu nggak pernah akur."
"Gimana mau akur, lo liat tadi sikapnya nggak ikhlas banget nolongin, songong, belagu, ngerendahin orang dan yang paling gue nggak habis pikir, sikapnya dari dulu masih sama aja. Nggak berubah-berubah juga tuh orang. Nggak ada dewasanya sama sekali. Gue heran ada ya cewek yang mau sama dia." Citra geleng-geleng tak habis pikir.
"Ya, adalah Cit ... Atala kan nggak jelek-jelek amat, dan gue tahu sebenarnya dia tuh baik dan yang paling penting dia tajir."
"Tajir numpang harta orang tua?" Sejujurnya Citra muak mendengar Tasya terus memuji Atala sejak tadi.
"Dan gue heran juga sih sebenarnya kenapa kalian berdua nggak pernah akur. Kalian tuh suka gitu besar-besarin hal sepele. Heran banget gue. Padahal sebenarnya kalau gue perhatiin kalian tuh serasi tauk." Tasya senyum-senyum membayangkan sahabatnya itu akur dengan Atala.
Citra terkekeh. "Lucu lo."
"Malah menurut gue lo lebih cocok sama Atala daripada Dimas." Tasya terus saja berkomentar tentang Atala.
Citra mendelik. "Ngawur lo. Banding-bandingin si Talas sama Dimas. Jauh banget perbedaannya kayak langit dan bumi tahu nggak? Dimas itu baik, kalem, ganteng, pintar, sopan. Aduh beda banget deh sama si Talas yang cuman tong kosong nyaring bunyinya."
"Eh, lo nggak ingat, gitu-gitu dia juga punya kelebihan. Dia pintar nyanyi tauk, jago main gitar lagi."
Citra tertawa. "Pintar apaan? Suara pas-pasan gitu. Sakit telinga gue tiap dengar dia nyanyi."
Tasya paham Citra tak senang pacarnya yang sangat sempurna itu dibandingkan dengan Atala, cowok yang jelas-jelas dia benci. Hingga akhirnya gadis itu memilih diam saja.
Tanpa terasa mobil Tasya tiba di pelataran rumah sakit. Jam segini pelataran itu masih ramai akan kendaraan. Entah itu beroda empat atau beroda dua. Mereka berdua buru-buru turun dari mobil dan langsung menuju ruang di mana eyang kakung Citra dirawat.
Namun, begitu membuka pintu ruangan, Citra terkejut. Di ruangan itu tak hanya ada eyang kakung dan eyang putri. Melainkan ada orang lain. Seorang dewasa, dan seorang seusia dirinya. Dua orang yang sebenarnya Citra sudah kenal. Hanya saja Citra bingung kenapa mereka ada di sini juga.
Citra mendekati cowok seusianya itu. "Elo kok bisa ada di sini juga?"
***
Gulir bab selanjutnya Gaes.
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ....""Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-
"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan c
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Sekaligus untuk menghibur Citra yang sedih. Mereka berangkat menggunakan mobil Pajero milik JohanSelama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Perasaannya campur aduk. Sedih atas kepergian eyang kakung, juga sedih melihat eyang kakung meninggal dalam keadaan belum melihatnya sukses. Kesal, dendam, sakit hati juga dengan kakaknya dan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memutar ulang waktu. Dia pasti akan bergerak cepat dan melakukan apa saja agar eyang kakung tak perlu bekerja keras lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Citra tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan kini.Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Atala mencolek lengan Citra membuat gadis itu menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjia
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?""Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini.""Maaf, Pa." Tiba-tiba Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pri
Sore harinya, orang kepercayaan Johan datang bersama mobil khusus yang membawakan barang-barang Citra. Semua barang-barang Citra yang ada di rumah eyang putri dibawa ke mari. Begitu juga barang Atala yang dari rumah papanya.Pak Jono, orang kepercayaan Johan juga membawa beberapa bodyguard untuk mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah. Tak hanya itu, Pak Jono juga sudah menyeleksi para ART yang akan bekerja di sini. Totalnya ada lima orang.Singkat cerita semuanya sudah beres. Rumah mereka yang sudah lengkap dengan perabotan dan bahan makanan itu pun sudah siap huni. Semuanya diurus sama Papa Johan. Citra dan Atala tinggal menikmati."Terima kasih, ya, Pak," ucap Atala di teras saat Pak Jono hendak pamit pulang. "Maaf udah repot-repot." Lelaki belasan tahun itu cengar-cengir."Nggak pa-pa, Mas Atala. Nggak perlu merasa sungkan begitu. Ini juga sudah bagian dari tugas saya. Kalau Mas Atala dan istri ada perlu apa-apa jangan sungkan bilang saya. Ini pesan dari Pak Johan," jelas pria
"Apa-apaan, nih?" Citra melotot menatap lembaran kertas itu. Lalu menatap Atala tak percaya."Kenapa?" tanya Atala bingung."Kenapa isi surat perjanjiannya kayak nguntungin lo doang, ya.""Iya, memangnya kenapa? Lo keberatan?" Atala bersidekap dada. Menatap Citra angkuh karena merasa dirinyalah yang paling berhak menentukan bagaimana isi perjanjian itu."Iyalah, gue nggak setuju.""Nggak bisa gitu. Setuju nggak setuju, lo tetap harus setuju.""Enak aja nggak bisa gitu dong. Ini ngerugiin gue banget." Citra kembali menatap kertas itu."Kayak poin nomor dua, gue harus ngelayanin lo selayaknya istri melayani suami sebagaimana mestinya, tapi nggak boleh tidur bareng, cuman ngelayanin yang lain seperti memberi perhatian, mengingatkan makan, menyucikan pakaian, bersih-bersih rumah ...." Citra membaca seluruh tugasnya secara singkat. Lalu menatap Atala sengit. "Eh, lo pikir gue babu lo. Itu babu lo udah banyak, ya, terus mereka ngapain kalau ngurusin semuanya harus gue.""Bukannya emang itu y
Beberapa hari yang lalu. Hari itu pada acara grand opening Senja Cafe Atala. Johan terlihat asyik mengobrol bersama koleganya yang juga datang di acara itu sambil menikmati kopi Senja Cafe. Namun, tiba-tiba sebuah pesawat kertas menghampiri dan jatuh tepat di bahunya membuatnya menoleh. Pesawat kertas itu kemudian jatuh ke lantai. Belum sempat dia mencerna apa yang terjadi, seorang gadis kecil berlari menghampiri, memungut pesawat kertas itu. "Eh, Nuri ... hati-hati, dong, mainnya ...." Seorang wanita datang menghampiri dan menegurnya. "Kena opa, tuh. Minta maaf dulu sama Opa." Gadis kecil itu menatap Johan yang tengah duduk di kursinya sambil memegangi pesawat kertasnya. "Opa, maaf, ya." Alih-alih marah, Johan tersenyum melihat gadis kecil itu. "Its okay." Dia kenal gadis kecil bernama Nuri itu. Anak itu adalah anak Shinta, kakaknya Citra. Jadi Nuri itu keponakannya Citra juga. Gadis kecil itu lalu tersenyum malu-malu. "Maaf, ya, Pak." Sang ibu terlihat tak nyaman. "Ngga
Sebelum menemui papa, Citra kembali masuk ke kamar untuk memberitahu suaminya. "Atala, ada Papa di luar." Atala yang masih berbaring santai di atas kasur menanggapi dengan santai. "Temuin, dong." "Menurut kamu kenapa Papa datang ke sini? Mendadak lagi." Bukannya langsung menemui papa, Citra malah bertanya. Atala pun bangun dari pembaringannya. "Emangnya Papa nggak boleh datang ke rumah kita?" "Bukan gitu. Tadi Bi Rahma bilang wajah Papa kayak tegang gitu, kayak marah. Aku takut kalau Eyang udah ngadu sama Papa tentang--" "Kamu temuin Papa aja belum udah mikir ke mana-mana," potong Atala yang membuat Citra langsung terdiam. Wajah Atala begitu terlihat tak suka. Citra merasa dia sudah salah bicara. "Maksud aku tuh ...." Atala lalu berdiri, berjalan keluar kamar. "Biar aku aja yang temui Papa." Citra menghela napas. Gadis mengenakan daster itu memutuskan mengikuti suaminya, menemui papa juga. Waktu Citra keluar, dia mendengar percakapan papa mertua dan suaminya itu s
"Atala, kita nggak bisa diam aja. Kita harus cari cara gimana caranya biar Eyang percaya lagi. Aku nggak bisa kaya gini. Aku nggak mau Eyang marah sama aku!" Citra menggeleng. Perasaannya cemas luar biasa. Ingin rasanya dia melakukan apa pun, tapi saat ini dia benar-benar buntu, tak ada ide lagi untuk membujuk eyang. Wajah eyang putri yang kecewa bahkan masih terbayang-bayang di benaknya.Berhari-hari mereka memikirkan solusi masalah itu bagaimana caranya agar eyang percaya sama mereka. Atala dan Citra bahkan juga sudah menelepon eyang putri, tapi eyang tak merespons.Atala yang kini bersandar di kepala kasurnya malah tersenyum miring, terlihat santai saja. "Aku tahu gimana caranya."Mendengar itu, Citra menatap suaminya ingin tahu. "Gimana?""Kita harus buktiin ke Eyang kalau kita udah tidur bareng. Kamu harus cepat-cepat hamil. Kita harus rajin-rajin." Atala mengangkat kedua alisnya."Rajin-rajin apa?" Citra tak mengerti. "Atala yang serius, dong.""Rajin-rajin itu masak nggak ngert
Pasca malam pertama itu, hubungan Atala dan Citra semakin harmonis saja. Mereka bahkan melakukan hubungan suami-istri nyaris setiap hari, bahkan mereka juga melakukannya di siang hari saat keduanya tidak ada kesibukan. Hal itu membuat Citra jadi sering menghabiskan waktu di kamar Atala. Bi Rahma seringkali mendapati Citra keluar dari kamar Atala. Citra tahu mungkin ART-nya itu berpikir yang aneh-aneh tentangnya. Meskipun begitu Citra tetap tak mau mereka tahu bahwa dia dan Atala sudah melakukan malam pertama.Karenanya hari itu semua pakaian yang kotor akibat malam pertama itu seperti selimut yang telah dia jadikan handuk, atau seprai yang terkena noda darah dan juga piyamanya dia cuci sendiri menggunakan tangan. Dia mencucinya di kamar mandi Atala. Dia tak mau membawa pakaian kotor itu keluar, tak ingin menimbulkan kecurigaan. Karena dia tahu, para ART-nya itu tak akan membiarkannya mencuci sendiri.Ketika tugasnya mencuci sudah selesai, dia meminta Atala untuk menjemurnya di tempa
Suara burung yang merdu terdengar nyaring, menembus ruang kamar Atala yang kedap. Cicit burung yang terdengar samar membuat Citra membuka matanya perlahan.Yang pertama kali dia lihat adalah plafon kamar yang amat dia kenali. Gadis itu lalu mengerjap-ngerjap dan melirik tubuhnya yang berbungkus selimut. Tangan kekar yang amat dia kenali menindih tubuhnya. Citra membelalak dan spontan menoleh ke samping. Awalnya lagi-lagi dia terkejut. Tapi dia terdiam sebentar, berpikir, sebelum akhirnya sadar apa yang terjadi, apa yang dia lakukan tadi malam. Mengingat kejadian itu, Citra tersenyum malu. Dia sampai menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ternyata begini rasanya bercinta. Citra melirik jam yang sudah menunjukkan pukul enam. Lantas dia mengusap tangan suaminya di atas perutnya. "Sayang, bangun udah pagi," bisiknya.Bukannya bangun, Atala hanya bergumam dan semakin mempererat pelukannya di tubuh istrinya.Citra tersenyum. "Serius masih mau tidur?""Hmm." Atala bergumam tidak
"Aku mau bilang sama kamu kalau aku ... bahagia banget hari ini." Citra tersenyum mengungkapkan isi hatinya pada suaminya itu. Gadis itu berbicara menghadap jendela, menatap gorden. Dan Atala di belakangnya, memandangnya dengan heran. Namun, ketika Atala sudah mendengar ungkapan dari istrinya itu, Atala pun mengerti dan tersenyum. "Bahagia kenapa memangnya?" tanyanya kemudian. Citra spontan berbalik, mendapati Atala sudah mengenakan baju kaos putih dan celana pendek. Gadis itu lalu berjalan mendekati suaminya. Berhenti ketika jarak tubuh mereka hanya beberapa senti. "Ya, bahagia karena kamu udah wujudin mimpi-mimpi aku." "Mimpi bangun kafe?" "Selain itu kamu juga menghargai aku. Kamu baik banget sama aku." Citra masih tersenyum. "Hmm ...." Atala mengangguk-angguk. "Jadi ke kamar aku cuman mau bilang itu? Kayak penting banget." "Itu penting buat aku. Dan karena kamu udah baik banget sama aku ...." Citra lalu mengelus dada bidang Atala yang berbungkus kaos tipis, hingga b
Malam harinya pasca grand opening itu. Di kamarnya, Citra merenung sambil duduk di pinggir kasur. Dia mengingat kejadian-kejadian hari ini. Dan bagaimana kejadian-kejadian di acara grand opening tadi. Bagaimana Atala memperlakukannya dengan baik dan istimewa di depan orang-orang. Atala juga sangat menghargainya. Terlebih papa mertuanya itu. Percakapannya dengan sang papa mertua pun kembali terngiang. "Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala. Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." "Atala mau berubah pun karena kamu, Citra. Karena dia merasa sudah memiliki istri. Dan apa pun itu Papa percaya semua ada andil kamu di belakangnya, termasuk kesuksesan Atala kelak." "Kamu tahu ada kata-kata terdahulu yang mengatakan 'Di balik kesuksesan seorang pria, ada wanita yang hebat' kamu percaya? Kalau Papa sangat percaya." "Papa titip Atala sama kamu, ya, Citra. Terima kasih jika kamu mau menerima anak Papa yang masih punya banyak kekurangan. Ka
"Jujur Papa senang dan bangga sekali melihat perubahan dalam sikap Atala." Papa Johan memulai bicaranya saat dia duduk di kursi yang ada di ruang kerja Citra. Menatap Citra yang masih duduk di kursi kerjanya. Citra tersenyum. "Iya, Pa. Alhamdulillah Atala udah ada perkembangan sekarang." "Dan itu pasti karena jasamu. Papa tahu itu." Johan tersenyum. Citra terdiam. Dia merasa tidak melakukan apa pun. Tapi dia ingat ucapan papa dulu yang pernah mempercayainya kalau dia bisa mengubah perilaku Atala. "Tapi kamu harus percaya, Citra. Atala nggak seburuk yang kamu pikirkan. Atala jadi begitu gara-gara Papa. Papa nggak bisa jadi orang tua tunggal untuknya. Atala hanya butuh sosok perempuan yang lembut yang bisa mendidiknya. Dan dia sudah kehilangan sosok itu semenjak ibunya meninggal. Makanya Papa menikahkan dia dengan kamu. Papa berharap kamu bisa mengubahnya, mendidiknya layaknya ibu mendidik anaknya." "Tapi, Pa, aku juga nggak yakin aku bisa melakukannya." "Papa yakin kamu
Sejak malam di mana Citra mendapati dirinya dipeluk Atala untuk pertama kali, terlewati. Hari-hari terus berlalu. Sepasang pengantin baru itu semakin harmonis saja. Citra tak dapat menghindar atas perlakuan manis Atala terhadapnya. Atala memperlakukannya dengan begitu manis. Dan itu membuat perasaan Citra membesar kian hari. Meski Citra belum mengizinkan Atala untuk menyentuhnya. Atala pun semangat menjalani hari-harinya, walau kadang terasa berat dan melelahkan. Karena setiap dia mengeluh karena lelah, ada Citra yang selalu menyemangatinya, memberinya wejangan, dan kata-kata mutiara yang memotivasi, tidak lupa Citra juga memberinya ciuman tiap kali Atala mengeluh, sesuatu yang paling Atala sukai dari semua yang telah Citra beri. Mereka menjalani rutinitas bersama. Proses membangun kafe bersama pun pelan-pelan terwujud. Kafe Citra dan Atala telah resmi berdiri. Sudah lengkap dengan alat dan bahan kopi, serta beberapa karyawan yang siap bekerja. Citra bahkan juga merekrut seseo