"Gimana kalau gue yang pilihin lo cewek buat ditidurin?"
Pria berperawakan kebapakan itu melirik pemuda yang duduk di sampingnya. Menaik-naikkan kedua alisnya. Begitu percaya diri kalau pemuda itu pasti akan menerima tawarannya. Suaranya terdengar tenggelam-timbul karena ditelan ribut suara musik yang mengentak sejak tadi, mengiringi para pengunjung yang berjoget ria.
Lawan bicara pria itu hanya tersenyum miring selepas dari bersiul-siul kecil, menggoda cewek seksi yang lewat di hadapannya barusan, lalu mendelik ke arah pria itu. "Tapi gue nggak separah itu," jawabnya kemudian. "Kalau lo mau silakan aja. Jangan ajak-ajak gue." Lantas tatapannya terfokus pada cewek yang berjoget di dance floor di depan sana, hanya mengenakan tengtop dan celana dalam. Sungguh pemandangan yang menyegarkan mata.
"Nggak ada salahnya kan mencoba hal-hal baru?" Pria itu lalu mengisap rokok yang sudah mengecil. Pria itu tidak tersinggung dengan perkataan lawan bicaranya barusan dan masih berusaha mempengaruhi.
Barusan dia bertanya pada pemuda itu apakah tertarik untuk meniduri cewek-cewek yang digodanya itu. Namun, pemuda itu tidak tertarik, hingga pria itu bertanya demikian.
Pemuda bernama Atala Putra Sudiharto itu diam saja, rahangnya mengeras menahan amarah. Saat dia melempar pandang ke kiri, dilihatnya perempuan cantik yang mengenakan dress ketat merah tanpa lengan mendekat ke arahnya.
Atala lalu menatap Galang, nama pria yang sejak tadi bicara padanya. "Ada Rani, jangan ngomong macam-macam yang buat dia cemburu."
Galang malah tertawa santai memukul pelan bahu Atala. "Serius amat lo." Lalu menenggak minuman beralkoholnya yang tinggal setengah.
"Lama nggak nunggunya, Sayang?" tanya Rani seraya duduk di sebelah Atala. Gadis itu baru balik dari toilet.
Atala tersenyum. "Nggak kok, Sayang."
Atala dan Rani memang sepasang kekasih yang senang bermain di club malam. Namun, kali ini mereka tidak minum. Rani lebih suka menikmati aneka minuman buah yang tersedia di sana. Kecuali jika dia sedang frustrasi dengan masalah hidupnya. Sedangkan Atala senang bermain kemari karena di sini ada banyak cewek cantik dan seksi, dia senang melihatnya, sebagai vitamin A untuk matanya. Di club malam ini pula mereka bertemu.
"Gimana, Sayang, udah mau pulang sekarang?" tanya Atala memperhatikan pacarnya. Dia memang ingin segera pulang untuk menghindari Galang. Waktu mereka datang ke mari, mereka tak sengaja bertemu Galang yang juga senang menghabiskan waktu di sana. "Aku udah bayar semua pesanan kamu." Dia lalu merangkul bahu gadis itu dan menciumi pipinya singkat, sengaja memamerkan kemesraan di depan Galang.
Sang gadis tersenyum malu. "Boleh, yuk."
Atala pamit pada Galang. "Gue pulang dulu, ya, Bro. Makasih udah nemenin ngobrol tadi."
"Oke." Galang hanya mengangkat jempolnya.
Kedua sejoli itu keluar club sambil bergandengan tangan.
Atala bernapas lega saat dia membukakan gadisnya pintu mobil, berhasil menghindari pria yang bernama Galang itu. Jujur, dia tidak suka dengan pria itu, entah kenapa dia merasa pria itu selalu berusaha mempengaruhi hal-hal buruk padanya, bahkan sejak pertama kali mereka berkenalan. Atala bahkan tidak menyangka bertemu pria itu juga di sana.
***
"Sayang, abis ini kita ke Mall, yah," pinta Rani kala mereka sudah berada di mobil menuju perjalanan pulang.
Atala menoleh heran. "Loh bukannya tadi mau langsung pulang aja, Sayang? Lagian kan ini udah malam. Besok aja ke Mall nya."
Rani cemberut. "Besok aku takut nggak ada waktu, Sayang. Lagian kan ini baru jam dua belas lewat kok, Mall nya juga masih buka. Belum malam-malam banget, lah. Aku mau kamu beliin tas yang aku taksir kemarin itu lhoo ...."
Atala menghela napas. "Iya, deh, Sayang."
Lelaki itu sebenarnya merasa aneh. Tiap kali berdua dengannya, tiap kali berhubungan dengannya, pembahasan Rani tak jauh-jauh dari belanja, barang-barang branded, minta beli ini dan itu. Kadang kala Atala merasa Rani memacarinya karena harta, bukan cinta.
Tapi sebenarnya pun dia tak masalah, toh dia mampu.
Tiba-tiba ponsel Atala di atas dashboard berbunyi nyaring. Dengan malas-malasan lelaki itu meraihnya. "Siapa sih nelepon jam segini." Tak pernah ada yang berani mengganggunya malam-malam begini, sekalipun itu sahabatnya, kecuali ....
Lelaki itu membelalak kala melihat kata 'Papa' terpampang di layar ponsel.
Jempolnya pun mengusap layar ponsel lalu menempelkan benda pipih itu di telinga. "Iya, Pa, ada apa?" tanyanya lebih dulu sambil fokus menyetir.
Rani menoleh mendengarnya.
Atala mengernyit. "Apa, Pa? Ke rumah sakit? Harus malam ini juga, Pa?"
Jeda sejenak.
Atala menghela napas. "Iya, deh, Pa. Aku ke sana sekarang."
Atala kembali meletakkan ponselnya ke tempat semula lalu menoleh pada Rani. Bersamaan dengan gadis itu yang memutar bola matanya malas. Dia sudah tahu apa yang akan pacarnya itu katakan.
"Sayang, maaf malam ini kita nggak bisa ke Mall, deh. Papa aku nyuruh aku ke rumah sakit sekarang juga."
"Ngapain sih ke rumah sakit? Emang siapa yang sakit?" tanya Rani tak suka.
"Nggak tahu. Tadi Papa cuman bilang mau ngomong masalah keluarga, penting banget."
"Jadi kamu mau ke rumah sakit sekarang dan batalin rencana kita?"
"Iyalah, Sayang. Ini penting banget. Papa nanti marah sama aku kalau aku nggak ikutin apa kata dia."
Rani hanya memutar bola matanya malas, lagi dan lagi. 'dasar bocah ingusan, anak manja' batinnya. Rani memang lebih dewasa dari Atala, usia gadis itu empat tahun lebih tua dari lelaki itu.
"Kamu nggak keberatan kan, Sayang, kalau kita batal ke Mall nya?" tanya Atala lagi membuyarkan lamunan Rani.
Rani memaksakan senyum palsu. Dia harus bersabar. "Enggak, kok. Iya aku tahu Papa kamu lebih penting dari apa pun." Rani tahu selama ini Atala membiayainya dari uang papanya juga. Karena lelaki itu kini hanyalah seorang anak yang baru lulus SMA dan pengangguran. Rani hanya takut kalau Atala sampai membuat papanya marah, nanti papanya tidak akan kasih uang yang banyak lagi buat Atala. Hal itu pasti juga berimbas pada dirinya nanti. Maka, dengan terpaksa Rani mengizinkan.
"Oke, aku sayang kamu." Atala mengusap puncak kepala Rani.
Ponsel Rani yang sejak tadi digenggamannya terlepas di bawah kaki Atala. Gadis itu menjerit tertahan. "Sayang ambilin handphone aku."
Sambil tetap menyetir, Atala agak membungkuk, tangannya mencoba meraba-raba di sekitar kakinya. Ponsel itu tak kunjung ketemu juga. Sampai Atala mencoba menunduk untuk melihat keberadaan ponsel itu. Namun tiba-tiba ...
"Awas, Sayang!"
Tubuh Atala pun menegak. Seorang perempuan tampak mencegatnya di depan sana. Dia nyaris menabrak orang itu seandainya dia tidak cepat memijak rem. Mobil itu pun berhenti tepat di depan perempuan itu seiring dengan jantung Atala berdebar kencang.
"Sial, mau cari mati apa ya tuh orang!" kesal Atala yang lantas turun dari mobilnya. "Hei, lo mau cari mati, ya?!"
Dan Atala lebih terkejut saat mengenali siapa orang itu. "Elo?"
***
Selamat datang di cerita baru aku, Gaes. Gimana menurut kalian bab pertamanya? Menarik nggak? Penasaran nggak sama kelanjutannya? Baca terus bab selanjutnya ya, Gaes. Terima kasih. Jangan lupa kasih bintang lima dan ulasannya ya.
"Lo lo pada? Ngapain kalian ngehadang jalan gue, hah?! Kurang kerjaan banget kalian!" sergah Atala begitu kesal.Rani ikut turun dari mobil. "Mereka siapa, sih, Sayang?" Rani menatap kedua cewek di hadapannya ini dengan pandangan remeh. Penampilan kedua cewek itu jauh berbeda dengannya yang kekinian dan seksi."Mereka tukang pembawa masalah ...," jawab Atala sambil menunjuk kedua cewek itu. "Ngapain coba lo berdiri di tengah jalan begitu? Syukur nggak gue tabrak lo.""Sebelumnya kita minta maaf tiba-tiba ngehadang jalan kalian kayak gini," jelas cewek yang menghadang jalannya tadi. "Tapi itu semua karena gue butuh banget bantuan lo Atala buat benerin ban mobil gue yang pecah." Cewek itu menatap Atala dengan pandangan memohon.Atala malah menatap cewek itu remeh, lantas kemudian tertawa. "Lo nyuruh gue benerin mobil lo? Lo kira gue kang mon--""Bukan. Bukan nyuruh, kok." Cewek itu menggeleng kencang. "Tapi minta tolong, please ..." Cewek itu menangkupkan kedua tangan di depan dada.Atal
"Jadi Eyang minta aku nikah sama dia?" Citra menatap eyang kakungnya tak percaya.Pria tua renta yang terbaring sekarat di atas ranjang rumah sakit itu menganggukkan kepala lemah. Dengan susah payah dia berucap. "Eyang u-udah ndak la-ma la-gi. Eyang ....""Citra ...." Eyang Putri tiba-tiba angkat bicara membuat Citra beralih menatapnya. "Selama ini kamu tinggal sama Eyang Putri dan Eyang Kakung saja. Orang tuamu udah ndak ada. Dua kakakmu juga sudah pada menikah. Tinggal kamu yang belum. Sedangkan sekarang kamu liat sendiri kondisi Eyang Kakung. Umurnya udah ndak lama lagi. Jadi kami mau kamu segera menikah, supaya ada yang menghidupimu, Nduk ....""Tapi kan Eyang Putri dan Eyang Kakung tahu aku tahun ini mau masuk kedokteran. Aku mau capai cita-citaku dulu. Umurku juga baru sembilan belas tahun, Eyang. Aku nggak mau nikah muda, apalagi sama dia! Aku--" Citra kehabisan kata-kata. Tenggorokannya tiba-tiba terasa tercekat.Citra benar-benar tidak menyangka, dia yang tadinya sibuk jalan-
"Papa mau jodohin aku sama perempuan pilihan Papa?"Atala terkejut mendengar penuturan papanya. Sebelumnya, papanya memanggilnya ke ruang kerja karena ada hal penting yang ingin dibahas. Ternyata papanya memintanya menikah.Dan tak hanya itu, yang membuat Atala lebih terkejut adalah papanya ingin menikahinya dengan Citra, cewek yang tidak pernah menyukainya sekaligus anak mendiang sahabat papanya dulu."Iya, kenapa? Kamu mau bantah?" tanya Johan yang duduk di kursi kerjanya sejak tadi.Atala tertawa culas. "Papa nggak salah? Umurku masih sembilan belas tahun lho, Pa. Aku belum siap nikah. Aku masih pengin senang-senang, Pa. Lagian ini bukan zamannya Siti Nurbaya lagi, Pa. Astaga." Atala kehilangan kata-kata."Dengerin Papa selesai ngomong!" sergah Johan.Atala terdiam."Duduk!" Johan menunjuk kursi di depannya.Atala pun duduk dengan malas-malasan."Kamu itu satu-satunya anak Papa, Atala. Tapi kamu sama sekali nggak pernah buat Papa bangga. Selama masa sekolah, kamu hanya memberi Papa
Atala dan Citra akhirnya sepakat membuat perjanjian. Walau usaha Atala untuk membujuk Citra menyetujui perjanjiannya itu tidaklah mudah karena Citra terus menolak. Bersamaan dengan itu Johan keluar menemui mereka dan mendesak Citra untuk menerima perjodohan tersebut mengingat kondisi eyang kakung yang semakin memprihatinkan.Selain itu, eyang putri bahkan mengatakan Citra kejam dan egois jika tak mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung.Eyang putri mengatakan Citra harus mau menuruti keinginan terakhir eyang kakung agar beliau tenang dan bahagia. Setelah menimbang-nimbang, Citra pun terpaksa menerima perjodohan itu.Pernikahan itu pun dilaksanakan dengan sangat sederhana dalam ruang rawat inap eyang kakung di waktu subuh. Di sana hanya ada beberapa orang yang terdiri dari Pak Penghulu yang akan menikahi mereka. Ada Johan, eyang kakung dan eyang putri sebagai saksi.Citra dan Atala duduk berdampingan. Mereka hanya memakai baju biasa yang mereka kenakan sebelumnya, yakni kaos dan c
Pagi harinya, pukul tujuh. Prosesi eyang kakung di lakukan di TPU Umum Jakarta. Sanak keluarga berdatangan melayat dengan pakaian serba hitam. Mereka adalah keluarga dekat yang sedarah, tetangga, dan teman baik eyang kakung semasa hidup. Proses pemakaman eyang kakung berjalan lancar, tidak terkendala apa pun sampai jasadnya di masukkan ke liang kubur.Dan tangis Citra pecah seketika seiring dengan jasad eyang kakung yang ditimbus tanah sedikit demi sedikit. "Eyang, kenapa pergi secepat ini, Eyang. Maafin Citra belum bisa jadi cucu yang berguna buat Eyang Kakung, belum bisa bahagiakan Eyang Kakung. Maafin Citra, Eyang ...." Citra menatap liang kubur eyang kakung penuh penyesalan. Ada banyak hal yang dia sesalkan. Seandainya dia bisa memutar waktu."Sudah, Citra, jangan menangis berlebihan. Ikhlaskan Eyang Kakung," hibur eyang putri yang sejak tadi berdiri di sisi cucunya itu sambil mengusap-usap bahu gadis itu. "Dengan kamu mau menikahi Atala itu sudah cukup membuat Eyang Kakung bahag
Setelah prosesi pemakaman eyang kakung selesai, Citra dan Atala langsung dibawa oleh Johan mengunjungi sebuah rumah. Johan tidak mau langsung memberitahu mereka akan diajak ke rumah siapa, biar kejutan. Sekaligus untuk menghibur Citra yang sedih. Mereka berangkat menggunakan mobil Pajero milik JohanSelama dalam perjalanan, pikiran Citra tak menentu. Perasaannya campur aduk. Sedih atas kepergian eyang kakung, juga sedih melihat eyang kakung meninggal dalam keadaan belum melihatnya sukses. Kesal, dendam, sakit hati juga dengan kakaknya dan dirinya sendiri. Ingin rasanya dia memutar ulang waktu. Dia pasti akan bergerak cepat dan melakukan apa saja agar eyang kakung tak perlu bekerja keras lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Citra tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan kini.Ketika bapak mertuanya bertanya tentangnya, Citra hanya menjawab sekenanya.Atala mencolek lengan Citra membuat gadis itu menoleh padanya. "Nggak usah ditunjukin juga kalau lo nggak suka sama gue. Ingat perjanjia
"Jadi Papa ajak kami ke sini? Ke rumah kami? Ini yang Papa maksud kejutan?" Atala bertanya bertubi-tubi. Dalam hatinya senang menerima rumah semewah ini. Rumah ini pasti atas namanya sebagai pemiliknya. "Kapan Papa nyiapin rumah ini, Pa? Kok aku nggak tahu?""Iya. Ini suprise buat kalian. Rumah ini udah Papa siapkan jauh-jauh hari dan akan Papa berikan kalau kamu mau menerima syaratnya." Johan tersenyum.Atala tersenyum senang, sementara Citra diam seribu bahasa.Johan kembali mengedar pandang ke rumah yang luas itu. Dia menghela napas. "Jadi mulai sekarang kalian berdua tinggal di sini.""Maaf, Pa." Tiba-tiba Citra menyahut. "Tapi apa ini nggak terlalu berlebihan? Kita kan cuman berdua? Apa nggak ada rumah lebih kecil dari ini?"Johan malah tertawa membuat Citra berkernyit bingung. "Kalian kan nggak mungkin selamanya berdua saja, dong. Kalian nanti pasti punya anak kan? Papa mau cucu yang banyak dari kalian. Jadi rumah sebesar ini pasti cukup menampung cucu Papa yang ramai nanti." Pri
Sore harinya, orang kepercayaan Johan datang bersama mobil khusus yang membawakan barang-barang Citra. Semua barang-barang Citra yang ada di rumah eyang putri dibawa ke mari. Begitu juga barang Atala yang dari rumah papanya.Pak Jono, orang kepercayaan Johan juga membawa beberapa bodyguard untuk mengangkut barang-barang itu ke dalam rumah. Tak hanya itu, Pak Jono juga sudah menyeleksi para ART yang akan bekerja di sini. Totalnya ada lima orang.Singkat cerita semuanya sudah beres. Rumah mereka yang sudah lengkap dengan perabotan dan bahan makanan itu pun sudah siap huni. Semuanya diurus sama Papa Johan. Citra dan Atala tinggal menikmati."Terima kasih, ya, Pak," ucap Atala di teras saat Pak Jono hendak pamit pulang. "Maaf udah repot-repot." Lelaki belasan tahun itu cengar-cengir."Nggak pa-pa, Mas Atala. Nggak perlu merasa sungkan begitu. Ini juga sudah bagian dari tugas saya. Kalau Mas Atala dan istri ada perlu apa-apa jangan sungkan bilang saya. Ini pesan dari Pak Johan," jelas pria
"Aku ... aku punya kabar duka, Eyang," ucap Citra pada eyang ditelepon setelah eyang bertanya ada apa."Kabar duka apa, Nduk?" Suara Eyang terdengar cemas. "Aku ... keguguran, Eyang." Air mata Citra sontak menetes bersamaan dengan dia mengucapkan kalimat itu. Masih sedih saja hatinya mengingat ketiadaan bayinya padahal kemarin bayinya masih ada dalam kandungannya. Dadanya juga terasa sesak. "Bayiku udah nggak ada.""Ya Allah Gusti ...." Suara Eyang terdengar sedih. Dan sepertinya eyang putri menangis di seberang sana. "Ini semua ...." Citra berhenti ketika hendak mengucapkan kata-kata 'ini semua salahku, aku nggak becus jaga kandungan, aku nggak bisa jadi ibu yang baik'.Dia berhenti mengucapkannya karena ingat pesan Atala yang mengatakan seharusnya dia tak boleh menyalahi diri. "Apa, Nduk?""Enggak, Eyang. Mungkin ini semua udah takdir Allah, ya, Eyang. Eyang jangan sedih, ya. Nanti aku pasti bisa hamil lagi, kok." Citra tersenyum. Sejatinya dia tengah menghibur dirinya sendiri."
Dua hari berlalu. Citra masih memikirkan kandungannya yang keguguran. Meski Atala berkali-kali mengatakan sebaiknya dia tak perlu menyalahkan dirinya. Tetap saja, Citra merasa bersalah karena kenyataannya memang begitu. Karena dia sadar jauh dalam lubuk hatinya paling dalam, dia belum siap menjadi ibu, dan Atala tak tahu itu. Tak ada yang tahu isi hatinya selain dirinya dan Tuhan. Seketika kenangan dan kejadian lalu itu pun teringat lagi. Dia ingat bagaimana selama ini dia tak begitu menginginkan bayi itu. Percakapannya dengan Bi Rahma waktu pertama kali dia tahu dia hamil pun terngiang. "Aku nggak mau hamil, Bi ...." "Kenapa Non jadi sedih? Harusnya Non bahagia kan? Kan Non sudah menikah dengan Tuan Atala. Memang sudah seharusnya Non hamil." "Tapi, Bi .... Aku belum siap. Aku belum siap mengurus anak, aku takut ...." "Non jangan pesimis begitu .... Ingat, ya, apa pun yang Allah kehendaki itulah yang terbaik. Non ingat kan dulu Non sendiri juga ndak mau menikah dengan Tuan Atala.
Sejak dalam perjalanan hingga sampai ke rumah, Citra hanya berdiam diri. Bahkan dia tak menyahut ketika Bi Rahma menegurnya. Bi Rahma mengalihkan pandang pada Atala yang hanya dibalas gelengan kepala. Atala membiarkan Citra masuk ke kamar. Lantas dia bicara pada Bi Rahma."Ada apa, Tuan? Kenapa Non Citra begitu sedih? Kandungannya baik-baik saja, kan?" Meski sudah tahu apa yang mungkin terjadi, Bi Rahma masih berharap yang baik-baik.Atala terdiam lama sebelum akhirnya menjawab. "Citra keguguran, Bi." Dia berterus-terang. Wajahnya tertunduk lesu. Membayangkan bagaimana dia mengatakan berita buruk ini pada keluarga yang lain, terutama papa. "Ke-keguguran, Tuan?" Bi Rahma tampak tak percaya. Atala diam saja. Dan itu cukup menjelaskan."Ya Allah ...." Bi Rahma sampai menutup mulutnya. "Kasihan Non Citra." Art itu bisa langsung membayangkan bagaimana perasaan Citra saat ini. "Non Citra sekarang pasti sedih sekali. Pantas saja tadi banyak diam.""Iya, Bi. Bi aku ke kamar dulu, ya, temeni
Mendengar itu, Atala spontan menoleh. Wajah lelaki itu langsung berubah melihat istrinya kesakitan sambil memegangi perut."Citra!" Dia pun berlari mendatangi istrinya itu. "Perut kamu kenapa?" tanyanya saat memegangi tubuh istrinya. Rasa kesal tadi sontak menguap entah kemana bergantikan rasa khawatir luar biasa."Perut aku sakit banget." Citra merintih. "Kita ke rumah sakit sekarang, ya?"Atala langsung membopong istrinya turun ke bawah dengan tergesa. Sebelum pergi, dia meneriaki Bi Rahma untuk memberitahu kalau dia dan Citra akan pergi ke rumah sakit.Meski sempat khawatir melihat keadaan majikannya itu, Bi Rahma menurut. "Ya Allah semoga Non Citra ndak kenapa-kenapa. Semoga kandungannya baik-baik saja," doa sang art itu dengan tulus.***Atala mondar-mandir dengan gelisah di depan ruang kebidanan. Di balik rasa khawatirnya terhadap kandungan istrinya, dia masih berharap dan berdoa kalau kandungan isrinya yang baru seumur jagung itu baik-baik saja. Begitu pintu ruang itu terbuka
"Sayang, hari ini kita jalan-jalan, yuk!" ajak Citra kala dia mendapati suaminya sedang termenung di balkon lantai atas. Tapi suaminya itu hanya berdiam diri, tak bereaksi sedikit pun setelah mendengar suaranya. Seolah dia sudah bisa menebak hal itu.Citra sudah menduga semua ini. Hal yang dia takutkan akhirnya terjadi. Atala marah karena mengetahui Dimas masih meneleponnya. Begitu melihat siapa yang meneleponnya, Citra langsung bergegas ke atas menyusuli suaminya, berusaha untuk mencairkan suasana. Dia mencari suaminya itu ke sana kemari. Namun, ternyata suaminya di sini. Dan suaminya itu tak bergeming sedikitpun mendengar suaranya. Dia benar-benar marah.Tapi Citra tentu saja tak menyerah. Wanita itu menghela napas, berjalan mendekati suaminya. Mencoba memberanikan diri memeluk pinggang suaminya. Dan kali ini, Atala tak melepasnya, tapi tak juga membalas pelukannya. Citra pun melepas pelukannya. "Kamu marah, ya, sama aku? Kenapa?" Dia mulai bertanya.Citra tak ingin masalah ini be
Hari-hari terus berlalu, kehidupan Citra dan Atala berjalan bahagia seperti biasanya. Meski kadang kala Atala merasa beban yang ditanggungnya terasa berat, dia tetap kuat. Karena dia bersama Citra. Kebahagiaan Citra adalah kebahagiaannya juga. Maka dia akan berusaha melakukan apa pun untuk kebahagiaan istrinya itu.Hari itu hari Minggu. Atala tentu saja tak ke kampus. Dan dia punya banyak waktu luang untuk istrinya. Sebenarnya Atala bisa mengajak Citra jalan-jalan. Namun, mengingat istrinya yang hamil dan harus lebih menjaga kandungan, mereka memilih diam di rumah saja. Lagipula bagi seorang Atala tak masalah dia diam di rumah, asal bersama sang istri tercinta.Citra sedang mandi di toilet yang ada di kamarnya saat Atala hanya rebahan di kasurnya.Pria itu nyaris jatuh tertidur ketika dia mendengar bunyi dering ponsel khas milik istrinya.Atala pun seketika terjaga. "Sayang, ponsel kamu bunyi tuh? Angkat, dong," racaunya setengah sadar. Hening, tak ada sahutan dari Citra. Dan ponsel
Sejak hari itu, Citra jadi lebih kalem. Dia lebih serius mendengarkan apa kata suaminya. Dia makan dan minum vitamin secara teratur. Setelah makan dan minum dia rebahan, sesekali sambil main ponsel.Beberapa hari belakangan ini, Dimas tak ada menghubunginya lagi, entah itu sekadar chat atau telepon. Membuatnya sedikit lega. Kata dokter, selama masa kehamilan, sebisa mungkin Citra tak boleh banyak pikiran. Apalagi memikirkan hal yang tidak penting. Ya, Citra bisa untuk sedikit tenang dan tidak memikirkan apa pun dulu, kecuali ... masalah Dimas itu. Citra mungkin baru akan berhenti memikirkannya jika dia sudah bercerita pada suaminya. Tapi ... Citra belum berani cerita sekarang. Citra memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Peringatan Atala tempo hari yang terdengar begitu tegas kembali membayangi."Aku serius kali ini, Sayang. Aku mau mulai sekarang kamu lebih menjaga kandunganmu. Kamu harus lebih dengarkan aku. Kalau sekali aja aku dengar kabar buruk dari kamu dan itu karena ka
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Atala mendengar suara Citra dari luar tepat saat lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Sebelum Bi Rahma datang memenuhi panggilan, Atala lebih dulu membuka pintu kamar tersebut. Dia mendapati istrinya duduk di atas kasur sambil berteriak. Dan istrinya itu langsung terdiam begitu melihat dirinya. "Ada apa teriak-teriak? Kamu butuh apa?" tanya Atala seraya berjalan mendekat. Citra menghela napas lega. "Kenapa, Sayang? Kamu mau makan?" tanya Atala lagi ketika jarak mereka sudah sangat dekat. "Atala." Citra malah memanggilnya dan memegangi tangannya. "Iya ada apa, Sayangku?" Atala mengecup tangan istrinya yang tampak memelas. "Kamu udah pulang?" "Udah barusan." Melihat suaminya ad di depan mata, Citra mengangguk lega. "Kenapa? Kamu manggil Bi Rahma ada apa?" tanya Atala lagi. "Enggak, aku cuman nyariin kamu tadi. Soalnya Bi Rahma bilang sebentar lagi kamu pulang, tapi kamu malah nggak pulang-pulang." Atala menyengir lebar mende
"Bi Rahma! Bi Rahma!" Begitu tiba di rumah sahabatnya itu, Bi Rahma orang pertama yang Tasya panggil, karena dia tahu Atala sedang tak ada di rumah. Tanpa menunggu lama, Bi Rahma pun keluar dengan wajah paniknya. Beliau yang sudah mengenal Tasya pun bertanya ada apa? "Citra pingsan, Bi, Citra di dalam mobil," beritahu Tasya. "Aku nggak kuat angkatnya sendiri, Bi." Bi Rahma yang mengerti pun langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Singkat cerita, Bi Rahma dan Tasya membopong Citra membawanya sampai ke kamar. Bi Rahma bahkan menyelimuti tubuh majikannya itu. "Kenapa Non Citra bisa pingsan?" tanya Bi Rahma pada Tasya yang terdiam. *** Bi Rahma duduk menunggu Citra. Cukup lama wanita itu pingsan sampai akhirnya dia siuman juga. Dan membuat Bi Rahma merasa lega. "Alhamdulillah, Non Citra sudah sadar." Citra hanya melirik Bi Rahma di sampingnya. "Apa yang Non rasakan sekarang? Perutnya masih sakit?" Citra hanya menggeleng. "Non Citra kenapa tadi bisa pingsan?