Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll I*******m sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.
Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa. "Setiap orang punya perannya dalam Skenario." Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih, gak kurang. Satu-satunya yang aku punya sekarang adalah rokok terakhir di saku celana dan sebotol air mineral basi yang udah aku hemat-hemat sejak kemarin. Oh, dan mungkin keberuntungan kecil karena aku belum mati. Setidaknya belum hari ini. Dari kursi kayu reyot di belakang meja kasir, aku memandang keluar kaca minimarket yang retak. Jalanan sepi, cuma ada kabut tebal yang menutupi semua. Gedung-gedung tinggi di kejauhan kayak hantu bisu, berdiri di tengah kehancuran. Dunia ini udah gak ada bedanya sama mimpi buruk. Tiba-tiba, aku dengar suara langkah kaki. Bukan suara biasa. Berat, teratur, kayak seseorang yang tau persis ke mana dia mau pergi. Jantungku langsung berdebar. Apa itu orang? Atau... sesuatu yang lain? Aku berdiri perlahan, mencoba ngintip dari balik kaca. Kabut perlahan tersingkap, dan aku lihat dia. Seorang pria muda, tinggi, dengan mantel panjang yang udah penuh noda debu dan darah kering. Di punggungnya ada pedang besar yang kelihatan gak masuk akal buat dibawa manusia biasa. Dia berhenti di depan minimarket, matanya tajam kayak elang, menatap lurus ke arahku. Aku pengen mundur, tapi kaki ini rasanya kayak tertanam di lantai. "Hei," katanya. Suaranya berat, tegas, tapi ada sesuatu di balik nada itu—kelelahan, mungkin? "Ada air di sini?" Aku cuma bisa angguk, menunjuk ke rak minuman di belakang. Dia masuk tanpa basa-basi, langsung ambil sebotol air mineral dan menenggaknya sampai habis. Gak ada terima kasih, gak ada senyum ramah. Dia cuma orang asing yang lewat, sama kayak banyak orang yang pernah aku lihat sebelum semuanya kacau. "Terima kasih," akhirnya dia ngomong, walaupun kayak cuma formalitas. Dia melempar botol kosong itu ke lantai, lalu berjalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, dia berhenti. Matanya menatapku lagi, dan aku rasa aku bakal inget tatapan itu sampai kapan pun. "Jangan lama-lama di sini," katanya. Suaranya lebih pelan sekarang, hampir seperti peringatan. "Sesuatu akan datang." Sesuatu? Aku pengen tanya maksudnya, tapi tenggorokanku kering. Dia gak kasih aku waktu buat ngomong. Dia udah jalan keluar, menghilang di balik kabut tebal. Aku gak tahu siapa dia. Aku juga gak tahu apa yang dia maksud dengan "sesuatu." Tapi satu hal yang aku tahu pasti: untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa benar-benar sendirian. Dan aku benci rasanya. Malam itu dingin, terlalu dingin untuk ukuran Jakarta. Aku masih berdiri di balik meja kasir, memandangi pintu minimarket yang terbuka, kabut tebal di luar seperti mulut monster yang menganga, siap menelan apa saja. Kata-kata pria tadi terus terngiang di kepala. "Jangan lama-lama di sini. Sesuatu akan datang." Sesuatu? Apa maksudnya? Monster? Orang gila? Atau... ya, sesuatu yang lebih buruk? Aku gak tau, dan jujur, aku gak pengen tau. Tapi rasa penasaran yang tolol ini malah bikin aku gak bisa duduk tenang. Aku ngambil rokok terakhir dari saku, menyalakannya dengan korek gas yang nyaris habis. Tarikan pertama selalu enak, meskipun sekarang rasanya lebih kayak pengalihan ketakutan daripada kenikmatan. Aku berusaha ngatur napas sambil lihat jam tangan yang udah mati sejak tiga hari lalu. Waktu gak ada artinya lagi sekarang. Suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih pelan. Jauh lebih pelan. Bulu kudukku langsung berdiri. Aku mencoba mengintip ke luar, tapi kabut makin tebal, hampir kayak tembok. Nafasku memburu. Kalau itu orang biasa, kenapa langkahnya sesunyi itu? Kalau bukan orang biasa... ya, aku gak pengen nyelesain kalimat itu di kepalaku. Aku mundur perlahan, mataku gak lepas dari pintu depan. Tangan kananku meraba-raba ke bawah meja, nyari sesuatu—apa aja yang bisa dipakai buat bela diri. Aku dapet tongkat pel yang patah di ujungnya. Yah, lebih baik daripada kosong. Langkah kaki itu semakin dekat. Bayangan samar muncul di balik kabut. Tinggi, jangkung, dan bergerak lambat, hampir kayak... melayang. Aku mencoba nahan napas, berharap makhluk itu bakal lewat aja tanpa masuk ke minimarket. Tapi harapanku hancur waktu bayangan itu berhenti tepat di depan pintu. Sosok itu berdiri di sana, gak bergerak. Sekarang aku bisa lihat lebih jelas. Tingginya hampir dua meter, tubuhnya kurus kering, tapi ada sesuatu yang salah dengan wajahnya. Matanya... matanya merah menyala seperti bara api. Mulutnya tersenyum, tapi bukan senyum manusia. Itu senyum yang terlalu lebar, terlalu tajam. Aku pengen lari. Pengen teriak. Tapi tubuhku kaku. Makhluk itu menunduk sedikit, matanya menatap langsung ke arahku. Entah gimana, aku tau dia tahu aku di sini. Rasanya kayak dia bisa ngerasain ketakutanku. Dia melangkah masuk, pelan-pelan, kakinya gak nginjak lantai. Dia melayang beberapa sentimeter di atas ubin. Aku mundur selangkah, lalu dua langkah, sampai punggungku nabrak rak di belakangku. Rokok di tanganku jatuh ke lantai. Gak ada lagi yang bisa kulakukan selain memegang tongkat pel dengan tangan gemetar. Makhluk itu berhenti beberapa meter dari meja kasir. Suasana sunyi banget sampai aku bisa dengar suara detak jantungku sendiri. Lalu, dia membuka mulutnya. "Bukan kau," suaranya terdengar seperti dua suara yang berbicara sekaligus—satu tinggi, satu rendah, tapi keduanya terdengar seperti jeritan jauh di dasar neraka. "Bukan kau yang kucari." Seketika, tubuhku terasa lemas. Tapi sebelum aku bisa lega, dia melanjutkan, "Tapi kau... akan menarik untuk dimakan nanti." Aku gak tahan lagi. Aku lempar tongkat pel ke arahnya dan berlari ke belakang toko. Aku gak peduli dia kena atau nggak. Aku cuma tau aku harus kabur, harus keluar dari sini. Tapi sialnya, di belakang toko gak ada jalan keluar. Cuma ada tembok beton yang dingin dan pintu besi kecil menuju gudang. Aku dorong pintu gudang itu dengan semua tenagaku, lalu masuk dan ngunci pintunya dari dalam. Gudang itu kecil, penuh dengan kardus-kardus bekas dan rak-rak tua yang hampir roboh. Nafasku terengah-engah. Lututku lemas sampai aku jatuh terduduk di lantai. Aku mencoba dengar. Awalnya gak ada apa-apa. Hening. Tapi beberapa detik kemudian, suara langkah itu muncul lagi. Pelan, tapi pasti. Makhluk itu mendekati pintu gudang. Ketukan pelan terdengar di pintu besi. Sekali. Dua kali. Lalu dia berbicara lagi, kali ini dengan suara lebih jelas. "Kau tidak bisa sembunyi dariku, manusia kecil. Tapi jangan khawatir... aku akan memberimu waktu sedikit lebih lama untuk hidup." Aku gak tahu apa maksudnya, tapi aku juga gak mau tau. Ketukan itu berhenti. Suara langkah perlahan menghilang. Tapi aku tetap gak berani keluar. Aku cuma duduk di sana, menggenggam lutut, berharap semua ini cuma mimpi buruk yang bisa aku bangun dari. Tapi aku tahu itu gak akan terjadi. Sesuatu yang lebih buruk sedang datang. Aku bisa merasakannya. Dan aku cuma pengamatAku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening. Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kec
Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses
Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke
Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.
Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi
Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb
Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula