Share

Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi
Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi
Author: Deni A. Arafah

Hanya pengamat

last update Last Updated: 2024-12-08 12:18:13

Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll I*******m sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.

Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa.

"Setiap orang punya perannya dalam Skenario."

Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih, gak kurang.

Satu-satunya yang aku punya sekarang adalah rokok terakhir di saku celana dan sebotol air mineral basi yang udah aku hemat-hemat sejak kemarin. Oh, dan mungkin keberuntungan kecil karena aku belum mati. Setidaknya belum hari ini.

Dari kursi kayu reyot di belakang meja kasir, aku memandang keluar kaca minimarket yang retak. Jalanan sepi, cuma ada kabut tebal yang menutupi semua. Gedung-gedung tinggi di kejauhan kayak hantu bisu, berdiri di tengah kehancuran. Dunia ini udah gak ada bedanya sama mimpi buruk.

Tiba-tiba, aku dengar suara langkah kaki. Bukan suara biasa. Berat, teratur, kayak seseorang yang tau persis ke mana dia mau pergi. Jantungku langsung berdebar. Apa itu orang? Atau... sesuatu yang lain?

Aku berdiri perlahan, mencoba ngintip dari balik kaca. Kabut perlahan tersingkap, dan aku lihat dia. Seorang pria muda, tinggi, dengan mantel panjang yang udah penuh noda debu dan darah kering. Di punggungnya ada pedang besar yang kelihatan gak masuk akal buat dibawa manusia biasa.

Dia berhenti di depan minimarket, matanya tajam kayak elang, menatap lurus ke arahku. Aku pengen mundur, tapi kaki ini rasanya kayak tertanam di lantai.

"Hei," katanya. Suaranya berat, tegas, tapi ada sesuatu di balik nada itu—kelelahan, mungkin? "Ada air di sini?"

Aku cuma bisa angguk, menunjuk ke rak minuman di belakang. Dia masuk tanpa basa-basi, langsung ambil sebotol air mineral dan menenggaknya sampai habis. Gak ada terima kasih, gak ada senyum ramah. Dia cuma orang asing yang lewat, sama kayak banyak orang yang pernah aku lihat sebelum semuanya kacau.

"Terima kasih," akhirnya dia ngomong, walaupun kayak cuma formalitas. Dia melempar botol kosong itu ke lantai, lalu berjalan ke pintu. Tapi sebelum keluar, dia berhenti. Matanya menatapku lagi, dan aku rasa aku bakal inget tatapan itu sampai kapan pun.

"Jangan lama-lama di sini," katanya. Suaranya lebih pelan sekarang, hampir seperti peringatan. "Sesuatu akan datang."

Sesuatu? Aku pengen tanya maksudnya, tapi tenggorokanku kering. Dia gak kasih aku waktu buat ngomong. Dia udah jalan keluar, menghilang di balik kabut tebal.

Aku gak tahu siapa dia. Aku juga gak tahu apa yang dia maksud dengan "sesuatu." Tapi satu hal yang aku tahu pasti: untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa benar-benar sendirian.

Dan aku benci rasanya.

Malam itu dingin, terlalu dingin untuk ukuran Jakarta. Aku masih berdiri di balik meja kasir, memandangi pintu minimarket yang terbuka, kabut tebal di luar seperti mulut monster yang menganga, siap menelan apa saja. Kata-kata pria tadi terus terngiang di kepala.

"Jangan lama-lama di sini. Sesuatu akan datang."

Sesuatu? Apa maksudnya? Monster? Orang gila? Atau... ya, sesuatu yang lebih buruk? Aku gak tau, dan jujur, aku gak pengen tau. Tapi rasa penasaran yang tolol ini malah bikin aku gak bisa duduk tenang.

Aku ngambil rokok terakhir dari saku, menyalakannya dengan korek gas yang nyaris habis. Tarikan pertama selalu enak, meskipun sekarang rasanya lebih kayak pengalihan ketakutan daripada kenikmatan. Aku berusaha ngatur napas sambil lihat jam tangan yang udah mati sejak tiga hari lalu. Waktu gak ada artinya lagi sekarang.

Suara langkah kaki terdengar lagi, kali ini lebih pelan. Jauh lebih pelan.

Bulu kudukku langsung berdiri. Aku mencoba mengintip ke luar, tapi kabut makin tebal, hampir kayak tembok. Nafasku memburu. Kalau itu orang biasa, kenapa langkahnya sesunyi itu? Kalau bukan orang biasa... ya, aku gak pengen nyelesain kalimat itu di kepalaku.

Aku mundur perlahan, mataku gak lepas dari pintu depan. Tangan kananku meraba-raba ke bawah meja, nyari sesuatu—apa aja yang bisa dipakai buat bela diri. Aku dapet tongkat pel yang patah di ujungnya. Yah, lebih baik daripada kosong.

Langkah kaki itu semakin dekat.

Bayangan samar muncul di balik kabut. Tinggi, jangkung, dan bergerak lambat, hampir kayak... melayang. Aku mencoba nahan napas, berharap makhluk itu bakal lewat aja tanpa masuk ke minimarket.

Tapi harapanku hancur waktu bayangan itu berhenti tepat di depan pintu.

Sosok itu berdiri di sana, gak bergerak. Sekarang aku bisa lihat lebih jelas. Tingginya hampir dua meter, tubuhnya kurus kering, tapi ada sesuatu yang salah dengan wajahnya. Matanya... matanya merah menyala seperti bara api. Mulutnya tersenyum, tapi bukan senyum manusia. Itu senyum yang terlalu lebar, terlalu tajam.

Aku pengen lari. Pengen teriak. Tapi tubuhku kaku.

Makhluk itu menunduk sedikit, matanya menatap langsung ke arahku. Entah gimana, aku tau dia tahu aku di sini. Rasanya kayak dia bisa ngerasain ketakutanku. Dia melangkah masuk, pelan-pelan, kakinya gak nginjak lantai. Dia melayang beberapa sentimeter di atas ubin.

Aku mundur selangkah, lalu dua langkah, sampai punggungku nabrak rak di belakangku. Rokok di tanganku jatuh ke lantai. Gak ada lagi yang bisa kulakukan selain memegang tongkat pel dengan tangan gemetar.

Makhluk itu berhenti beberapa meter dari meja kasir. Suasana sunyi banget sampai aku bisa dengar suara detak jantungku sendiri. Lalu, dia membuka mulutnya.

"Bukan kau," suaranya terdengar seperti dua suara yang berbicara sekaligus—satu tinggi, satu rendah, tapi keduanya terdengar seperti jeritan jauh di dasar neraka. "Bukan kau yang kucari."

Seketika, tubuhku terasa lemas. Tapi sebelum aku bisa lega, dia melanjutkan, "Tapi kau... akan menarik untuk dimakan nanti."

Aku gak tahan lagi. Aku lempar tongkat pel ke arahnya dan berlari ke belakang toko. Aku gak peduli dia kena atau nggak. Aku cuma tau aku harus kabur, harus keluar dari sini. Tapi sialnya, di belakang toko gak ada jalan keluar. Cuma ada tembok beton yang dingin dan pintu besi kecil menuju gudang.

Aku dorong pintu gudang itu dengan semua tenagaku, lalu masuk dan ngunci pintunya dari dalam. Gudang itu kecil, penuh dengan kardus-kardus bekas dan rak-rak tua yang hampir roboh. Nafasku terengah-engah. Lututku lemas sampai aku jatuh terduduk di lantai.

Aku mencoba dengar. Awalnya gak ada apa-apa. Hening. Tapi beberapa detik kemudian, suara langkah itu muncul lagi. Pelan, tapi pasti. Makhluk itu mendekati pintu gudang.

Ketukan pelan terdengar di pintu besi. Sekali. Dua kali. Lalu dia berbicara lagi, kali ini dengan suara lebih jelas.

"Kau tidak bisa sembunyi dariku, manusia kecil. Tapi jangan khawatir... aku akan memberimu waktu sedikit lebih lama untuk hidup."

Aku gak tahu apa maksudnya, tapi aku juga gak mau tau. Ketukan itu berhenti. Suara langkah perlahan menghilang. Tapi aku tetap gak berani keluar. Aku cuma duduk di sana, menggenggam lutut, berharap semua ini cuma mimpi buruk yang bisa aku bangun dari. Tapi aku tahu itu gak akan terjadi.

Sesuatu yang lebih buruk sedang datang. Aku bisa merasakannya.

Dan aku cuma pengamat

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (2)

    Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening. Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kec

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (3)

    Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Last Updated : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Last Updated : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Last Updated : 2025-01-04
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Para penyintas

    Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun

    Last Updated : 2025-01-05

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status