Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh.
Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari lebih cepat, melambaikan tangannya. “Terus maju! Jangan berhenti, apa pun yang terjadi!” Tapi jembatan itu semakin tidak stabil. Tali-tali yang menahan jembatan mulai berderit, dan papan kayu di bawah kami retak di beberapa bagian. Mirna kehilangan keseimbangan sesaat, membuat Ayu hampir terjatuh. Aku dengan refleks menangkap lengannya dan menahannya. “Pegangan yang kuat!” kataku, mencoba menenangkan mereka. Pak Rusdi mengangkat senjata rakitannya, membidik Voidborn yang semakin dekat. “Aku akan menahan mereka. Kalian teruskan perjalanan!” “Tunggu, Pak!” seru Dika, mencoba menghentikannya. “Tidak ada waktu untuk berdebat!” bentak Pak Rusdi sambil melepaskan tembakan. Cahaya dari senjatanya menyinari kegelapan sejenak, menghantam salah satu Voidborn dan membuatnya hancur menjadi asap hitam. “Pak Rusdi, jangan!” Aku ingin kembali ke arahnya, tapi Gatra menarik lenganku. “Dia tahu apa yang dia lakukan,” kata Gatra tegas. “Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.” Aku menggertakkan gigi, tapi tetap melanjutkan langkah. Mirna, Ayu, dan Dika berjalan lebih cepat, meskipun ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Dari belakang, suara ledakan terdengar. Pak Rusdi terus menembak Voidborn yang mendekat. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Dalam satu momen, aku melihat salah satu Voidborn melompat ke arahnya, menjatuhkan senjata dari tangannya. “Tidak!” Aku berteriak, tapi terlalu jauh untuk melakukan apa pun. Pak Rusdi berusaha melawan dengan tangan kosong, tapi Voidborn terlalu kuat. Ia menoleh ke arah kami, dengan senyuman kecil di wajahnya. “Terus maju. Jangan sia-siakan pengorbananku.” Ledakan besar terjadi ketika Pak Rusdi menarik granat dari sakunya. Voidborn di sekitarnya hancur, tapi aku tahu... itu juga akhir baginya. Kami semua terdiam sejenak, rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang dingin. Tapi Gatra tidak memberi kami waktu untuk berduka. “Kita harus terus maju, atau pengorbanannya sia-sia!” Dengan berat hati, kami melanjutkan perjalanan. Kini jembatan itu semakin berguncang, seperti akan runtuh kapan saja. Suara Voidborn masih terdengar dari belakang, meskipun mereka kini lebih jauh. Ketika kami hampir mencapai ujung jembatan, sebuah suara baru menggema di sekitar kami. Itu bukan Voidborn, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan. “Gatra...” bisik Mirna dengan suara gemetar. “Apa itu?” Gatra berhenti, menoleh ke belakang dengan ekspresi serius. “Itu... Guardian of the Abyss.” Dari kegelapan di belakang, sesosok besar muncul. Makhluk itu memiliki tubuh seperti bayangan dengan banyak tangan yang menggenggam pedang berkilauan. Mata merahnya bersinar terang, memancarkan rasa dingin yang menusuk tulang. “Kalian terus maju!” kata Gatra, menarik busurnya. Cahaya biru kembali muncul di ujung anak panahnya. “Gatra, kau tidak bisa melawan itu sendirian!” protesku. “Aku bisa menahan mereka cukup lama. Kalian harus menyelesaikan misi ini!” Dia memandangku dengan tatapan yang penuh tekad. “Aku percaya padamu, Ardi. Jangan buat ini sia-sia.” Aku ingin membantah, tapi suara gemuruh dari makhluk itu membuatku sadar bahwa tidak ada pilihan lain. “Baik. Tapi kau harus kembali ke kami.” Gatra hanya tersenyum tipis sebelum melepaskan anak panahnya. “Pergi!” Kami berlari menuju ujung jembatan, meninggalkan Gatra yang berdiri menghadapi Guardian of the Abyss sendirian. Ketika kami sampai di ujung jembatan, aku menoleh sekali lagi, berharap melihat Gatra masih bertahan. Tapi hanya kilauan cahaya biru dan suara benturan yang menjawab. Angin dingin dari jurang di bawah terus menderu, membuat suasana semakin menyesakkan. Ayu terduduk, kehabisan tenaga. “Kita... kita tidak bisa ke mana-mana...” gumamnya putus asa. Mirna memeluk Ayu erat-erat, mencoba menenangkan, meski wajahnya sendiri dipenuhi ketakutan. “Kita pasti bisa. Kita harus.” Aku melihat ke belakang, ke arah jembatan. Kilauan cahaya biru masih terlihat samar, tapi suara benturan senjata mulai memudar. Aku tahu Gatra sedang bertarung, tapi berapa lama dia bisa bertahan? “Ardi...” suara Dika menggema di belakangku, kecil tapi penuh rasa takut. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Aku menggertakkan gigi, menahan rasa frustasi. Pilihan kami semakin menipis. Tidak ada jalan keluar. Voidborn yang tersisa di seberang jembatan mulai mendekat lagi. “Tunggu di sini. Aku akan mencari jalan lain,” kataku, mencoba mengambil alih situasi. “Jangan konyol, Ardi,” kata Mirna tajam. “Kita tidak bisa berpencar. Itu sama saja dengan bunuh diri.” “Lalu apa?!” Aku akhirnya meledak. “Kita hanya duduk di sini sampai mereka datang membunuh kita semua?” Suasana hening setelah kata-kataku. Hanya terdengar suara angin dan gemuruh makhluk besar di kejauhan. Ayu mulai menangis pelan, dan itu menusuk hatiku lebih dari apa pun. Dika berdiri, meskipun lututnya gemetar. “Aku... aku tidak akan menyerah. Kalau ini akhir kita, aku mau mencoba sampai detik terakhir.” Mirna mengangguk perlahan. “Dia benar. Kalau kita akan mati, setidaknya kita harus melawan.” Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiranku. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara ledakan besar terdengar di belakang kami. Aku menoleh cepat. Cahaya biru dari arah jembatan membesar, seperti ledakan api yang bercampur dengan kabut hitam. Jembatan berguncang hebat, dan papan-papan kayunya mulai jatuh satu per satu ke jurang di bawah. “Gatra!” Aku berteriak, berlari ke arah jembatan. Siluet seseorang muncul di tengah kabut, berjalan tertatih-tatih di atas sisa-sisa jembatan yang hampir runtuh. Itu dia. Gatra. “Ardi, bantu dia!” teriak Mirna dari belakang. Aku mendekat, merentangkan tangan untuk meraih Gatra yang tampak kelelahan. Tubuhnya penuh luka, tapi dia tetap berjalan dengan tekad yang luar biasa. “Cepat!” teriaknya, melempar busurnya ke arahku. Tapi sebelum aku bisa menyambutnya, suara lain menggema dari kegelapan. Guardian of the Abyss muncul kembali, meskipun tubuhnya terluka parah. Makhluk itu mengayunkan pedangnya, memotong tali utama jembatan. Jembatan berguncang hebat, membuat Gatra terhuyung. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia terlalu jauh. “Tidak! Gatra, loncat ke sini!” Dia menatapku dengan mata yang lelah tapi penuh keyakinan. “Ini akhir jalanku, Ardi.” “Jangan bicara seperti itu! Kau bisa—” “Dengarkan aku!” Dia memotongku dengan suara tegas. “Lindungi mereka. Pastikan mereka selamat. Itu satu-satunya yang penting sekarang.” Sebelum aku bisa menjawab, dia melemparkan sesuatu padaku—sebuah kristal kecil yang bersinar samar. Aku menangkapnya tanpa sadar. “Jangan sia-siakan ini.” Dengan kata-kata itu, Gatra tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tali terakhir jembatan putus, dan tubuhnya jatuh ke jurang bersama Guardian of the Abyss. “GATRA!” Suaraku menggema, tapi hanya angin yang menjawab. Aku jatuh berlutut, menggenggam kristal itu erat-erat. Rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang, tapi aku tidak punya waktu untuk berduka. Voidborn yang tersisa mulai mendekat lagi, kali ini lebih banyak. “Ardi!” panggil Mirna. “Apa yang harus kita lakukan?” Aku berdiri perlahan, menatap mereka dengan tekad baru. “Kita bertahan. Untuk Pak Rusdi dan juga untuk Gatra. Kita tidak boleh menyerah.” Mereka mengangguk, meskipun wajah mereka penuh ketakutan. Aku meraih busur yang ditinggalkan Gatra, menarik napas dalam-dalam, lalu bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Malam itu, kami bertarung. Kami bertahan. Karena itu satu-satunya cara untuk menghormati mereka yang sudah pergi.Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak
Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap
Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra
Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku.“Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya."Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!
Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga
Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,
Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang
Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga
Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka
Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se