Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh.
Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal. “Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari lebih cepat, melambaikan tangannya. “Terus maju! Jangan berhenti, apa pun yang terjadi!” Tapi jembatan itu semakin tidak stabil. Tali-tali yang menahan jembatan mulai berderit, dan papan kayu di bawah kami retak di beberapa bagian. Mirna kehilangan keseimbangan sesaat, membuat Ayu hampir terjatuh. Aku dengan refleks menangkap lengannya dan menahannya. “Pegangan yang kuat!” kataku, mencoba menenangkan mereka. Pak Rusdi mengangkat senjata rakitannya, membidik Voidborn yang semakin dekat. “Aku akan menahan mereka. Kalian teruskan perjalanan!” “Tunggu, Pak!” seru Dika, mencoba menghentikannya. “Tidak ada waktu untuk berdebat!” bentak Pak Rusdi sambil melepaskan tembakan. Cahaya dari senjatanya menyinari kegelapan sejenak, menghantam salah satu Voidborn dan membuatnya hancur menjadi asap hitam. “Pak Rusdi, jangan!” Aku ingin kembali ke arahnya, tapi Gatra menarik lenganku. “Dia tahu apa yang dia lakukan,” kata Gatra tegas. “Kau tidak bisa menyelamatkan semua orang.” Aku menggertakkan gigi, tapi tetap melanjutkan langkah. Mirna, Ayu, dan Dika berjalan lebih cepat, meskipun ketakutan terlihat jelas di wajah mereka. Dari belakang, suara ledakan terdengar. Pak Rusdi terus menembak Voidborn yang mendekat. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Dalam satu momen, aku melihat salah satu Voidborn melompat ke arahnya, menjatuhkan senjata dari tangannya. “Tidak!” Aku berteriak, tapi terlalu jauh untuk melakukan apa pun. Pak Rusdi berusaha melawan dengan tangan kosong, tapi Voidborn terlalu kuat. Ia menoleh ke arah kami, dengan senyuman kecil di wajahnya. “Terus maju. Jangan sia-siakan pengorbananku.” Ledakan besar terjadi ketika Pak Rusdi menarik granat dari sakunya. Voidborn di sekitarnya hancur, tapi aku tahu... itu juga akhir baginya. Kami semua terdiam sejenak, rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang dingin. Tapi Gatra tidak memberi kami waktu untuk berduka. “Kita harus terus maju, atau pengorbanannya sia-sia!” Dengan berat hati, kami melanjutkan perjalanan. Kini jembatan itu semakin berguncang, seperti akan runtuh kapan saja. Suara Voidborn masih terdengar dari belakang, meskipun mereka kini lebih jauh. Ketika kami hampir mencapai ujung jembatan, sebuah suara baru menggema di sekitar kami. Itu bukan Voidborn, melainkan sesuatu yang lebih besar, lebih menakutkan. “Gatra...” bisik Mirna dengan suara gemetar. “Apa itu?” Gatra berhenti, menoleh ke belakang dengan ekspresi serius. “Itu... Guardian of the Abyss.” Dari kegelapan di belakang, sesosok besar muncul. Makhluk itu memiliki tubuh seperti bayangan dengan banyak tangan yang menggenggam pedang berkilauan. Mata merahnya bersinar terang, memancarkan rasa dingin yang menusuk tulang. “Kalian terus maju!” kata Gatra, menarik busurnya. Cahaya biru kembali muncul di ujung anak panahnya. “Gatra, kau tidak bisa melawan itu sendirian!” protesku. “Aku bisa menahan mereka cukup lama. Kalian harus menyelesaikan misi ini!” Dia memandangku dengan tatapan yang penuh tekad. “Aku percaya padamu, Ardi. Jangan buat ini sia-sia.” Aku ingin membantah, tapi suara gemuruh dari makhluk itu membuatku sadar bahwa tidak ada pilihan lain. “Baik. Tapi kau harus kembali ke kami.” Gatra hanya tersenyum tipis sebelum melepaskan anak panahnya. “Pergi!” Kami berlari menuju ujung jembatan, meninggalkan Gatra yang berdiri menghadapi Guardian of the Abyss sendirian. Ketika kami sampai di ujung jembatan, aku menoleh sekali lagi, berharap melihat Gatra masih bertahan. Tapi hanya kilauan cahaya biru dan suara benturan yang menjawab. Angin dingin dari jurang di bawah terus menderu, membuat suasana semakin menyesakkan. Ayu terduduk, kehabisan tenaga. “Kita... kita tidak bisa ke mana-mana...” gumamnya putus asa. Mirna memeluk Ayu erat-erat, mencoba menenangkan, meski wajahnya sendiri dipenuhi ketakutan. “Kita pasti bisa. Kita harus.” Aku melihat ke belakang, ke arah jembatan. Kilauan cahaya biru masih terlihat samar, tapi suara benturan senjata mulai memudar. Aku tahu Gatra sedang bertarung, tapi berapa lama dia bisa bertahan? “Ardi...” suara Dika menggema di belakangku, kecil tapi penuh rasa takut. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Aku menggertakkan gigi, menahan rasa frustasi. Pilihan kami semakin menipis. Tidak ada jalan keluar. Voidborn yang tersisa di seberang jembatan mulai mendekat lagi. “Tunggu di sini. Aku akan mencari jalan lain,” kataku, mencoba mengambil alih situasi. “Jangan konyol, Ardi,” kata Mirna tajam. “Kita tidak bisa berpencar. Itu sama saja dengan bunuh diri.” “Lalu apa?!” Aku akhirnya meledak. “Kita hanya duduk di sini sampai mereka datang membunuh kita semua?” Suasana hening setelah kata-kataku. Hanya terdengar suara angin dan gemuruh makhluk besar di kejauhan. Ayu mulai menangis pelan, dan itu menusuk hatiku lebih dari apa pun. Dika berdiri, meskipun lututnya gemetar. “Aku... aku tidak akan menyerah. Kalau ini akhir kita, aku mau mencoba sampai detik terakhir.” Mirna mengangguk perlahan. “Dia benar. Kalau kita akan mati, setidaknya kita harus melawan.” Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan pikiranku. Tapi sebelum aku bisa menjawab, suara ledakan besar terdengar di belakang kami. Aku menoleh cepat. Cahaya biru dari arah jembatan membesar, seperti ledakan api yang bercampur dengan kabut hitam. Jembatan berguncang hebat, dan papan-papan kayunya mulai jatuh satu per satu ke jurang di bawah. “Gatra!” Aku berteriak, berlari ke arah jembatan. Siluet seseorang muncul di tengah kabut, berjalan tertatih-tatih di atas sisa-sisa jembatan yang hampir runtuh. Itu dia. Gatra. “Ardi, bantu dia!” teriak Mirna dari belakang. Aku mendekat, merentangkan tangan untuk meraih Gatra yang tampak kelelahan. Tubuhnya penuh luka, tapi dia tetap berjalan dengan tekad yang luar biasa. “Cepat!” teriaknya, melempar busurnya ke arahku. Tapi sebelum aku bisa menyambutnya, suara lain menggema dari kegelapan. Guardian of the Abyss muncul kembali, meskipun tubuhnya terluka parah. Makhluk itu mengayunkan pedangnya, memotong tali utama jembatan. Jembatan berguncang hebat, membuat Gatra terhuyung. Aku mencoba meraih tangannya, tapi dia terlalu jauh. “Tidak! Gatra, loncat ke sini!” Dia menatapku dengan mata yang lelah tapi penuh keyakinan. “Ini akhir jalanku, Ardi.” “Jangan bicara seperti itu! Kau bisa—” “Dengarkan aku!” Dia memotongku dengan suara tegas. “Lindungi mereka. Pastikan mereka selamat. Itu satu-satunya yang penting sekarang.” Sebelum aku bisa menjawab, dia melemparkan sesuatu padaku—sebuah kristal kecil yang bersinar samar. Aku menangkapnya tanpa sadar. “Jangan sia-siakan ini.” Dengan kata-kata itu, Gatra tersenyum untuk terakhir kalinya sebelum tali terakhir jembatan putus, dan tubuhnya jatuh ke jurang bersama Guardian of the Abyss. “GATRA!” Suaraku menggema, tapi hanya angin yang menjawab. Aku jatuh berlutut, menggenggam kristal itu erat-erat. Rasa kehilangan menghantamku seperti gelombang, tapi aku tidak punya waktu untuk berduka. Voidborn yang tersisa mulai mendekat lagi, kali ini lebih banyak. “Ardi!” panggil Mirna. “Apa yang harus kita lakukan?” Aku berdiri perlahan, menatap mereka dengan tekad baru. “Kita bertahan. Untuk Pak Rusdi dan juga untuk Gatra. Kita tidak boleh menyerah.” Mereka mengangguk, meskipun wajah mereka penuh ketakutan. Aku meraih busur yang ditinggalkan Gatra, menarik napas dalam-dalam, lalu bersiap menghadapi apa pun yang akan datang. Malam itu, kami bertarung. Kami bertahan. Karena itu satu-satunya cara untuk menghormati mereka yang sudah pergi.Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang
Mobil tua kami akhirnya berhenti di ujung jalan berbatu, asap tipis mengepul dari kap mesin. Mirna mengumpat pelan, memukul setir dengan frustrasi. “Sial, mobil ini sudah tidak bisa jalan lagi,” gumamnya, matanya menatap nanar ke depan. Kami turun dari mobil, kaki-kaki kami terasa lemah setelah perjalanan panjang tanpa istirahat. Di kejauhan, bayangan bangunan kecil muncul di balik kabut pagi. Aku merasakan kelegaan sekaligus ketegangan yang aneh. Apakah ini pemukiman? Apakah mereka akan menerima kami? “Aku harap mereka tidak seperti Hunters,” bisik Ayu, suaranya penuh kecemasan. Dika memegang busur Gatra dengan erat, waspada terhadap setiap suara. “Kita tidak punya pilihan lain,” katanya singkat. Saat kami mendekati gerbang kayu yang tinggi, dua pria bersenjata muncul dari balik barikade. Wajah mereka penuh bekas luka, dan tatapan mereka tajam. “Berhenti di situ!” seru salah satu dari mereka. Senapannya diarahkan tepat ke dadaku. Aku mengangkat tangan perlahan, menun
Jeritan melengking memecah keheningan malam, menggema di udara dingin pemukiman. Membangunkan semua orang, jantung berdebar kencang setelah suara itu jeritan itu menggema. Tanpa pikir panjang, aku meraih parang yang tergeletak di sudut ruangan. “Voidborn,” bisik Mirna dengan suara gemetar, tangannya menggenggam lengan Ayu erat. Aku melangkah keluar dan langsung disambut pemandangan yang mengerikan. Salah satu barikade kayu di sisi timur telah hancur, dan sosok makhluk itu berdiri di tengah reruntuhan. Tubuhnya besar, hampir setinggi dua manusia dewasa, dengan kulit hitam kelam yang berkilauan di bawah cahaya api. Mata merahnya bersinar, menatap tajam ke arah para penyintas yang panik. Cakar tajamnya, sebesar belati, meneteskan cairan hitam pekat yang menguap saat menyentuh tanah. “Ke barat! Lindungi anak-anak!” teriak Bima, suaranya tegas meskipun wajahnya terlihat tegang. Dia berdiri di depan, memegang senapan, mencoba menenangkan kek
Malam itu menusuk dengan dinginnya, membuat setiap nafas kami terasa berat di udara yang lembab. Kabut tipis menyelimuti jalan berbatu yang kami pijak, seperti tabir rahasia yang melindungi dunia dari mata manusia. Aku menggenggam parang di tanganku, jari-jariku merasakan dingin logamnya—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa diandalkan. Di belakangku, suara langkah kaki yang terseret menandai kelelahan yang kami semua rasakan."Sanctuary..." pikirku, memandang peta lusuh yang tergenggam di tangan kiriku. Garis-garis kabur di peta itu adalah satu-satunya petunjuk menuju apa yang dikatakan orang-orang sebagai tempat terakhir yang aman. Namun, harapan itu terasa seperti fatamorgana di tengah lautan kehancuran. Aku tidak yakin apa yang lebih berbahaya—percaya bahwa tempat itu nyata atau mengetahui bahwa itu hanyalah ilusi.Di belakang, Mirna dan Ayu berjalan dalam diam. Raut wajah mereka adalah cermin dari apa yang kurasakan—takut, lelah, tapi tidak punya pil
Perjalanan berlanjut di bawah naungan pepohonan yang rapat. Sinar matahari pagi menerobos melalui celah-celah dedaunan, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menari di atas tanah lembab. Udara pagi yang sejuk membawa aroma tanah basah dan dedaunan busuk, bercampur dengan sisa-sisa asap hitam dari Hunter yang telah musnah.Langkah kakiku terasa berat, bukan hanya karena kelelahan fisik, tetapi juga karena beban emosional yang kupikul. Kejadian semalam masih segar dalam ingatan, meninggalkan luka yang tak terlihat. Aku menggenggam parang di tanganku, merasakan dingin logamnya menusuk kulitku—sebuah pengingat bahwa ini adalah satu-satunya pertahanan yang bisa kuandalkan.Aku berjalan di depan, memimpin kelompok kecil ini dengan peta lusuh di tanganku. Sesekali, aku berhenti untuk memeriksa kompas dan memastikan kami tetap berada di jalur yang benar, atau setidaknya, jalur yang kupikir benar. Sanctuary... nama itu terus bergema di benakku. Tempat terakhir yang aman, kata orang-orang.
Langit cerah berganti mendung tipis saat kelompok kecil kami melanjutkan perjalanan. Sungai kecil tadi memberikan jeda, namun kelelahan dan ketegangan tetap terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. Aku berjalan di depan, mengamati peta lusuh yang mulai robek di bagian pinggirnya, ketika suara Mia memecah keheningan. “Paman Ardi, kau yakin kita nggak tersesat?” tanya Mia dengan nada menggoda sambil menepuk bahuku. Senyumnya lebar, seperti tidak peduli pada ketegangan yang melingkupi kelompok. "Atau jangan-jangan kau hanya mengikuti instingmu saja, paman?" Aku menghela napas panjang. "Mia, aku sudah bilang jangan panggil aku paman." “Kenapa? Kan kau memang seperti paman bagi kami!” Mia terkekeh kecil, membuat Mirna yang berjalan di dekatnya ikut tersenyum tipis. “Aku masih muda, aku baru berusia 28 tahun,” balasku dengan datar, berusaha fokus pada kompas di tanganku. “Oh ya? Dengan semua kerutan di dahimu itu?” godanya lagi, melirik ke arahku sambil mengayunkan langkah dengan
Seorang pria muncul dari balik pintu ptia paruh baya dengan janggut yang lebat, wajahnya dipenuhi bekas luka, dan tubuhnya kekar meski terlihat kelelahan. Dia membawa senapan tua yang sudah usang, menggantung di punggungnya. Matanya tajam, tapi tidak ada ancaman di sana. Justru, ada sesuatu yang membuatku merasa dia telah melihat terlalu banyak—dan kehilangan lebih banyak lagi. “Siapa kalian?” tanyanya dengan suara serak, tetapi tidak mengangkat senjatanya. “Kami hanya para penyintas,” jawabku perlahan, tidak menurunkan parangku. “Kami hanya lewat, mencari tempat untuk beristirahat.” Pria itu mengangguk, lalu masuk ke gedung tanpa meminta izin, duduk di salah satu kursi yang masih utuh. Kami saling bertukar pandang, tidak yakin harus berbuat apa. “Namaku Roy,” katanya akhirnya, tanpa melihat kami. “Aku juga penyintas, seperti kalian.” “Apa kau sendirian?” tanya Hendra curiga. Roy tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam suaranya. “Kalau aku tidak sendirian, aku tidak ak
Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula