Aku berdiri mematung di tengah reruntuhan, napas terengah-engah. Pemandangan di depanku seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Voidborn dan Hunter terus berdatangan, mengepung kami dari segala arah. Langkah mereka perlahan namun pasti, seolah menikmati ketakutan yang mereka tanamkan. Aku bisa merasakan tatapan tajam mereka, haus akan darah, menembus tubuhku. Semua ini salahku. Aku membawa mereka ke sini. Aku yang memilih reruntuhan ini sebagai tempat peristirahatan, menganggapnya aman. Aku yang meyakinkan mereka bahwa ini hanya akan menjadi pemberhentian singkat, bahwa kami butuh waktu untuk mengatur ulang tenaga. Dan sekarang, kami semua akan mati. “Ardi, ini semua karenamu!” teriak Dika yang berjalan dari pintu luar gedung dengan penuh amarah. Dia berdiri beberapa langkah dariku, wajahnya merah padam. “Aku sudah bilang, tempat ini tidak aman! Tapi kau… kau terlalu keras kepala, terlalu percaya diri! Lihat apa yang kau lakukan! Lihat apa yang kau bawa pada kami!” Aku tid
Aku menarik napas panjang, berusaha memusatkan pikiranku di tengah kekacauan dan ketakutan. Aku menatap kelompokku yang kelelahan, lalu kembali mengamati reruntuhan yang kini menjadi sarang Voidborn dan Hunter. Dalam keheningan mencekam, pikiranku mulai merangkai rencana. "Baik," ucapku pelan tapi tegas, suaraku menarik perhatian semua orang. "Kita tidak akan bertahan lama jika tetap di sini. Mereka akan segera menemukan kita jika kita hanya bersembunyi. Jadi, kita harus memanfaatkan situasi ini." Hendra menyipitkan mata. "Apa maksudmu?" Aku menatap mereka satu per satu. "Kita tidak hanya melarikan diri. Kita akan membuat kekacauan, mengadu mereka satu sama lain, dan menggunakan itu sebagai peluang untuk kabur." Aku menunjuk bangunan yang lebih tinggi di ujung reruntuhan. "Voidborn dan Hunter mungkin tidak memiliki kecerdasan seperti kita, tapi mereka punya naluri. Jika kita bisa menciptakan kebisingan besar di satu tempat, mereka akan tertarik ke sana. Aku butuh Hendra, Dika,
Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda
Aku memimpin teman-temanku menjauh dari reruntuhan dengan tubuh yang hampir kehabisan tenaga. Roy tetap di belakang, menarik perhatian semua makhluk itu. Namun, langkahku terhenti. Perasaan bersalah yang mencekik dadaku tak bisa lagi kuabaikan. Aku menoleh, menatap kabut tebal yang menyelimuti tempat Roy bertempur. Dentuman senapannya terdengar jelas, namun semakin jarang. Dia bertarung sendirian, demi kami. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini. “Ardi, kau mau apa?!” teriak Hendra saat aku memutar badan, berlari ke arah pertempuran. “Jangan bodoh!” Dika mencoba bangkit untuk menarikku kembali, tetapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku tidak bisa membiarkan dia bertarung sendirian!” jawabku tanpa ragu. Mataku tertuju pada busur yang tergeletak di dekat Dika, busur peninggalan Gatra, seorang pemanah tangguh yang pernah menjadi bagian dari kami sebelum dia gugur. Aku meraihnya tanpa berpikir panjang, meskipun aku tahu aku tidak memiliki kemampuan memanah sepertinya. Aku tiba di m
Di tengah kekacauan itu, ketika Voidborn dan Hunter semakin mendekat, kami sudah hampir menyerah. Aku dan Roy berdiri berdampingan, tubuh kami terluka parah, napas kami tersengal-sengal, dan tangan kami gemetar memegang senjata yang nyaris tak berguna. Aku menatap ke arah makhluk-makhluk itu. Voidborn dengan tubuh menjulang dan mata menyala penuh kebencian, Hunter yang mengaum liar seperti hewan buas. Kematian terasa begitu dekat, seperti napas dingin yang menyentuh tengkuk. Namun, sebelum makhluk-makhluk itu sempat menyerang, suara gemuruh dari langit tiba-tiba memecah keheningan. Aku mendongak dengan cepat, mataku menangkap sesosok bayangan yang melesat turun dari langit. Cahaya biru menyilaukan menyelimuti sosok itu, seperti bintang jatuh yang meluncur dengan kecepatan luar biasa. Lalu, dia mendarat di antara kami dan para Voidborn. Dentuman keras mengguncang tanah, debu dan serpihan beterbangan ke segala arah. Ketika debu mereda, aku melihatnya berdiri tegak—pria itu. “Kau
Langit semakin gelap, seolah mengisyaratkan datangnya kehancuran. Makhluk raksasa itu berdiri menjulang, tatapan matanya yang berwarna merah darah seolah menembus ke dalam jiwaku. Raungannya menggema, membuat tanah bergetar hebat. Suara itu membawa ketakutan yang begitu mendalam, seperti menyentuh bagian terdalam dari kegelapan dunia ini.Raka berdiri tegak, pedangnya bersinar lebih terang. Aura biru yang menyelimuti dirinya semakin kuat, melawan kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Dia melangkah maju tanpa ragu, setiap langkahnya memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namun, aku tahu di balik keberanian itu, dia memahami risiko yang dia hadapi.“Ardi, bawa teman-temanmu pergi lebih jauh. Ini bukan pertarungan yang bisa kau hadapi,” kata Raka tanpa menoleh.“Sial pada akhirnya aku tak bisa melakukan apa-apa?” jawabku dengan nada hampir putus asa.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh padaku. Tatapannya tajam, tapi ada rasa hormat di dalamnya. “Kau memang lemah, Ardi. Kau
Langit seolah runtuh di atas kami, retakan gelap seperti pecahan kaca membelah cakrawala, diiringi raungan Guardian of Abyss yang menghancurkan gendang telinga. Makhluk itu berdiri kokoh meski tubuhnya penuh luka, setiap celah daging yang tercabik dengan cepat menyatu kembali. Regenerasinya bukan sekadar cepat, tetapi sempurna. Tidak ada darah yang keluar, hanya energi hitam pekat yang berdenyut seperti jantung kedua.Aku merasakan busur Gandiwa di tanganku bergetar, seolah memberiku peringatan. Lina bilang aku hanya punya lima menit, tapi dengan monster seperti ini, lima menit rasanya seperti sekejap. Namun, aku tahu aku harus membuat setiap detik berarti.“Ardi!” teriak Danis, mengangkat tombaknya untuk menangkis pukulan raksasa dari Makhluk itu. Dentuman keras menggetarkan tanah di bawah kami, membuat retakan menyebar seperti sarang laba-laba. “Kita harus menyerangnya bersamaan! Ini satu-satunya cara!”Raka mengangguk, tubuhnya diselimuti aura biru yang lebih terang dari sebelumnya
Saat aku membuka mata, bayangan gelap yang menyelimuti kesadaranku perlahan memudar. Dunia di sekitarku masih terasa samar, seperti melihat melalui kaca yang berkabut. Pandanganku mulai jelas, dan aku menyadari keberadaan orang-orang di sekelilingku—wajah-wajah yang sangat aku kenal, meskipun biasanya tak menunjukkan ekspresi seperti ini. “Ardi!” seru Mirna dengan suara bergetar. Matanya memerah, seperti habis menangis. Dia menggenggam tanganku erat, jari-jarinya dingin namun penuh kehangatan. "Kau akhirnya sadar..." katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tangis yang ditahannya. “Kak Ardi,” tambah Ayu dengan nada lega, meski wajahnya tak mampu menyembunyikan keletihan yang mendalam. Dia berdiri di sebelah Mirna, sesekali menyeka keringat di dahinya. Aku mencoba berbicara, tapi yang keluar hanya suara serak yang nyaris tak terdengar. Tenggorokanku seperti terbakar, kering seolah aku baru saja melintasi gurun pasir. Dengan susah payah, aku mengucapkan, “Apa... yang terjadi?” Ni
Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna
Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa
Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini
Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala
Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya
Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan
Nafasku terengah-engah. Tubuhku terasa berat, setiap helaan napas seperti dihisap oleh kekosongan di sekitarku. Eternal Flow Manipulation telah menyedot terlalu banyak energiku, membuat pandanganku sedikit berputar.Di seberang, wanita yang tadi kusematkan berdiri waspada. Matanya yang tajam mengamatiku, seperti menilai apakah aku ancaman atau penyelamat. Api dari reruntuhan di belakangnya menciptakan siluet samar di tubuhnya yang ramping namun penuh luka."Kau..." ucapnya dengan nada ragu, suara lembutnya bergetar samar. "Barusan... kau memanipulasi waktu, bukan?"Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan dingin. "Begitukah cara seseorang mengucapkan terima kasih kepada penyelamatnya?"Trisulaku berpendar redup sebelum menghilang, meninggalkan hanya bekas panas di genggamanku. Aku berjalan mendekatinya, langkahku berat tapi tetap penuh kendali.Wanita itu tetap di tempatnya, tidak mundur, tapi napasnya terdengar lebih berat. "Aku tidak tahu apakah kau sama dengan pria tadi atau berbed
Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin
Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud