Aku tidak tahu berapa lama kami bertarung. Waktu kehilangan maknanya di tengah teriakan, darah, dan suara dentuman benda logam yang bertabrakan dengan kulit Voidborn. Setiap detik terasa seperti sebuah keabadian yang menyiksa. Hendra, yang paling gigih bertahan dengan pistolnya, kini terduduk dengan tubuh penuh luka. Pistol di tangannya telah lama kosong, dan ia menggunakannya untuk memukul kepala Voidborn yang terlalu dekat. Namun, satu serangan dari makhluk itu membuat lengannya patah, darah mengucur dari luka terbuka di bahunya. Ia masih mencoba bertahan, meskipun tubuhnya mulai lunglai, suaranya lemah ketika ia berkata, “Aku... aku masih belum menyerah makhluk bajingan…” Drian, yang semula tampak seperti orang yang tidak berguna, bertahan lebih lama dari yang kuduga. Ia menggunakan batang logam untuk menyerang, mengincar mata dan bagian lemah Voidborn seperti dia telah biasa menggunakan senja. Namun, serangan balik salah satu makhluk itu menghantam dadanya. Ia terlempar, menda
Aku memimpin teman-temanku menjauh dari reruntuhan dengan tubuh yang hampir kehabisan tenaga. Roy tetap di belakang, menarik perhatian semua makhluk itu. Namun, langkahku terhenti. Perasaan bersalah yang mencekik dadaku tak bisa lagi kuabaikan. Aku menoleh, menatap kabut tebal yang menyelimuti tempat Roy bertempur. Dentuman senapannya terdengar jelas, namun semakin jarang. Dia bertarung sendirian, demi kami. Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ini. “Ardi, kau mau apa?!” teriak Hendra saat aku memutar badan, berlari ke arah pertempuran. “Jangan bodoh!” Dika mencoba bangkit untuk menarikku kembali, tetapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku tidak bisa membiarkan dia bertarung sendirian!” jawabku tanpa ragu. Mataku tertuju pada busur yang tergeletak di dekat Dika, busur peninggalan Gatra, seorang pemanah tangguh yang pernah menjadi bagian dari kami sebelum dia gugur. Aku meraihnya tanpa berpikir panjang, meskipun aku tahu aku tidak memiliki kemampuan memanah sepertinya. Aku tiba di m
Di tengah kekacauan itu, ketika Voidborn dan Hunter semakin mendekat, kami sudah hampir menyerah. Aku dan Roy berdiri berdampingan, tubuh kami terluka parah, napas kami tersengal-sengal, dan tangan kami gemetar memegang senjata yang nyaris tak berguna. Aku menatap ke arah makhluk-makhluk itu. Voidborn dengan tubuh menjulang dan mata menyala penuh kebencian, Hunter yang mengaum liar seperti hewan buas. Kematian terasa begitu dekat, seperti napas dingin yang menyentuh tengkuk. Namun, sebelum makhluk-makhluk itu sempat menyerang, suara gemuruh dari langit tiba-tiba memecah keheningan. Aku mendongak dengan cepat, mataku menangkap sesosok bayangan yang melesat turun dari langit. Cahaya biru menyilaukan menyelimuti sosok itu, seperti bintang jatuh yang meluncur dengan kecepatan luar biasa. Lalu, dia mendarat di antara kami dan para Voidborn. Dentuman keras mengguncang tanah, debu dan serpihan beterbangan ke segala arah. Ketika debu mereda, aku melihatnya berdiri tegak—pria itu. “Kau
Langit semakin gelap, seolah mengisyaratkan datangnya kehancuran. Makhluk raksasa itu berdiri menjulang, tatapan matanya yang berwarna merah darah seolah menembus ke dalam jiwaku. Raungannya menggema, membuat tanah bergetar hebat. Suara itu membawa ketakutan yang begitu mendalam, seperti menyentuh bagian terdalam dari kegelapan dunia ini.Raka berdiri tegak, pedangnya bersinar lebih terang. Aura biru yang menyelimuti dirinya semakin kuat, melawan kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Dia melangkah maju tanpa ragu, setiap langkahnya memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namun, aku tahu di balik keberanian itu, dia memahami risiko yang dia hadapi.“Ardi, bawa teman-temanmu pergi lebih jauh. Ini bukan pertarungan yang bisa kau hadapi,” kata Raka tanpa menoleh.“Sial pada akhirnya aku tak bisa melakukan apa-apa?” jawabku dengan nada hampir putus asa.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh padaku. Tatapannya tajam, tapi ada rasa hormat di dalamnya. “Kau memang lemah, Ardi. Kau
Langit seolah runtuh di atas kami, retakan gelap seperti pecahan kaca membelah cakrawala, diiringi raungan Guardian of Abyss yang menghancurkan gendang telinga. Makhluk itu berdiri kokoh meski tubuhnya penuh luka, setiap celah daging yang tercabik dengan cepat menyatu kembali. Regenerasinya bukan sekadar cepat, tetapi sempurna. Tidak ada darah yang keluar, hanya energi hitam pekat yang berdenyut seperti jantung kedua.Aku merasakan busur Gandiwa di tanganku bergetar, seolah memberiku peringatan. Lina bilang aku hanya punya lima menit, tapi dengan monster seperti ini, lima menit rasanya seperti sekejap. Namun, aku tahu aku harus membuat setiap detik berarti.“Ardi!” teriak Danis, mengangkat tombaknya untuk menangkis pukulan raksasa dari Makhluk itu. Dentuman keras menggetarkan tanah di bawah kami, membuat retakan menyebar seperti sarang laba-laba. “Kita harus menyerangnya bersamaan! Ini satu-satunya cara!”Raka mengangguk, tubuhnya diselimuti aura biru yang lebih terang dari sebelumnya
Saat aku membuka mata, bayangan gelap yang menyelimuti kesadaranku perlahan memudar. Dunia di sekitarku masih terasa samar, seperti melihat melalui kaca yang berkabut. Pandanganku mulai jelas, dan aku menyadari keberadaan orang-orang di sekelilingku—wajah-wajah yang sangat aku kenal, meskipun biasanya tak menunjukkan ekspresi seperti ini. “Ardi!” seru Mirna dengan suara bergetar. Matanya memerah, seperti habis menangis. Dia menggenggam tanganku erat, jari-jarinya dingin namun penuh kehangatan. "Kau akhirnya sadar..." katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tangis yang ditahannya. “Kak Ardi,” tambah Ayu dengan nada lega, meski wajahnya tak mampu menyembunyikan keletihan yang mendalam. Dia berdiri di sebelah Mirna, sesekali menyeka keringat di dahinya. Aku mencoba berbicara, tapi yang keluar hanya suara serak yang nyaris tak terdengar. Tenggorokanku seperti terbakar, kering seolah aku baru saja melintasi gurun pasir. Dengan susah payah, aku mengucapkan, “Apa... yang terjadi?” Ni
Aku duduk di hadapan kelompokku memikirkan semua hal yang telah terjadi selama ini, aku tidak tau apa yang menjadi akhir dari perjalananku ini. Tapi satu hal yang pasti: dunia ini jauh lebih kejam daripada yang pernah aku bayangkan. Kami duduk di antara reruntuhan, mencoba beristirahat dari pertarungan yang panjang dan melelahkan. Udara masih dipenuhi debu, dan aroma darah serta keringat bercampur menjadi satu, memenuhi indra penciumanku.Mirna duduk di sampingku. Dia tersenyum kecil, tetapi senyumnya terasa hambar, tertutup oleh sorot kecemasan yang tak mampu disembunyikannya. Di seberang kami, Rei, Ayu, Nina, dan Mia duduk dalam lingkaran kecil. Mereka tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana yang berat, tetapi canda mereka terasa dipaksakan. Sementara itu, Dika hanya diam, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mungkin lega, atau mungkin hanya kosong.Keheningan di antara kami akhirnya pecah oleh suara Mirna. “Berapa lama kita akan terus seperti ini?” tanyanya lirih,
Kami berkumpul dalam lingkaran kecil, mengelilingi peta yang baru saja diberikan oleh Raka. Udara di sekitar kami terasa semakin berat, seperti reruntuhan yang mengelilingi kami membawa kenangan tentang kehancuran yang terus-menerus. Aku memandang wajah teman-temanku satu per satu, mencoba membaca pikiran mereka. Kebingungan, rasa takut, dan harapan yang rapuh terpancar jelas.“Apa kita benar-benar akan pergi kesana?” tanya Hendra, memecah keheningan. Dia menatapku dengan keraguan, tetapi aku bisa melihat ada sedikit harapan dalam sorot matanya.“Kita tak punya pilihan lain?” jawabku. “Dunia ini sudah cukup menghancurkan kita. Jika kita tetap berjalan tanpa tujuan, kita hanya akan menunggu mati. Kalau ada sedikit saja kesempatan untuk tetap bertahan, bukankah kita harus mencobanya?”Hendra menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Aku hanya ingin kita semua tetap hidup. Itu saja.”Mirna menatapku tajam, matanya menyipit seolah-olah mencoba membaca pikiranku. “Kau tahu betapa berbahaya
Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap
Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra
Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku.“Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya."Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!
Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga
Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,
Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang
Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga
Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka
Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se