Langit semakin gelap, seolah mengisyaratkan datangnya kehancuran. Makhluk raksasa itu berdiri menjulang, tatapan matanya yang berwarna merah darah seolah menembus ke dalam jiwaku. Raungannya menggema, membuat tanah bergetar hebat. Suara itu membawa ketakutan yang begitu mendalam, seperti menyentuh bagian terdalam dari kegelapan dunia ini.Raka berdiri tegak, pedangnya bersinar lebih terang. Aura biru yang menyelimuti dirinya semakin kuat, melawan kegelapan yang menyelimuti medan pertempuran. Dia melangkah maju tanpa ragu, setiap langkahnya memancarkan keberanian yang tak tergoyahkan. Namun, aku tahu di balik keberanian itu, dia memahami risiko yang dia hadapi.“Ardi, bawa teman-temanmu pergi lebih jauh. Ini bukan pertarungan yang bisa kau hadapi,” kata Raka tanpa menoleh.“Sial pada akhirnya aku tak bisa melakukan apa-apa?” jawabku dengan nada hampir putus asa.Raka berhenti sejenak, lalu menoleh padaku. Tatapannya tajam, tapi ada rasa hormat di dalamnya. “Kau memang lemah, Ardi. Kau
Langit seolah runtuh di atas kami, retakan gelap seperti pecahan kaca membelah cakrawala, diiringi raungan Guardian of Abyss yang menghancurkan gendang telinga. Makhluk itu berdiri kokoh meski tubuhnya penuh luka, setiap celah daging yang tercabik dengan cepat menyatu kembali. Regenerasinya bukan sekadar cepat, tetapi sempurna. Tidak ada darah yang keluar, hanya energi hitam pekat yang berdenyut seperti jantung kedua.Aku merasakan busur Gandiwa di tanganku bergetar, seolah memberiku peringatan. Lina bilang aku hanya punya lima menit, tapi dengan monster seperti ini, lima menit rasanya seperti sekejap. Namun, aku tahu aku harus membuat setiap detik berarti.“Ardi!” teriak Danis, mengangkat tombaknya untuk menangkis pukulan raksasa dari Makhluk itu. Dentuman keras menggetarkan tanah di bawah kami, membuat retakan menyebar seperti sarang laba-laba. “Kita harus menyerangnya bersamaan! Ini satu-satunya cara!”Raka mengangguk, tubuhnya diselimuti aura biru yang lebih terang dari sebelumnya
Saat aku membuka mata, bayangan gelap yang menyelimuti kesadaranku perlahan memudar. Dunia di sekitarku masih terasa samar, seperti melihat melalui kaca yang berkabut. Pandanganku mulai jelas, dan aku menyadari keberadaan orang-orang di sekelilingku—wajah-wajah yang sangat aku kenal, meskipun biasanya tak menunjukkan ekspresi seperti ini. “Ardi!” seru Mirna dengan suara bergetar. Matanya memerah, seperti habis menangis. Dia menggenggam tanganku erat, jari-jarinya dingin namun penuh kehangatan. "Kau akhirnya sadar..." katanya, suaranya nyaris tenggelam oleh isak tangis yang ditahannya. “Kak Ardi,” tambah Ayu dengan nada lega, meski wajahnya tak mampu menyembunyikan keletihan yang mendalam. Dia berdiri di sebelah Mirna, sesekali menyeka keringat di dahinya. Aku mencoba berbicara, tapi yang keluar hanya suara serak yang nyaris tak terdengar. Tenggorokanku seperti terbakar, kering seolah aku baru saja melintasi gurun pasir. Dengan susah payah, aku mengucapkan, “Apa... yang terjadi?” Ni
Aku duduk di hadapan kelompokku memikirkan semua hal yang telah terjadi selama ini, aku tidak tau apa yang menjadi akhir dari perjalananku ini. Tapi satu hal yang pasti: dunia ini jauh lebih kejam daripada yang pernah aku bayangkan. Kami duduk di antara reruntuhan, mencoba beristirahat dari pertarungan yang panjang dan melelahkan. Udara masih dipenuhi debu, dan aroma darah serta keringat bercampur menjadi satu, memenuhi indra penciumanku.Mirna duduk di sampingku. Dia tersenyum kecil, tetapi senyumnya terasa hambar, tertutup oleh sorot kecemasan yang tak mampu disembunyikannya. Di seberang kami, Rei, Ayu, Nina, dan Mia duduk dalam lingkaran kecil. Mereka tertawa pelan, mencoba mencairkan suasana yang berat, tetapi canda mereka terasa dipaksakan. Sementara itu, Dika hanya diam, menatap lantai dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mungkin lega, atau mungkin hanya kosong.Keheningan di antara kami akhirnya pecah oleh suara Mirna. “Berapa lama kita akan terus seperti ini?” tanyanya lirih,
Kami berkumpul dalam lingkaran kecil, mengelilingi peta yang baru saja diberikan oleh Raka. Udara di sekitar kami terasa semakin berat, seperti reruntuhan yang mengelilingi kami membawa kenangan tentang kehancuran yang terus-menerus. Aku memandang wajah teman-temanku satu per satu, mencoba membaca pikiran mereka. Kebingungan, rasa takut, dan harapan yang rapuh terpancar jelas.“Apa kita benar-benar akan pergi kesana?” tanya Hendra, memecah keheningan. Dia menatapku dengan keraguan, tetapi aku bisa melihat ada sedikit harapan dalam sorot matanya.“Kita tak punya pilihan lain?” jawabku. “Dunia ini sudah cukup menghancurkan kita. Jika kita tetap berjalan tanpa tujuan, kita hanya akan menunggu mati. Kalau ada sedikit saja kesempatan untuk tetap bertahan, bukankah kita harus mencobanya?”Hendra menghela napas panjang, lalu mengangguk. “Aku hanya ingin kita semua tetap hidup. Itu saja.”Mirna menatapku tajam, matanya menyipit seolah-olah mencoba membaca pikiranku. “Kau tahu betapa berbahaya
Langkah kami perlahan menyusuri jalan berbatu yang dingin, diterangi cahaya remang-remang dari bulan di langit. Reruntuhan kota tempat pertarungan kami hanya menjadi bayangan kelam, seperti monumen bisu dari kehancuran yang ditinggalkan. Udara malam terasa menusuk, tapi yang lebih dingin adalah ketidakpastian di hati kami. Peta di tanganku menjadi satu-satunya panduan, meskipun setiap langkah ke depan terasa seperti berjalan menuju jurang yang tak terlihat.“Berapa jauh lagi kak Ardi sampai kita sampai?” tanya Ayu, suaranya terdengar lelah. Dia menggenggam lenganku erat, seolah takut jika dia melepaskannya, dia akan tersesat dalam kegelapan.Aku menatap peta di tanganku. “Jika tanda ini benar, kita harus mencapai sungai dalam tiga hari,” jawabku. “Setelah itu, Sanctum Perennial tidak akan terlalu jauh.”“Tiga hari?” Dika mengeluh, menyandang ranselnya yang hampir kosong. “Dengan persediaan kita yang tinggal sedikit, aku tidak yakin kita bisa bertahan.”“Jangan berpikir terlalu jauh,”
Langit malam di atas tembok Sanctum Perennial memancarkan warna kelabu yang diselingi kilau bintang, menciptakan pemandangan yang sekaligus indah dan suram. Angin sejuk mengalir lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang entah mengapa terasa asing di tengah hiruk-pikuk kehancuran dunia di luar. Aku berdiri di depan gerbang raksasa dari baja hitam, mengingat perjalanan panjang yang telah kulewati untuk sampai di sini. Setiap langkah membawa bekas luka, baik di tubuh maupun di hati. Nama-nama yang pernah ada dalam perjalanan ini, seperti Gatra dan Pak Rusdi, berputar di pikiranku seperti nyanyian pilu. Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa bersalah yang merayap tanpa henti. Andai saja aku lebih kuat, lebih cepat, atau lebih berani... mungkin mereka masih bersama kami sekarang. Di sebelahku, Dika melangkah maju, memecah keheningan dengan gumaman cemas, "Jadi... ini tempat yang katanya aman?" Aku tidak menjawab. Pikiranku teralihkan oleh suara gesekan logam dari atas tem
Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil di kamar kami, memberikan sedikit kehangatan di tengah udara dingin Sanctum Perennial. Suara lonceng pagi yang khas bergema di seluruh kota, mengingatkan para penduduk untuk memulai aktivitas mereka. Aku bangun lebih awal dari yang lain, duduk di tepi tempat tidur sambil menatap jendela di sudut ruangan."Ardi, kamu sudah bangun?" tanya Mirna pelan, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur. Dia melangkah mendekat dan duduk di sebelahku. "Kau juga memikirkan apa yang Dika katakan semalam, kan?"Aku mengangguk. "Aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi di sini daripada yang mereka tunjukkan."Mirna hanya diam. Kami berdua terjebak dalam pikiran masing-masing, hingga suara ketukan di pintu membuyarkan keheningan."Hei, sudah waktunya sarapan," kata Dika dari balik pintu. Aku bangkit dan membuka pintu, menemukan dia sudah siap dengan seragam Wardens-nya. "Cepatlah. Hari ini ada pertemuan di aula besa
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula