Share

Sanctum Perennial (3)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-14 22:15:33
Langit malam di atas tembok Sanctum Perennial memancarkan warna kelabu yang diselingi kilau bintang, menciptakan pemandangan yang sekaligus indah dan suram. Angin sejuk mengalir lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang entah mengapa terasa asing di tengah hiruk-pikuk kehancuran dunia di luar. Aku berdiri di depan gerbang raksasa dari baja hitam, mengingat perjalanan panjang yang telah kulewati untuk sampai di sini. Setiap langkah membawa bekas luka, baik di tubuh maupun di hati.

Nama-nama yang pernah ada dalam perjalanan ini, seperti Gatra dan Pak Rusdi, berputar di pikiranku seperti nyanyian pilu. Aku mengepalkan tangan, mencoba menahan rasa bersalah yang merayap tanpa henti. Andai saja aku lebih kuat, lebih cepat, atau lebih berani... mungkin mereka masih bersama kami sekarang.

Di sebelahku, Dika melangkah maju, memecah keheningan dengan gumaman cemas, "Jadi... ini tempat yang katanya aman?"

Aku tidak menjawab. Pikiranku teralihkan oleh suara gesekan logam dari atas tem
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (4)

    Pagi itu, cahaya matahari menembus jendela kecil di kamar kami, memberikan sedikit kehangatan di tengah udara dingin Sanctum Perennial. Suara lonceng pagi yang khas bergema di seluruh kota, mengingatkan para penduduk untuk memulai aktivitas mereka. Aku bangun lebih awal dari yang lain, duduk di tepi tempat tidur sambil menatap jendela di sudut ruangan."Ardi, kamu sudah bangun?" tanya Mirna pelan, suaranya sedikit serak karena baru bangun tidur. Dia melangkah mendekat dan duduk di sebelahku. "Kau juga memikirkan apa yang Dika katakan semalam, kan?"Aku mengangguk. "Aku tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa ada lebih banyak hal yang terjadi di sini daripada yang mereka tunjukkan."Mirna hanya diam. Kami berdua terjebak dalam pikiran masing-masing, hingga suara ketukan di pintu membuyarkan keheningan."Hei, sudah waktunya sarapan," kata Dika dari balik pintu. Aku bangkit dan membuka pintu, menemukan dia sudah siap dengan seragam Wardens-nya. "Cepatlah. Hari ini ada pertemuan di aula besa

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (5)

    Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-15
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (6)

    Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (7)

    Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-16
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (8)

    Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-17
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (9)

    Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (10)

    Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-18
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (11)

    Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku. “Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya. "Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-19

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (8)

    Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (7)

    Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (6)

    Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (5)

    Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (4)

    Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (3)

    Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (2)

    Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status