Share

Sanctum Perennial (5)

last update Last Updated: 2025-01-15 21:54:17

Keesokan harinya, suasana Sanctum terasa lebih berat dari biasanya. Langit yang biasanya cerah kini tertutup awan kelabu, seolah mencerminkan perasaan gelisah yang mulai meresap di antara kami semua. Para penghuni berjalan lebih cepat dari biasanya, dengan kepala tertunduk dan langkah tergesa-gesa.

Saat aku sedang menyusun arsip di ruang Archivists, Drian menghampiriku. Wajahnya tampak serius, lebih dari biasanya. Dia menyodorkan secarik kertas kecil, nyaris tersembunyi di antara tumpukan dokumen yang dia bawa.

“Ini yang berhasil kudapatkan,” bisiknya. “Aku belum bisa mengakses keseluruhan dokumen itu, tapi ada satu kalimat yang menarik perhatian.”

Aku membuka kertas kecil itu dan membaca tulisan yang ditulis dengan tergesa-gesa:

“Penyintas adalah wadah kosong untuk pemeran, dan untuk menciptakan pemeran buatan maka di butuhkan inti kekuatan dari seorang pemeran murni.”

Kalimat itu menancap dalam pikiranku. Apa maksudnya? Siapa yang dimaksud dengan pemeran murni? Apakah orang-orang se
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (6)

    Keesokan harinya, langit Sanctum masih kelabu, seakan-akan mendung itu enggan pergi. Langkah-langkah para penghuni terdengar tergesa-gesa di lorong-lorong, dan suasana semakin terasa menyesakkan. Aku tak bisa mengenyahkan rasa gelisah yang menyelubungi pikiranku sejak pertemuan tadi malam. Tawaran Davin masih bergema di benakku seperti jerat yang tak kasat mata.Di ruang arsip, aku duduk bersama Drian, Ayu, dan beberapa anggota faksi Archivists lainnya. Suara gemerisik kertas menjadi latar belakang monoton yang biasanya menenangkan, tetapi hari ini terasa lebih menekan. Drian, seperti biasa, sibuk dengan dokumen-dokumennya. Namun, aku tahu pikirannya tidak sepenuhnya terfokus. Pandangannya sering melayang ke arahku, seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkan niatnya.Akhirnya, dia tak tahan lagi. "Ardi," bisiknya pelan, memastikan tak ada yang mendengar. "Kau harus berhati-hati dengan Davin. Aku tak tahu apa yang dia rencanakan, tapi aku yakin dia tidak akan menawarka

    Last Updated : 2025-01-16
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (7)

    Lorong-lorong gelap Sanctum berubah menjadi labirin yang terasa semakin sempit seiring suara sirene yang menggema di seluruh penjuru. Alarm yang nyaring itu menggigit telinga, menciptakan ketegangan yang menekan dada kami. Aku memimpin kelompok kami keluar dari laboratorium, mencoba mengingat setiap tikungan dan lorong tersembunyi yang pernah disebutkan Drian. Di belakangku, Nina terengah-engah sambil memegangi luka kecil di lengannya yang didapat saat merunduk dari salah satu rak logam.“Kita tidak bisa kembali ke gudang,” bisik Drian, matanya melirik ke sekeliling, mencari alternatif. “Mereka akan menyisir setiap sudut Sanctum.”“Kalau begitu, ke mana kita harus pergi?” tanya Hendra dengan nada mendesak.Sebelum aku sempat menjawab, langkah-langkah kaki berat terdengar mendekat. Kami semua terpaku sejenak, lalu tanpa berpikir panjang, aku mengisyaratkan agar kami berlindung di balik pintu baja kecil yang sedikit terbuka. Kami masuk satu per satu dengan cepat, menutup pintu itu denga

    Last Updated : 2025-01-16
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (8)

    Pagi di Sanctum terasa lebih dingin dari biasanya, tapi bukan hanya suhu udara yang membuat tubuhku merinding—melainkan tatapan tajam Mirna yang menusuk, seakan menyelami pikiranku hingga ke dasar. Ia berdiri hanya beberapa langkah dariku, sikapnya tegap dan penuh kontrol."Ardi," katanya, suaranya datar namun sarat dengan tekanan. "Kemana saja kau setiap malam, apa yang kau lakukan?"Aku membuka mulut, mencoba merangkai jawaban, tapi Mirna memotongku sebelum satu kata pun keluar."Keributan semalam apa ini ulahmu juga." ucapnya tanpa memberiku jeda. "Apa yang kau cari Ardi, tanpa melibatkan kita semua, apa kau tak percaya pada kami?"Dadaku berdegup kencang. Aku melihat ke arah pintu, memastikan tidak ada orang lain yang mendengar. "Mirna, ini bukan saatnya untuk–""Untuk apa?" ia menyelaku dengan nada penuh emosi. "Untuk mempercayaimu begitu saja? Kau menyembunyikan sesuatu, dan aku tidak akan diam melihat kita semua berada dalam bahaya!"Aku terdiam, mencoba merangkai jawaban yang

    Last Updated : 2025-01-17
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (9)

    Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.Aku tidak menjawab,

    Last Updated : 2025-01-18
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (10)

    Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga

    Last Updated : 2025-01-18
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (11)

    Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku.“Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya."Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!

    Last Updated : 2025-01-19
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (12)

    Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra

    Last Updated : 2025-01-20
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (13)

    Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap

    Last Updated : 2025-01-21

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (6)

    Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (5)

    Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (4)

    Nafasku terengah-engah. Tubuhku terasa berat, setiap helaan napas seperti dihisap oleh kekosongan di sekitarku. Eternal Flow Manipulation telah menyedot terlalu banyak energiku, membuat pandanganku sedikit berputar.Di seberang, wanita yang tadi kusematkan berdiri waspada. Matanya yang tajam mengamatiku, seperti menilai apakah aku ancaman atau penyelamat. Api dari reruntuhan di belakangnya menciptakan siluet samar di tubuhnya yang ramping namun penuh luka."Kau..." ucapnya dengan nada ragu, suara lembutnya bergetar samar. "Barusan... kau memanipulasi waktu, bukan?"Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan dingin. "Begitukah cara seseorang mengucapkan terima kasih kepada penyelamatnya?"Trisulaku berpendar redup sebelum menghilang, meninggalkan hanya bekas panas di genggamanku. Aku berjalan mendekatinya, langkahku berat tapi tetap penuh kendali.Wanita itu tetap di tempatnya, tidak mundur, tapi napasnya terdengar lebih berat. "Aku tidak tahu apakah kau sama dengan pria tadi atau berbed

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (3)

    Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (2)

    Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status