Langkah berat pria berjaket hitam bergema di lantai aula Sanctum. Sepasang mata hitamnya, dingin seperti lubang tanpa dasar, menatap langsung ke arahku. Aura kekuasaan menyelimuti sosoknya, membuat udara terasa lebih berat. Dia bukan sembarang orang, itu jelas dari cara semua yang ada di ruangan menahan napas. Tapi aku tidak peduli. Tatapanku hanya terpaku pada Davin, orang yang selama ini menjadi sumber penderitaanku. Aku mengepalkan pedang di tangan, menyatakan niatku yang jelas untuk menghabisi Davin. Tangan yang gemetar oleh emosi kini digerakkan oleh hasrat membalas dendam. Namun, saat aku melangkah maju, pria itu mendekat dengan gerakan santai, seolah waktu di ruangan ini adalah miliknya. Dalam satu gerakan, dia meraih pergelangan tanganku dengan cengkeraman seperti baja. "Sepertinya kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkan perintahku," katanya dengan suara rendah yang menusuk, dingin seperti malam tanpa bulan. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya tidak go
Hujan rintik mulai turun ketika aku melangkah keluar dari Sanctum, membawa sisa luka di tubuh dan jiwa. Tidak ada arah pasti yang mengiringi langkahku, hanya satu tujuan yang terpahat dalam pikiranku: menghancurkan Skenario, Konstelasi, dan segala entitas yang terlibat di dalamnya. Langkahku berat, kakiku hampir menyeret di atas aspal yang retak. Aku mendapati diriku di sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta. Bogor, nama itu tiba-tiba muncul di pikiranku saat aku melihat tulisan besar yang hampir rubuh di atas jalan utama.Tubuhku terlalu lelah untuk terus bergerak. Bangunan mall yang setengah hancur di sisi jalan terlihat seperti tempat berlindung sementara. Kaca-kaca pecah dan puing-puing yang berserakan di sekitarnya menyambutku. Aku melangkah masuk, waspada, mengamati setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian makhluk atau ancaman lainnya.Di dalam mall itu, udara lembab dan bau busuk menguasai ruangan. Bekas-bekas kehidupan manusia terlihat di sana-sini: mainan anak-a
Malam telah turun ketika mobil tua itu melaju perlahan di jalanan kosong yang menuju Samudra Selatan. Lampu-lampu jalanan banyak yang sudah lama padam, meninggalkan hanya cahaya bulan yang samar untuk menerangi aspal yang retak dan berdebu. Suara mesin mobil menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanan. Di dalam kabin, aku hanya ditemani oleh suara hembusan napasku sendiri dan bayangan masa lalu yang terus menghantui di kaca spion.Setelah beberapa jam menyusuri jalan, aku akhirnya tiba di sebuah perbukitan yang menghadap langsung ke laut. Aku mematikan mesin mobil dan keluar, membiarkan angin dingin yang membawa aroma garam menyambutku. Dari tepi bukit, aku bisa melihat ombak besar bergulung, menghantam bebatuan karang dengan ganas. Kabut tipis menyelimuti area itu, membuat segalanya tampak seperti dunia yang terputus dari kenyataan.Aku berdiri di pinggir tebing, menatap laut yang tampak tak berujung. "Istana dasar laut," gumamku dengan nada pelan. "Jadi, pemilik relik itu ad
Kami tiba di tepi pantai Samudra Selatan saat malam mulai menebarkan selimut kelamnya. Gelombang bergulung deras, memecah keheningan dengan suara hantaman ke karang yang menggema di udara. Aku berdiri di sana, menatap lurus ke horizon yang tampak tak berujung, mencari tanda-tanda yang bisa menunjukkan jalan menuju istana bawah laut. Namun, keheningan malam itu segera dipecahkan oleh suara gemuruh mengerikan yang menggema dari dasar laut. Getarannya terasa hingga ke pasir di bawah kaki kami.“Apa itu?” suara Risa bergetar, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Matanya menatap ke laut dengan ketakutan yang jelas.Aku tidak menjawab. Ada perasaan ganjil, seolah suara itu adalah peringatan dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kubayangkan.“Sepertinya tuan rumah tidak menyambut kita dengan hangat,” gumamku, mataku tetap terpaku pada air yang mulai bergerak dengan cara yang tak wajar.Air laut di ujung pantai tiba-tiba terbelah perlahan-lahan, menciptakan jalan ya
Dalam kegelapan yang pekat, keheningan menjadi tirai yang menyembunyikan rasa bersalah yang selama ini membayangiku. Namun, satu demi satu, bayangan teman-temanku yang telah kehilangan nyawanya karena aku mulai muncul, membawa tatapan yang seolah-olah menuntut jawaban dariku. Mata mereka penuh luka, kesakitan yang tak terucapkan, tetapi terasa seperti belati yang menembus jiwaku."Ardi... kenapa kau tak menyelamatkanku?" Suara Nina terdengar samar, seperti bisikan yang datang dari dasar jurang. Tubuhnya perlahan muncul dari balik kegelapan, wajahnya pucat dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya. Mata itu, penuh kesakitan, menatapku tanpa berkedip."Berhenti..." teriakku, suaraku terdengar parau dan pecah. Aku tak sanggup menatap matanya lebih lama, tetapi tubuhku terasa membeku, terjebak dalam pusaran rasa bersalah yang terus menarikku ke dalam.Namun, suara lain mulai memenuhi ruangan. Kali ini suara Hendra, tajam dan penuh kekecewaan. "Ardi... kenapa kau membiarkan aku mati?"
Gemuruh dari makhluk-makhluk yang muncul dari dinding air terasa begitu nyata, mengguncang lantai marmer di bawah kaki kami. KRRSSHSHHH... CRACK!Lima Salamender itu berdiri menjulang, tubuh mereka berkilauan oleh lapisan sisik yang tampak seperti berlian basah. Mata mereka menyala merah membara, mencerminkan amarah liar yang sulit dijinakkan. Dari rahang mereka yang besar, suara geraman rendah bergema, memantulkan perasaan bahwa mereka adalah predator puncak di dunia ini.GRRRRHHHHHHHHAku menggertakkan gigi, memaksa tubuhku untuk tidak mundur meski setiap naluri dalam diriku menjerit agar aku lari. Di sebelahku, Risa menatap dengan wajah tegang. Tangan kanannya sudah menggenggam erat gagang busurnya, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya sedikit gemetar.“Ardi,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di tengah gemuruh, “kita harus mencari cara untuk bertahan. Lima makhluk ini bukan lawan yang bisa kita hadapi begitu saja.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih kosong mencari strat
Riuh suara pertarungan memenuhi aula istana yang megah, namun kini terasa seperti medan perang. Gema benturan logam, desis api, dan pekikan para Salamander menciptakan simfoni kekacauan yang menggema hingga ke langit-langit tinggi berhias ukiran emas. Mayangsari berdiri di atas altar, senyumnya dingin seperti embun beku. Tatapannya yang tajam memperhatikan para peserta ujian yang kelelahan, tubuh mereka terhuyung-huyung melawan makhluk buas yang tak kenal lelah.Dari sudut pandangku, kelima Salamander itu seperti monster yang mustahil ditaklukkan. Tubuh mereka berlapis sisik tebal, mata menyala merah, dan setiap gerakan mereka disertai dengan gelegar yang mengguncang lantai. Aku bisa merasakan setiap serangan mereka mendekatkan kami semua pada keputusasaan.Di sisi lain aula, seorang pria mencoba menyerang dengan pedangnya, teriakan keberanian mengiringi ayunan senjatanya. "Aaaah!" Namun, hanya dalam sekejap, cakar Salamander menghantamnya dengan brutal, membuat tubuhnya terpental sep
Mandala berdiri dengan angkuh, aura dinginnya semakin intens, seolah seluruh ruangan menjadi saksi atas kekuatannya. Langit-langit aula yang sebelumnya penuh ukiran megah kini bergetar setiap kali dia bergerak. Debu mulai jatuh perlahan, menciptakan efek kabut tipis di tengah kerumunan yang tersisa. Udara terasa berat, seperti membawa tekanan yang menghimpit paru-paru setiap orang.Aku mencoba mengatur napas, meskipun rasa sakit dari tendangan tadi masih membakar tubuhku. Di kejauhan, Risa memandangku dengan mata yang basah. Dia ingin berteriak, tetapi sepertinya suaranya tertahan oleh ketakutan yang menguasainya.Mandala memutar kepalanya, mengamati semua orang di ruangan itu, sebelum pandangannya kembali tertuju padaku. "Kau ingin melawan, tapi kau bahkan tak bisa berdiri tegak. Lihatlah dirimu," katanya dengan nada mencibir, suaranya serak namun penuh ejekan.Aku menggenggam pedangku lebih erat. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tubuhku mulai lelah. Tapi aku ti
Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna
Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa
Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini
Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala
Dedaunan berbisik lirih di antara angin malam yang menggigil. Nafasku memburu, dada terasa berat seiring langkah kakiku dan Ariel yang menghantam tanah basah di bawah rimbun pepohonan. Kegelapan yang menyelimuti hutan terasa lebih pekat dari biasanya, dan firasat buruk menjalar di tubuhku saat aku menangkap sekilas bayangan besar bergerak di antara pepohonan.Suara ranting patah terdengar di belakang kami, membuat jantungku berdegup lebih kencang. "Cepat!" desakku, menarik tangan Ariel agar ia berlari lebih cepat.Ariel terengah-engah, suaranya putus-putus saat ia berusaha mengatur napas. "Apa kita akan berjalan tanpa arah?" suaranya nyaris tenggelam dalam suara desiran angin dan dedaunan yang berguguran. "Di malam sekelam ini?"Aku berhenti sejenak, menoleh ke arahnya. Wajahnya pucat, keringat dingin mengalir di pelipisnya meski udara begitu dingin. Aku tahu kami butuh istirahat, walau hanya beberapa detik. Tapi aku juga tahu bahwa makhluk itu masih di luar sana, mengintai.Aku menya
Langkahku bergema di antara reruntuhan kota yang sunyi, hanya diiringi suara napas yang berhembus pelan. Tangan kananku mencengkeram erat gagang Trisula, merasakan dinginnya logam yang seakan menyatu dengan kulitku. Aku tahu Voidborn sudah dekat. Aroma busuk yang menyengat mulai menusuk hidungku, bercampur dengan debu yang beterbangan di udara.Namun, sebelum aku bisa melangkah lebih jauh, tangan Ariel mencengkram lenganku dengan cepat, menarikku ke balik tembok beton yang setengah runtuh. Aku menoleh tajam padanya, mata kami bertemu dalam kegelapan."Lebih baik kita tidak melawannya," bisiknya, nyaris tanpa suara. Napasnya terdengar sedikit tertahan, menandakan kecemasan yang ia coba redam.Aku menatapnya dingin. "Aku bisa mengalahkannya. Lebih baik kau bersembunyi saja."Ariel menggeleng, sorot matanya penuh keseriusan. "Aku tahu kau kuat," ucapnya lirih, "tapi kita tak tahu berapa banyak mereka. Dan jika kau menggunakan terlalu banyak energi sekarang, bagaimana kalau di perjalanan
Nafasku terengah-engah. Tubuhku terasa berat, setiap helaan napas seperti dihisap oleh kekosongan di sekitarku. Eternal Flow Manipulation telah menyedot terlalu banyak energiku, membuat pandanganku sedikit berputar.Di seberang, wanita yang tadi kusematkan berdiri waspada. Matanya yang tajam mengamatiku, seperti menilai apakah aku ancaman atau penyelamat. Api dari reruntuhan di belakangnya menciptakan siluet samar di tubuhnya yang ramping namun penuh luka."Kau..." ucapnya dengan nada ragu, suara lembutnya bergetar samar. "Barusan... kau memanipulasi waktu, bukan?"Aku mengangkat kepala, menatapnya dengan dingin. "Begitukah cara seseorang mengucapkan terima kasih kepada penyelamatnya?"Trisulaku berpendar redup sebelum menghilang, meninggalkan hanya bekas panas di genggamanku. Aku berjalan mendekatinya, langkahku berat tapi tetap penuh kendali.Wanita itu tetap di tempatnya, tidak mundur, tapi napasnya terdengar lebih berat. "Aku tidak tahu apakah kau sama dengan pria tadi atau berbed
Langit terpecah oleh suara gemuruh yang mengguncang telingaku. Gelombang kejut menggetarkan udara, diikuti oleh ledakan dahsyat yang memuntahkan debu ke angkasa. Pecahan kaca dan reruntuhan beterbangan, menghantam jalanan yang sunyi. Aku menghentikan langkah sejenak, jantungku berdebar liar, sebelum akhirnya berlari menuju sumber kekacauan itu.Debu beterbangan, menyelimuti udara dengan partikel abu-abu yang menggantung di langit. Ledakan dahsyat tadi masih menyisakan riak kehancuran di udara. Suara gemuruhnya bergaung, mengguncang gedung-gedung yang telah rapuh. Aku menghentikan langkah, mengatur napas, lalu berlari lebih cepat menuju sumber ledakan. Setiap langkahku menggema di atas aspal retak yang dipenuhi pecahan kaca dan reruntuhan."Ledakan apa itu?" gumamku, jantungku berdetak cepat.Di kejauhan, samar-samar aku melihat dua sosok bertarung. Seorang pria berjubah hitam, auranya gelap bagaikan bayangan malam, menggenggam pedang hitam yang seakan-akan menyerap cahaya di sekelilin
Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud