Malam telah turun ketika mobil tua itu melaju perlahan di jalanan kosong yang menuju Samudra Selatan. Lampu-lampu jalanan banyak yang sudah lama padam, meninggalkan hanya cahaya bulan yang samar untuk menerangi aspal yang retak dan berdebu. Suara mesin mobil menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanan. Di dalam kabin, aku hanya ditemani oleh suara hembusan napasku sendiri dan bayangan masa lalu yang terus menghantui di kaca spion.Setelah beberapa jam menyusuri jalan, aku akhirnya tiba di sebuah perbukitan yang menghadap langsung ke laut. Aku mematikan mesin mobil dan keluar, membiarkan angin dingin yang membawa aroma garam menyambutku. Dari tepi bukit, aku bisa melihat ombak besar bergulung, menghantam bebatuan karang dengan ganas. Kabut tipis menyelimuti area itu, membuat segalanya tampak seperti dunia yang terputus dari kenyataan.Aku berdiri di pinggir tebing, menatap laut yang tampak tak berujung. "Istana dasar laut," gumamku dengan nada pelan. "Jadi, pemilik relik itu ad
Kami tiba di tepi pantai Samudra Selatan saat malam mulai menebarkan selimut kelamnya. Gelombang bergulung deras, memecah keheningan dengan suara hantaman ke karang yang menggema di udara. Aku berdiri di sana, menatap lurus ke horizon yang tampak tak berujung, mencari tanda-tanda yang bisa menunjukkan jalan menuju istana bawah laut. Namun, keheningan malam itu segera dipecahkan oleh suara gemuruh mengerikan yang menggema dari dasar laut. Getarannya terasa hingga ke pasir di bawah kaki kami.“Apa itu?” suara Risa bergetar, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Matanya menatap ke laut dengan ketakutan yang jelas.Aku tidak menjawab. Ada perasaan ganjil, seolah suara itu adalah peringatan dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kubayangkan.“Sepertinya tuan rumah tidak menyambut kita dengan hangat,” gumamku, mataku tetap terpaku pada air yang mulai bergerak dengan cara yang tak wajar.Air laut di ujung pantai tiba-tiba terbelah perlahan-lahan, menciptakan jalan ya
Dalam kegelapan yang pekat, keheningan menjadi tirai yang menyembunyikan rasa bersalah yang selama ini membayangiku. Namun, satu demi satu, bayangan teman-temanku yang telah kehilangan nyawanya karena aku mulai muncul, membawa tatapan yang seolah-olah menuntut jawaban dariku. Mata mereka penuh luka, kesakitan yang tak terucapkan, tetapi terasa seperti belati yang menembus jiwaku."Ardi... kenapa kau tak menyelamatkanku?" Suara Nina terdengar samar, seperti bisikan yang datang dari dasar jurang. Tubuhnya perlahan muncul dari balik kegelapan, wajahnya pucat dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya. Mata itu, penuh kesakitan, menatapku tanpa berkedip."Berhenti..." teriakku, suaraku terdengar parau dan pecah. Aku tak sanggup menatap matanya lebih lama, tetapi tubuhku terasa membeku, terjebak dalam pusaran rasa bersalah yang terus menarikku ke dalam.Namun, suara lain mulai memenuhi ruangan. Kali ini suara Hendra, tajam dan penuh kekecewaan. "Ardi... kenapa kau membiarkan aku mati?"
Gemuruh dari makhluk-makhluk yang muncul dari dinding air terasa begitu nyata, mengguncang lantai marmer di bawah kaki kami. KRRSSHSHHH... CRACK!Lima Salamender itu berdiri menjulang, tubuh mereka berkilauan oleh lapisan sisik yang tampak seperti berlian basah. Mata mereka menyala merah membara, mencerminkan amarah liar yang sulit dijinakkan. Dari rahang mereka yang besar, suara geraman rendah bergema, memantulkan perasaan bahwa mereka adalah predator puncak di dunia ini.GRRRRHHHHHHHHAku menggertakkan gigi, memaksa tubuhku untuk tidak mundur meski setiap naluri dalam diriku menjerit agar aku lari. Di sebelahku, Risa menatap dengan wajah tegang. Tangan kanannya sudah menggenggam erat gagang busurnya, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya sedikit gemetar.“Ardi,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di tengah gemuruh, “kita harus mencari cara untuk bertahan. Lima makhluk ini bukan lawan yang bisa kita hadapi begitu saja.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih kosong mencari strat
Riuh suara pertarungan memenuhi aula istana yang megah, namun kini terasa seperti medan perang. Gema benturan logam, desis api, dan pekikan para Salamander menciptakan simfoni kekacauan yang menggema hingga ke langit-langit tinggi berhias ukiran emas. Mayangsari berdiri di atas altar, senyumnya dingin seperti embun beku. Tatapannya yang tajam memperhatikan para peserta ujian yang kelelahan, tubuh mereka terhuyung-huyung melawan makhluk buas yang tak kenal lelah.Dari sudut pandangku, kelima Salamander itu seperti monster yang mustahil ditaklukkan. Tubuh mereka berlapis sisik tebal, mata menyala merah, dan setiap gerakan mereka disertai dengan gelegar yang mengguncang lantai. Aku bisa merasakan setiap serangan mereka mendekatkan kami semua pada keputusasaan.Di sisi lain aula, seorang pria mencoba menyerang dengan pedangnya, teriakan keberanian mengiringi ayunan senjatanya. "Aaaah!" Namun, hanya dalam sekejap, cakar Salamander menghantamnya dengan brutal, membuat tubuhnya terpental sep
Mandala berdiri dengan angkuh, aura dinginnya semakin intens, seolah seluruh ruangan menjadi saksi atas kekuatannya. Langit-langit aula yang sebelumnya penuh ukiran megah kini bergetar setiap kali dia bergerak. Debu mulai jatuh perlahan, menciptakan efek kabut tipis di tengah kerumunan yang tersisa. Udara terasa berat, seperti membawa tekanan yang menghimpit paru-paru setiap orang.Aku mencoba mengatur napas, meskipun rasa sakit dari tendangan tadi masih membakar tubuhku. Di kejauhan, Risa memandangku dengan mata yang basah. Dia ingin berteriak, tetapi sepertinya suaranya tertahan oleh ketakutan yang menguasainya.Mandala memutar kepalanya, mengamati semua orang di ruangan itu, sebelum pandangannya kembali tertuju padaku. "Kau ingin melawan, tapi kau bahkan tak bisa berdiri tegak. Lihatlah dirimu," katanya dengan nada mencibir, suaranya serak namun penuh ejekan.Aku menggenggam pedangku lebih erat. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tubuhku mulai lelah. Tapi aku ti
Ketika Mandala bersiap mengayunkan tangannya ke arahku, sebuah suara desing tiba-tiba memecah udara. WHIZZ! Anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, menancap di lengan kanan Mandala yang terangkat. Dia mengerutkan alis, sejenak terhenti, sebelum tatapannya beralih ke arah asal panah. Di ujung sana, berdiri Risa dengan busur di tangannya, napasnya memburu."Kau," gumam Mandala sambil menyipitkan matanya, wajahnya berubah menjadi ekspresi marah yang mengerikan. Dengan satu gerakan cepat, dia menghilang dan muncul di depan Risa."Beraninya kau," desis Mandala sambil menjulurkan tangannya, mencengkram leher Risa. Suara tulangnya seperti hampir berderak di bawah tekanan itu. "Seharusnya kau tetap diam kalau ingin hidup lebih lama."Risa berusaha menggenggam tangan Mandala, kuku-kukunya mencakar tanpa hasil. Napasnya tersendat-sendat, tubuhnya bergetar. Namun, dengan sisa kekuatannya, dia meludah dengan kasar. "Lepaskan tangan kotormu, sialan!"Aku menyaksikan pemandangan itu dari tanah
Darah masih mengalir deras dari tubuh Mandala yang terkapar tak berdaya di sudut aula. Mayangsari, yang masih terengah-engah dengan luka di tubuhnya, menatapku dengan sorot penuh kebencian. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa sakit, tidak hanya fisik tetapi juga emosional."Apa yang kau lakukan, bajingan?!" teriak pria dengan kapak besar yang tadi menyerang Mandala bersamaku. Suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. "Kita hanya perlu mengalahkannya! Kenapa kau membunuh mereka?!"Aku tidak menjawab. Langkahku berat namun mantap menuju altar, tempat di mana Mayangsari sebelumnya berdiri dengan penuh kewibawaan. Setiap langkahku menggema di aula yang kini terasa sunyi. Suara desah napasku dan dengung energi yang memancar dari relik kristal biru di altar menjadi latar belakang yang mencekam.Mayangsari menggeliat di lantai, tubuhnya mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang memancar semakin terang. Ia mencoba berbicara, namun sua
Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah
Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m
Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de
Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu
Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek
Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha
Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,
Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D
Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula