Share

Samudra Selatan (4)

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-25 21:55:45

Dalam kegelapan yang pekat, keheningan menjadi tirai yang menyembunyikan rasa bersalah yang selama ini membayangiku. Namun, satu demi satu, bayangan teman-temanku yang telah kehilangan nyawanya karena aku mulai muncul, membawa tatapan yang seolah-olah menuntut jawaban dariku. Mata mereka penuh luka, kesakitan yang tak terucapkan, tetapi terasa seperti belati yang menembus jiwaku.

"Ardi... kenapa kau tak menyelamatkanku?" Suara Nina terdengar samar, seperti bisikan yang datang dari dasar jurang. Tubuhnya perlahan muncul dari balik kegelapan, wajahnya pucat dengan darah yang menetes dari sudut bibirnya. Mata itu, penuh kesakitan, menatapku tanpa berkedip.

"Berhenti..." teriakku, suaraku terdengar parau dan pecah. Aku tak sanggup menatap matanya lebih lama, tetapi tubuhku terasa membeku, terjebak dalam pusaran rasa bersalah yang terus menarikku ke dalam.

Namun, suara lain mulai memenuhi ruangan. Kali ini suara Hendra, tajam dan penuh kekecewaan. "Ardi... kenapa kau membiarkan aku mati?"

Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (5)

    Gemuruh dari makhluk-makhluk yang muncul dari dinding air terasa begitu nyata, mengguncang lantai marmer di bawah kaki kami. KRRSSHSHHH... CRACK!Lima Salamender itu berdiri menjulang, tubuh mereka berkilauan oleh lapisan sisik yang tampak seperti berlian basah. Mata mereka menyala merah membara, mencerminkan amarah liar yang sulit dijinakkan. Dari rahang mereka yang besar, suara geraman rendah bergema, memantulkan perasaan bahwa mereka adalah predator puncak di dunia ini.GRRRRHHHHHHHHAku menggertakkan gigi, memaksa tubuhku untuk tidak mundur meski setiap naluri dalam diriku menjerit agar aku lari. Di sebelahku, Risa menatap dengan wajah tegang. Tangan kanannya sudah menggenggam erat gagang busurnya, tapi aku bisa melihat bagaimana jemarinya sedikit gemetar.“Ardi,” bisiknya, suaranya nyaris tenggelam di tengah gemuruh, “kita harus mencari cara untuk bertahan. Lima makhluk ini bukan lawan yang bisa kita hadapi begitu saja.”Aku mengangguk, meski pikiranku masih kosong mencari strat

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (6)

    Riuh suara pertarungan memenuhi aula istana yang megah, namun kini terasa seperti medan perang. Gema benturan logam, desis api, dan pekikan para Salamander menciptakan simfoni kekacauan yang menggema hingga ke langit-langit tinggi berhias ukiran emas. Mayangsari berdiri di atas altar, senyumnya dingin seperti embun beku. Tatapannya yang tajam memperhatikan para peserta ujian yang kelelahan, tubuh mereka terhuyung-huyung melawan makhluk buas yang tak kenal lelah.Dari sudut pandangku, kelima Salamander itu seperti monster yang mustahil ditaklukkan. Tubuh mereka berlapis sisik tebal, mata menyala merah, dan setiap gerakan mereka disertai dengan gelegar yang mengguncang lantai. Aku bisa merasakan setiap serangan mereka mendekatkan kami semua pada keputusasaan.Di sisi lain aula, seorang pria mencoba menyerang dengan pedangnya, teriakan keberanian mengiringi ayunan senjatanya. "Aaaah!" Namun, hanya dalam sekejap, cakar Salamander menghantamnya dengan brutal, membuat tubuhnya terpental sep

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-26
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (7)

    Mandala berdiri dengan angkuh, aura dinginnya semakin intens, seolah seluruh ruangan menjadi saksi atas kekuatannya. Langit-langit aula yang sebelumnya penuh ukiran megah kini bergetar setiap kali dia bergerak. Debu mulai jatuh perlahan, menciptakan efek kabut tipis di tengah kerumunan yang tersisa. Udara terasa berat, seperti membawa tekanan yang menghimpit paru-paru setiap orang.Aku mencoba mengatur napas, meskipun rasa sakit dari tendangan tadi masih membakar tubuhku. Di kejauhan, Risa memandangku dengan mata yang basah. Dia ingin berteriak, tetapi sepertinya suaranya tertahan oleh ketakutan yang menguasainya.Mandala memutar kepalanya, mengamati semua orang di ruangan itu, sebelum pandangannya kembali tertuju padaku. "Kau ingin melawan, tapi kau bahkan tak bisa berdiri tegak. Lihatlah dirimu," katanya dengan nada mencibir, suaranya serak namun penuh ejekan.Aku menggenggam pedangku lebih erat. Tangan ini bergetar, bukan karena takut, tetapi karena tubuhku mulai lelah. Tapi aku ti

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-27
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (8)

    Ketika Mandala bersiap mengayunkan tangannya ke arahku, sebuah suara desing tiba-tiba memecah udara. WHIZZ! Anak panah melesat dengan kecepatan tinggi, menancap di lengan kanan Mandala yang terangkat. Dia mengerutkan alis, sejenak terhenti, sebelum tatapannya beralih ke arah asal panah. Di ujung sana, berdiri Risa dengan busur di tangannya, napasnya memburu."Kau," gumam Mandala sambil menyipitkan matanya, wajahnya berubah menjadi ekspresi marah yang mengerikan. Dengan satu gerakan cepat, dia menghilang dan muncul di depan Risa."Beraninya kau," desis Mandala sambil menjulurkan tangannya, mencengkram leher Risa. Suara tulangnya seperti hampir berderak di bawah tekanan itu. "Seharusnya kau tetap diam kalau ingin hidup lebih lama."Risa berusaha menggenggam tangan Mandala, kuku-kukunya mencakar tanpa hasil. Napasnya tersendat-sendat, tubuhnya bergetar. Namun, dengan sisa kekuatannya, dia meludah dengan kasar. "Lepaskan tangan kotormu, sialan!"Aku menyaksikan pemandangan itu dari tanah

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (9)

    Darah masih mengalir deras dari tubuh Mandala yang terkapar tak berdaya di sudut aula. Mayangsari, yang masih terengah-engah dengan luka di tubuhnya, menatapku dengan sorot penuh kebencian. Matanya yang biasanya tajam kini dipenuhi rasa sakit, tidak hanya fisik tetapi juga emosional."Apa yang kau lakukan, bajingan?!" teriak pria dengan kapak besar yang tadi menyerang Mandala bersamaku. Suaranya menggema di seluruh ruangan, penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. "Kita hanya perlu mengalahkannya! Kenapa kau membunuh mereka?!"Aku tidak menjawab. Langkahku berat namun mantap menuju altar, tempat di mana Mayangsari sebelumnya berdiri dengan penuh kewibawaan. Setiap langkahku menggema di aula yang kini terasa sunyi. Suara desah napasku dan dengung energi yang memancar dari relik kristal biru di altar menjadi latar belakang yang mencekam.Mayangsari menggeliat di lantai, tubuhnya mulai bersinar dengan cahaya biru kehijauan yang memancar semakin terang. Ia mencoba berbicara, namun sua

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (10)

    Aku berdiri dengan napas yang terengah-engah, pasir basah di bawah kakiku menggenggam langkahku seperti tangan-tangan kecil yang ingin menyeretku ke bawah. Udara di sekitarku berat, penuh dengan energi yang berdesakan, mengguncang tubuhku seperti gempa. Di atas langit yang kelam, dengan retakan emas yang masih berpendar samar, berdiri makhluk itu. Ia bukan hanya entitas biasa, ia adalah bencana, kehancuran, dalang dari semua yang terjadi. Ia adalah Ordo Zeros. Aku mengepalkan tangan, pandanganku terkunci pada sosok besar itu. Matanya, hitam seperti jurang tanpa dasar, menatapku dengan dingin, tanpa emosi. Suaranya menggema di pikiranku, meski ia belum berkata apa-apa, seakan keberadaannya saja sudah cukup untuk menekan jiwaku. “Ordo Zeros!” Suaraku pecah, melawan angin yang menderu kencang. Aku merunduk, mengambil trisula yang jatuh di hadapanku. Energinya masih berkilauan, meski cahayanya meredup setelah terhempas oleh kekuatan Nyi Roro Kidul. “MATI KAU!” teriakku, memusatkan s

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-28
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur

    Pasir basah di bawah kakiku seolah berusaha menahanku, seakan-akan tak rela aku meninggalkan istana dasar laut itu. Namun aku tak punya waktu untuk berhenti, apalagi kembali. Langkahku mantap, meski terasa berat. Sesekali, angin laut membawa suara deburan ombak yang menggema seperti rintihan tempat yang perlahan tenggelam ke dalam kehampaan. Istana itu—simbol kemegahan yang kini hanya menjadi kehancuran.Saat aku tiba di tepi pantai, pandanganku disambut oleh tubuh-tubuh yang tergeletak tak sadarkan diri. Mereka adalah orang-orang yang dilempar oleh Ordo Zeros ke sini, ke tempat aman ini. Pasir mengotori pakaian mereka, wajah-wajah mereka pucat, tapi hidup. Di antara mereka, aku menemukan sosok yang membuat nafasku tercekat. Risa. Rambut hitam panjangnya basah oleh air laut, tetapi wajahnya masih sama seperti yang kuingat—tenang, meski penuh luka.Aku berdiri di sana, menatapnya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu dalam dadaku yang bergejolak, perasaan yang pernah ada namun t

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (2)

    Angin dingin dari pantai menyelinap di antara robekan bajuku, membelai kulitku dengan kelembutan yang bertentangan dengan pemandangan di belakangku—reruntuhan kota yang ditinggalkan, saksi bisu dari kehancuran yang tak terhindarkan. Di tanganku, trisula itu bersinar redup, cahayanya berdenyut seperti jantung makhluk hidup, biru-hijau yang menguar dalam ritme yang tidak kupahami sepenuhnya. Aku tahu trisula ini adalah kekuatan besar, senjata yang seharusnya bisa menembus kehendak Konstelasi sialan itu. Namun, aku juga sadar satu hal—benda ini tidak tunduk padaku.Debu halus yang tertiup angin menggantung di udara saat aku meninggalkan batas kota, langkahku berat namun pasti menuju satu tujuan: Borobudur. Tempat di mana skenario berikutnya akan dimulai, di mana sebuah portal akan terbuka, menghubungkan pulau-pulau besar di dunia ini. Tapi Borobudur tidak dekat. Perjalanan panjang melintasi Jawa terbentang di hadapanku, jalanan yang penuh bahaya dan ketidakpastian menantiku di setiap sud

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-29

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (14)

    Kesunyian seketika merayapi udara, menelan setiap bisikan dan gerakan. Kata-kata itu menggema di benak masing-masing, seperti dentang lonceng yang tak kunjung berhenti. Mata Mia membelalak, napasnya tercekat. Dengan kedua tangan gemetar, ia menutupi mulutnya, seakan mencoba menahan gelombang perasaan yang menggelegak di dadanya. Ketidakpercayaan menguasai wajahnya, seolah dunia di sekitarnya baru saja runtuh dalam sekejap."Sepertinya kau memiliki orang-orang yang berharga." bisik Ariel rilihAyu tampak lebih emosional, matanya mulai memanas, air mata menggenang. "Kak Ardi... Kak Ardi kembali?" suaranya penuh harapan yang hampir runtuh oleh ketakutan.Sementara itu, Ariel hanya berdiri di sana, memperhatikan reaksi mereka dengan ekspresi datar. Namun, di balik matanya yang tajam, ada kilatan rasa ingin tahu yang muncul. Ia mengamati bagaimana satu nama bisa mengguncang kelompok ini.Tapi, itu bukan urusannya.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Ariel berbalik dan melangkah menuju tembo

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (7)

    Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah-celah retakan dinding bangunan yang telah lama ditinggalkan. Debu di udara berkilauan dalam semburat keemasan, melayang-layang seolah menari di antara serpihan kehancuran. Udara pagi yang menusuk membuat napas kami terlihat dalam kepulan uap tipis, sebuah pengingat bahwa kami masih hidup—di dunia yang telah lama ditinggalkan harapan.Dari sudut ruangan, Ariel menggeliat pelan, lengannya terulur malas sementara mulutnya menguap kecil. Sisa kantuk masih membayang di wajahnya, tetapi ada ketenangan dalam sorot matanya—sesuatu yang jarang terlihat dalam dunia seperti ini. Ia mengusap kedua matanya sebelum akhirnya menoleh ke arahku dengan senyum tipis.“Selamat pagi,” gumamnya, suaranya terdengar lebih lembut dari angin yang berbisik di antara reruntuhan.Aku hanya mengangguk singkat, membiarkan keheningan tetap menggantung di antara kami. Pandanganku terus mengawasi setiap sudut ruangan, memastikan bahwa tak ada ancaman yang mengintai dala

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status