Share

Bali yang berbeda

Penulis: Deni A. Arafah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-08 23:21:59

Saat aku membuka mata, kami telah berada di tempat lain.

Udara lembap khas pantai langsung menyergapku. Aku berdiri di atas pasir hitam yang berserakan puing-puing bangunan. Ombak menerjang pantai dengan ganas, membawa aroma garam dan kehancuran. Langit di atas kami berwarna jingga kelam, matahari terbenam di balik siluet gunung berapi yang masih mengepulkan asap.

Ariel melangkah maju, matanya menyapu sekeliling. "Bali…?" bisiknya, hampir tidak percaya.

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap reruntuhan yang dulunya mungkin adalah resor atau vila mewah. Sekarang, yang tersisa hanya kerangka bangunan yang hangus dan pohon-pohon kelapa yang tumbang. Sungai kecil yang mengalir ke laut dipenuhi puing-puing kayu dan batu.

Langkah kakiku berat saat aku mendekati papan kayu yang setengah tertanam di pasir. Tulisan yang hampir pudar masih bisa terbaca: Pantai Kuta.

Ariel berdiri di sampingku, matanya menyiratkan kesedihan. "Dulu tempat ini penuh dengan tawa dan cahaya," katanya pelan. "Sekarang
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat

    Aku gak pernah ngerti apa yang sebenarnya terjadi. Satu hari dunia baik-baik aja—jalanan macet, orang-orang sibuk scroll Instagram sambil ngeluh soal cuaca panas. Lalu tiba-tiba, semuanya berubah. Langit retak, bintang-bintang mulai bergerak kayak ada yang mainin puzzle di atas sana, dan orang-orang mulai menghilang satu per satu.Aku gak paham kenapa semua ini terjadi, dan jujur, aku juga gak peduli. Aku cuma seorang pegawai minimarket di tengah kota Jakarta. Hidupku sederhana: buka toko, layani pelanggan, lalu tutup toko. Tapi sekarang? Pelanggan gak ada, toko hancur berantakan, dan aku cuma duduk di belakang meja kasir sambil nunggu sesuatu—entah apa."Setiap orang punya perannya dalam Skenario."Aku masih inget kalimat itu dari berita di TV sebelum siarannya mati total. Skenario? Peran? Kayak main teater, gitu? Tapi gak ada yang kasih tahu aku peranku apa. Gak ada suara-suara aneh yang berbisik di telingaku, gak ada kekuatan super yang mendadak muncul. Aku cuma... aku. Gak lebih,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (2)

    Aku gak tahu berapa lama aku duduk di gudang itu. Mungkin sejam. Mungkin dua. . Atau bisa aja cuma lima menit, tapi rasanya kayak seumur hidup. Jantungku masih berdebar kencang, telingaku tegang menangkap setiap suara. Tapi gak ada apa-apa. Hening. Hanya satu pertanyaan yang terus muncul di kepalaku: Kenapa aku masih hidup? Makhluk itu jelas-jelas bisa mendobrak pintu gudang kalau dia mau. Tapi dia gak melakukannya. Sebaliknya, dia pergi begitu aja, meninggalkan ancaman yang terdengar lebih kayak permainan daripada ancaman sebenarnya. Apa aku cuma mainannya? Atau dia beneran gak peduli sama aku? Pikiran itu bikin aku makin takut. Kalau aku cuma figuran, kenapa aku harus tetap di sini? Aku mencoba berdiri, tapi lututku masih gemetar. Tanganku memegang rak tua di dekatku untuk menjaga keseimbangan. Lalu aku mendengar suara lain. Bukan langkah, bukan ketukan, tapi... sesuatu di luar sana, di luar gudang. Sesuatu besar. Suara gemuruh menggema di kejauhan, diikuti oleh getaran kec

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (3)

    Aku terus berlari tanpa arah, meninggalkan pria itu dan suara pedangnya yang menggema di dalam gedung. Setiap langkah terasa berat, setiap tarikan napas terasa menyakitkan, tapi aku gak berani berhenti. Kata-katanya masih terngiang di kepalaku: "Jika kau ingin hidup, jangan pernah berhenti bergerak." Di luar gedung, kabut semakin tebal. Jalanan penuh reruntuhan dan kendaraan terbengkalai. Lampu jalan yang dulunya menyala sekarang hanya tiang-tiang kosong yang memproyeksikan bayangan aneh di kabut. Suara langkahku bergema di udara, tapi itu bukan satu-satunya suara yang aku dengar. Ada sesuatu yang lain. Suara geraman rendah, jauh tapi cukup jelas untuk bikin bulu kudukku berdiri. Aku gak tau apa itu, tapi aku yakin itu bukan manusia. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi. Aku belok ke gang sempit di sisi jalan, berharap bisa menemukan tempat berlindung sementara. Gang ini lebih gelap dari yang tadi, penuh dengan puing-puing dan pecahan kaca. Tapi di ujungnya, aku melihat ses

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (4)

    Aku terus berlari, keluar dari reruntuhan hotel, napas beratku terdengar seperti gemuruh di telingaku sendiri. Di belakangku, suara ledakan dan jeritan Voidborn masih terdengar, tapi semakin lama semakin jauh. Raka tetap tinggal untuk melawan makhluk itu. Kenapa dia melakukan semua itu? Kenapa dia repot-repot menyelamatkan aku? Aku bukan siapa-siapa, bahkan dia sendiri bilang aku gak punya peran. Lalu aku berhenti. Aku gak bisa terus lari tanpa tujuan. Kalau aku terus seperti ini, aku bakal mati cepat atau lambat. Tapi aku gak tahu harus ke mana. Dunia ini gak lagi terasa seperti tempat yang aku kenal. Aku melihat sekeliling. Kabut masih tebal, menutupi jalanan dan bangunan yang hancur. Tapi di ujung jalan, aku melihat sesuatu—lampu kecil yang berkedip-kedip, seperti ada orang di sana. Aku ragu sejenak, tapi rasa penasaran dan keputusasaan memaksaku untuk mendekat. Ketika aku sampai di sana, aku menemukan sebuah kendaraan lapuk yang diubah menjadi semacam tempat perlindungan ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (5)

    Pintu di belakang kami berderit pelan, tapi anehnya tidak ada yang masuk. Kami semua terdiam, tubuh tegang seperti senar gitar yang siap putus. Aku mencoba mengatur napas, tapi udara terasa berat di paru-paruku. “Kenapa gak langsung masuk?” bisik Mirna, matanya terpaku pada pintu yang setengah terbuka. “Voidborn gak pernah ragu.” “Karena itu mungkin bukan Voidborn,” kata pria tua dengan nada rendah. Dia menyalakan kembali senjata rakitannya, meskipun cahaya biru yang keluar mulai meredup, tanda kalau energinya hampir habis. Aku mengintip sedikit ke celah pintu, berharap mendapatkan jawaban. Tapi aku gak siap dengan apa yang aku lihat. Di balik pintu, ada seseorang—atau sesuatu—berdiri diam. Itu bukan Voidborn. Tubuhnya berbentuk manusia, tapi ada sesuatu yang salah. Bajunya compang-camping, dan kulitnya pucat seperti orang mati. Tapi yang paling menakutkan adalah matanya, kosong seperti lubang hitam yang dalam. “Siapa itu?” tanya pria muda di sudut ruangan, suaranya bergetar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-08
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (6)

    Ruangan itu kembali sunyi setelah kepergian Raka dan dua orang misterius lainnya. Namun, kesunyian itu terasa lebih berat daripada ketegangan sebelumnya. Aku, Mirna, dan yang lain hanya berdiri diam, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Apa kita cuma nunggu mati sekarang?" tanya Mirna, nadanya jelas kesal. Ia melipat tangan, menatapku seperti aku tahu apa yang harus dilakukan. Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. "Oke, kita harus tetap tenang. Raka bilang kita bisa bertahan di sini sampai mereka selesai dengan tugas mereka." "Dan kalau Voidborn atau makhluk lain masuk?" tanya seorang pria muda di sudut. Aku baru sadar ia belum menyebutkan namanya sejak tadi. "Kita harus tahu nama masing-masing dulu," kataku tiba-tiba. "Kalau kita mau bertahan, kita harus saling percaya, dan itu dimulai dari nama." Semua menatapku, mungkin mengira aku gila. Tapi pria tua itu akhirnya mengangguk. "Dia benar. Kalau kita mati, setidaknya kita tahu siapa yang ada di sisi

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (7)

    Kami melangkah hati-hati di atas jembatan yang rapuh, angin dingin terus menerpa wajah, membuat kakiku gemetar. Di bawah jembatan, jurang gelap itu terasa seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang terjatuh. Gatra memimpin di depan, langkahnya mantap meskipun jembatan berderak di setiap pijakannya. Aku mengikuti di belakangnya, dengan Mirna yang menuntun Ayu. Pak Rusdi dan Dika berada di barisan paling belakang, saling menjaga agar tidak ada yang tertinggal.“Kau yakin ini aman?” tanya Mirna, suaranya nyaris terkalahkan oleh hembusan angin. “Tidak ada yang aman di sini,” jawab Gatra tanpa menoleh. “Tapi ini satu-satunya jalan.” Langkah kami tiba-tiba terhenti ketika suara gemuruh pelan terdengar dari belakang. Aku menoleh dan melihat bayangan hitam Voidborn mulai muncul di sisi jembatan. Mata merah mereka bersinar menakutkan di kegelapan. “Cepat! Mereka datang!” seru Dika dengan nada panik. Gatra berlari leb

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-03
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Hanya pengamat (8)

    Setelah kejadian di jembatan, kami menemukan sebuah gua di tebing berbatu sebagai tempat perlindungan sementara. Gua itu gelap dan lembap, tapi cukup luas untuk menampung kami berlima. Dengan sisa tenaga, kami menyusun barikade seadanya di mulut gua, menggunakan batu-batu besar dan ranting pohon untuk berjaga-jaga dari serangan Voidborn. Malam pertama tanpa Gatra dan Pak Rusdi terasa seperti malam terpanjang dalam hidupku. Kami duduk melingkar di sekitar api kecil yang hampir tidak mampu mengusir dingin. Mirna membalut luka di kakinya, sementara Ayu bersandar di dinding gua dengan mata sembab. Dika hanya menatap kosong ke arah api, tangannya menggenggam sebuah pisau kecil yang ia temukan di jalan. “Ardi...” suara Mirna memecah keheningan. “Apa kita bisa... terus seperti ini?” Aku tidak langsung menjawab. Dalam kepalaku, bayangan Gatra dan Pak Rusdi terus muncul, seakan-akan mereka berdiri di hadapanku, menatap dengan senyum samar. “Kau harus bertahan,” kata Gatra dalam bayang

    Terakhir Diperbarui : 2025-01-04

Bab terbaru

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Saat aku membuka mata, kami telah berada di tempat lain.Udara lembap khas pantai langsung menyergapku. Aku berdiri di atas pasir hitam yang berserakan puing-puing bangunan. Ombak menerjang pantai dengan ganas, membawa aroma garam dan kehancuran. Langit di atas kami berwarna jingga kelam, matahari terbenam di balik siluet gunung berapi yang masih mengepulkan asap.Ariel melangkah maju, matanya menyapu sekeliling. "Bali…?" bisiknya, hampir tidak percaya.Aku tidak menjawab. Aku hanya menatap reruntuhan yang dulunya mungkin adalah resor atau vila mewah. Sekarang, yang tersisa hanya kerangka bangunan yang hangus dan pohon-pohon kelapa yang tumbang. Sungai kecil yang mengalir ke laut dipenuhi puing-puing kayu dan batu.Langkah kakiku berat saat aku mendekati papan kayu yang setengah tertanam di pasir. Tulisan yang hampir pudar masih bisa terbaca: Pantai Kuta.Ariel berdiri di sampingku, matanya menyiratkan kesedihan. "Dulu tempat ini penuh dengan tawa dan cahaya," katanya pelan. "Sekarang

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (14)

    Kesunyian seketika merayapi udara, menelan setiap bisikan dan gerakan. Kata-kata itu menggema di benak masing-masing, seperti dentang lonceng yang tak kunjung berhenti. Mata Mia membelalak, napasnya tercekat. Dengan kedua tangan gemetar, ia menutupi mulutnya, seakan mencoba menahan gelombang perasaan yang menggelegak di dadanya. Ketidakpercayaan menguasai wajahnya, seolah dunia di sekitarnya baru saja runtuh dalam sekejap."Sepertinya kau memiliki orang-orang yang berharga." bisik Ariel rilihAyu tampak lebih emosional, matanya mulai memanas, air mata menggenang. "Kak Ardi... Kak Ardi kembali?" suaranya penuh harapan yang hampir runtuh oleh ketakutan.Sementara itu, Ariel hanya berdiri di sana, memperhatikan reaksi mereka dengan ekspresi datar. Namun, di balik matanya yang tajam, ada kilatan rasa ingin tahu yang muncul. Ia mengamati bagaimana satu nama bisa mengguncang kelompok ini.Tapi, itu bukan urusannya.Tanpa mengatakan sepatah kata pun, Ariel berbalik dan melangkah menuju tembo

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (13)

    Udara di sekitarku mulai membara, panas yang tak wajar menggantung di atmosfer. Kabut hitam perlahan-lahan menyebar, bergulung seperti makhluk hidup yang merespons sesuatu yang lebih besar. Aku bisa merasakan bulu kudukku berdiri. Sesuatu sedang terjadi.Julian mulai bangkit dari reruntuhan yang ia tabrak, ekspresinya kini dipenuhi kewaspadaan. Mata tajamnya menelusuri sosokku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia sedang menganalisis, mengukur, mencoba memahami kekuatan yang baru saja aku tunjukkan."Menarik," gumamnya, suara rendahnya hampir tertelan oleh desisan energi yang bergetar di udara. "Jadi kau masih punya kartu truf yang belum kau tunjukkan, huh?"Di sebelahnya, Genta mengibaskan pedangnya yang berlapis api. Percikan berloncatan di udara, menciptakan suara mendesis saat menyentuh reruntuhan di sekitar. Aku bisa merasakan panasnya, meski berdiri cukup jauh. Mata Genta menyipit, penuh dengan ketegangan."Baiklah," katanya, nada suaranya bergetar dengan keyakinan yang tak t

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (12)

    Udara di sekitar candi semakin panas, membuat dedaunan kering di tanah mulai berkerut dan terbakar perlahan. Tembok api yang menjulang tinggi mengelilingi mereka, lidah-lidah apinya menari liar, menciptakan suara gemeretak yang mengancam. Genta berdiri di seberang, wajahnya dipenuhi senyum puas saat dia melihat Raka yang terengah-engah di tengah arena yang telah mereka ciptakan. Tidak ada jalan keluar."Lebih baik kau menyerah," suara Reina menggema, terdengar seperti bisikan iblis yang menikmati penderitaan mangsanya. "Biar aku bisa merasakan bagaimana rasanya menumpahkan darah pahlawan terkuat."Raka berdiri dengan susah payah, keringat bercampur darah menetes dari pelipisnya, jatuh ke tanah yang mulai menghitam akibat suhu tinggi. Nafasnya berat, dadanya naik turun tidak beraturan. Aura biru di pedangnya yang sebelumnya bersinar terang kini mulai meredup, seakan merespons kelelahan pemiliknya. Namun, matanya tetap tajam, membara dengan tekad."Berisik," geramnya, sebelum mendorong

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (11)

    Bayangan merayap di atas altar, menciptakan ilusi seakan dunia di dalam reruntuhan Borobudur itu sendiri menahan napas. Debu melayang di udara, terbawa gelombang energi yang memancar dari para petarung. Di antara reruntuhan yang bercahaya redup, tujuan mereka hanya satu: mutiara merah di atas altar yang memancarkan cahaya berdenyut seolah memiliki detak jantung sendiri. Reina melesat bagaikan bayangan yang menyatu dengan kegelapan. Tubuhnya bergerak lincah, hampir tak terlihat di antara celah-celah cahaya yang bersinar dari reruntuhan kuil. Cakarnya yang panjang berselimut energi hitam merobek udara, mengincar sosok Lina yang berdiri di tengah dengan tangan terangkat, membentuk barrier bercahaya emas. "Lihat di belakangmu, nona pahlawan." Suara Reina terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang menyelinap ke dalam telinga Lina. Bibirnya melengkung dalam seringai tajam. Tepat sebelum cakar Reina menembus punggungnya, Lina mendengar teriakan dari belakang, "Lina, di belakangmu!" Di

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (10)

    Hening menyelimuti medan pertempuran setelah ledakan dahsyat yang menghancurkan Banaspati. Hanya suara angin yang menderu pelan di antara reruntuhan yang tersisa. Debu masih melayang di udara, menciptakan siluet samar-samar yang kini berdiri di tengah sisa-sisa pertempuran.Langkah kaki kelompok Raka akhirnya terhenti saat mereka mendekati altar, di mana tiga orang yang tadi menyerang berdiri di hadapan relik mutiara merah. Batu-batu altar memancarkan sinar kemerahan, seperti merespons kehadiran mereka. Cahaya bulan yang tertutup awan memberikan kesan menyeramkan pada sosok-sosok yang berdiri di atasnya."Ho..." Suara lembut namun penuh ejekan terdengar. Reina menatap kelompok Raka dengan senyum miring, seolah menemukan mainan baru. "Ternyata ada yang selamat dari peliharaanku."Raka menatap Julian dengan sorot mata penuh kebencian. Rahangnya mengeras, dan genggaman pedangnya semakin erat. "Kau... Orang yang melawan Ardi Sanctum Perennial!"Julian menoleh santai, matanya yang berwarna

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (9)

    Aku dan Ariel bersembunyi di balik salah satu pilar besar candi, napas kami tertahan, hanya bisa mengamati kejadian yang berlangsung di depan mata. Dari sela-sela reruntuhan batuan tua, aku bisa melihat dengan jelas bagaimana api berkobar di sekitar candi, menciptakan suasana neraka yang nyata. Bau hangus dari daging yang terbakar menyusup ke hidung, menyisakan rasa mual yang sulit ditepis."Apa yang harus kita lakukan?" bisik Ariel, suaranya hampir tenggelam oleh suara gemuruh pertempuran di depan.Aku mengangkat tangan kanan, mengisyaratkan agar dia tetap diam. "Tunggu," bisikku pelan. "Situasinya belum menguntungkan untuk kita terjun ke sana. Kita lihat saja dulu."Ariel mengangguk pelan, matanya tak lepas dari medan pertempuran. Aku bisa melihat ketegangan di wajahnya, keringat mengalir di pelipisnya meskipun udara sekitar terasa panas.Di tengah kekacauan, seorang tank dari kelompok itu menjerit marah. "Kau... siapa kau, bajingan?!" Matanya terpaku pada seorang wanita berambut pa

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (8)

    Borobudur berdiri megah di hadapan kami, bukan lagi hanya sekadar peninggalan sejarah, melainkan pusat energi yang memancarkan aura mistis. Relief-relief yang terukir di dinding candi bersinar samar, mengeluarkan cahaya keemasan yang berdenyut seirama dengan napas dunia. Dari puncaknya, sinar merah menyala terang, berdenyut seperti jantung yang hidup, menarik perhatian siapa pun yang melihatnya. Itu dia, Relik Mutiara Merah—relik Eyang Api Sakti.Aku melangkah maju, ingin lebih dekat, tetapi tiba-tiba Ariel meraih tanganku. Cengkeramannya erat, dingin, meski udara di sekitar kami terasa panas akibat energi yang memancar dari Borobudur."Tunggu," suaranya bergetar, napasnya tak beraturan.Aku menoleh, melihat wajahnya yang pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya, matanya membelalak seolah baru saja menyaksikan sesuatu yang mengerikan. "Ada apa?" tanyaku."Aku baru saja mendapat penglihatan tentang apa yang akan terjadi di sini." Ia menelan ludah, matanya yang biasanya tenang kini

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status