Share

Sanctum Perennial (9)

last update Last Updated: 2025-01-18 16:12:41

Dingin menjalari kulitku, meski ruangan ini terasa pengap dan penuh udara busuk. Gelap di sekelilingku tidak lagi membuatku takut, karena yang aku takutkan sekarang adalah suara langkah berat yang akan segera mendekat. Tidak perlu menunggu lama, suara itu akhirnya datang. Davin berdiri di balik jeruji dengan tatapan puas. Di belakangnya, dua Wardens menyeret tubuh-tubuh lemah Nina, Drian, dan Hendra.

Mereka dibawa ke hadapanku, masing-masing dengan tangan terikat di belakang punggung dan kain kotor membungkam mulut mereka. Mata Nina yang biasanya penuh semangat kini hanya menyiratkan ketakutan. Drian tampak berusaha melawan, tetapi tubuhnya yang penuh luka membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Hendra, yang paling pendiam di antara kami, tidak berani mengangkat wajahnya.

Davin berdehem pelan, lalu memandangku dengan senyuman miring yang penuh kebencian. "Ardi, kau tahu kenapa mereka di sini, bukan?" tanyanya, suaranya terdengar seperti pisau yang mengiris perlahan.

Aku tidak menjawab,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Related chapters

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (10)

    Pandanganku terhenti di tengah keheningan yang mencekik, jantungku berdetak seperti genderang perang di kejauhan. Kegelapan ruangan ini terasa menyatu dengan udara, menekan dadaku seperti beban yang tak kasat mata. Bayangan Hendra yang tergeletak di lantai menjelma menjadi mimpi buruk yang enggan hilang. Tapi itu belum seberapa; kegelapan lain mulai menjalari pikiranku, menyelinap seperti racun ke dalam setiap sudut kesadaranku. Sesuatu yang lebih mengerikan, lebih mencekam, perlahan menyerap apa yang tersisa dari keberanianku.“Ardi…,” suara lembut itu mengalun, seperti bisikan angin yang membawa gelombang dingin menyusup ke dalam tulang. Aku mengenalnya. Suara yang sudah lama terkubur dalam ingatan, tetapi kini kembali seperti mimpi buruk yang menolak untuk dilupakan. Tubuhku gemetar tanpa kendali, dan ketika aku perlahan menoleh, bayangannya muncul.Ibuku.Dia berdiri di sana, tubuhnya bagaikan siluet yang muncul dari kegelapan, tapi detail wajahnya begitu nyata hingga menusuk inga

    Last Updated : 2025-01-18
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (11)

    Ketika langkah-langkah Davin dan para prajurit Wardens mulai menjauh, kesunyian kembali menyelimuti ruangan seperti selimut kematian. Aku terduduk lemas, tubuhku bergetar hebat, rantai di pergelangan tanganku terasa seperti bara api yang membakar kulitku. Pandanganku terpaku pada genangan darah yang semakin meluas di lantai. Kepala Rei dan Bu Sri, dua orang yang pernah memberiku harapan dalam neraka ini, kini hanya menjadi simbol kegagalanku. “Ardi...” suara Nina memanggilku lagi, kali ini disertai isakan yang tak tertahankan dengan suara yang lebih jelas karena kain yang ada di mulutnya mulai terlepas. Matanya yang lebar dan kosong terpaku pada kepala Rei dan Bu Sri, tubuhnya mengguncang liar seolah mencoba melepaskan diri dari kenyataan yang mengerikan ini. Dia meronta, berusaha mendekat meski rantai di pergelangan tangannya mencengkeram erat, seperti jebakan kejam yang menolak melepaskannya. "Rei... Bu Sri... Hendra..." gumam Nina, suaranya pecah menjadi jeritan memilukan. "Tidak!

    Last Updated : 2025-01-19
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (12)

    Tetesan air bergema dalam ruang gelap, bergabung dengan suara samar gerakan tikus di sudut-sudut. Aroma amis darah bercampur logam menguar tajam, membuat hidung perih dan perut mual. Di lantai berbatu yang licin, jejak-jejak merah menciptakan pola acak, dan di tengahnya, tubuh teman-temanku tergeletak tak bernyawa, wajah mereka membeku dalam ekspresi putus asa yang membuat dadaku terasa sesak. Cahaya redup dari lentera yang hampir mati menambah kesan muram, bayangannya menari di dinding seperti ejekan dari kegelapan.Semua ini salahku. Aku yang mengirim mereka ke neraka ini, dan sekarang tubuh mereka dingin di lantai berbatu. Aku bisa melihat wajah Mia, Mirna, Ayu, dan Dika yang penuh harapan... harapan yang akan segera hancur seperti yang lain. Aku tak berdaya. Apa pun yang kulakukan, aku hanya akan membawa mereka menuju kematian. Andai saja aku memiliki kekuatan untuk melindungi mereka, andai saja aku diberi peran dalam skenario busuk ini. Tapi aku hanya pion tanpa guna, menonton tra

    Last Updated : 2025-01-20
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (13)

    Suara ledakan besar mengguncang seluruh penjara bawah tanah, menggema seperti guntur yang mengoyak langit. Dinding-dinding batu yang kokoh runtuh dalam hitungan detik, debu tebal menyelimuti ruangan, mengaburkan pandangan dan membuat napas terasa berat. Rasa panas dari ledakan masih terasa di kulitku, seperti bara yang baru saja padam. Aku terduduk di lantai, tubuhku terguncang, sementara debu-debu halus mengendap di rambut dan pakaianku.Lalu, langkah kaki bergema di antara reruntuhan, suara beratnya mengguncang lantai yang kini tertutup puing. Ada sesuatu yang aneh dan familiar dari suara itu, sebuah memori yang muncul samar-samar dari masa lalu. Aku memicingkan mata, mencoba melihat melalui kabut debu yang menari di udara. Sesosok pria perlahan muncul dari balik kabut, bayangan tubuhnya kian jelas. Pedang besar tergantung di punggungnya, mengkilap meski dikelilingi debu dan darah. Dia berhenti tepat di depanku, menatapku seolah menilai kerusakan yang telah terjadi.Tanpa berkata ap

    Last Updated : 2025-01-21
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Sanctum Perennial (14)

    Langkah berat pria berjaket hitam bergema di lantai aula Sanctum. Sepasang mata hitamnya, dingin seperti lubang tanpa dasar, menatap langsung ke arahku. Aura kekuasaan menyelimuti sosoknya, membuat udara terasa lebih berat. Dia bukan sembarang orang, itu jelas dari cara semua yang ada di ruangan menahan napas. Tapi aku tidak peduli. Tatapanku hanya terpaku pada Davin, orang yang selama ini menjadi sumber penderitaanku. Aku mengepalkan pedang di tangan, menyatakan niatku yang jelas untuk menghabisi Davin. Tangan yang gemetar oleh emosi kini digerakkan oleh hasrat membalas dendam. Namun, saat aku melangkah maju, pria itu mendekat dengan gerakan santai, seolah waktu di ruangan ini adalah miliknya. Dalam satu gerakan, dia meraih pergelangan tanganku dengan cengkeraman seperti baja. "Sepertinya kau cukup keras kepala untuk tidak mendengarkan perintahku," katanya dengan suara rendah yang menusuk, dingin seperti malam tanpa bulan. Aku mencoba menarik tanganku, tapi cengkeramannya tidak go

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan

    Hujan rintik mulai turun ketika aku melangkah keluar dari Sanctum, membawa sisa luka di tubuh dan jiwa. Tidak ada arah pasti yang mengiringi langkahku, hanya satu tujuan yang terpahat dalam pikiranku: menghancurkan Skenario, Konstelasi, dan segala entitas yang terlibat di dalamnya. Langkahku berat, kakiku hampir menyeret di atas aspal yang retak. Aku mendapati diriku di sebuah kota kecil di pinggiran Jakarta. Bogor, nama itu tiba-tiba muncul di pikiranku saat aku melihat tulisan besar yang hampir rubuh di atas jalan utama.Tubuhku terlalu lelah untuk terus bergerak. Bangunan mall yang setengah hancur di sisi jalan terlihat seperti tempat berlindung sementara. Kaca-kaca pecah dan puing-puing yang berserakan di sekitarnya menyambutku. Aku melangkah masuk, waspada, mengamati setiap sudut yang mungkin menjadi tempat persembunyian makhluk atau ancaman lainnya.Di dalam mall itu, udara lembab dan bau busuk menguasai ruangan. Bekas-bekas kehidupan manusia terlihat di sana-sini: mainan anak-a

    Last Updated : 2025-01-22
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (2)

    Malam telah turun ketika mobil tua itu melaju perlahan di jalanan kosong yang menuju Samudra Selatan. Lampu-lampu jalanan banyak yang sudah lama padam, meninggalkan hanya cahaya bulan yang samar untuk menerangi aspal yang retak dan berdebu. Suara mesin mobil menjadi satu-satunya irama yang menemani perjalanan. Di dalam kabin, aku hanya ditemani oleh suara hembusan napasku sendiri dan bayangan masa lalu yang terus menghantui di kaca spion.Setelah beberapa jam menyusuri jalan, aku akhirnya tiba di sebuah perbukitan yang menghadap langsung ke laut. Aku mematikan mesin mobil dan keluar, membiarkan angin dingin yang membawa aroma garam menyambutku. Dari tepi bukit, aku bisa melihat ombak besar bergulung, menghantam bebatuan karang dengan ganas. Kabut tipis menyelimuti area itu, membuat segalanya tampak seperti dunia yang terputus dari kenyataan.Aku berdiri di pinggir tebing, menatap laut yang tampak tak berujung. "Istana dasar laut," gumamku dengan nada pelan. "Jadi, pemilik relik itu ad

    Last Updated : 2025-01-23
  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Samudra Selatan (3)

    Kami tiba di tepi pantai Samudra Selatan saat malam mulai menebarkan selimut kelamnya. Gelombang bergulung deras, memecah keheningan dengan suara hantaman ke karang yang menggema di udara. Aku berdiri di sana, menatap lurus ke horizon yang tampak tak berujung, mencari tanda-tanda yang bisa menunjukkan jalan menuju istana bawah laut. Namun, keheningan malam itu segera dipecahkan oleh suara gemuruh mengerikan yang menggema dari dasar laut. Getarannya terasa hingga ke pasir di bawah kaki kami.“Apa itu?” suara Risa bergetar, keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Matanya menatap ke laut dengan ketakutan yang jelas.Aku tidak menjawab. Ada perasaan ganjil, seolah suara itu adalah peringatan dari sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang bisa kubayangkan.“Sepertinya tuan rumah tidak menyambut kita dengan hangat,” gumamku, mataku tetap terpaku pada air yang mulai bergerak dengan cara yang tak wajar.Air laut di ujung pantai tiba-tiba terbelah perlahan-lahan, menciptakan jalan ya

    Last Updated : 2025-01-24

Latest chapter

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (8)

    Dunia kembali bergerak.Seakan tersedot dari pusaran kehampaan, aku terhempas ke realitas. Nafasku terputus-putus, dadaku naik turun tak terkendali. Keringat dingin mengalir di pelipisku, dan jari-jariku mati rasa saat aku mencoba menggenggam trisulaku lebih erat. Tubuhku seakan dipaksa menerima beban yang bukan milikku—resonansi antara aku dan Chronarkis masih terasa, mengalir seperti arus tak kasat mata yang menghubungkan kami.Brak!Lututku menghantam tanah. Tanah yang dingin dan kasar merambat di sela jari, seakan menegaskan bahwa aku masih ada di sini, masih hidup. Suara napasku bercampur dengan desir angin yang membawa serpihan debu dan abu di udara. Cahaya redup dari langit yang koyak oleh kekuatan yang tak kasat mata perlahan memudar, seolah takut mengungkap rahasia yang baru saja terkuak."Apa kau baik-baik saja?"Suara Revan membelah keheningan. Aku mendongak, melihatnya bergegas ke arahku, ekspresinya dipenuhi kekhawatiran. Ia tak perlu bertanya dua kali. Dengan susah payah

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (7)

    Kegelapan berdenyut di sekeliling Ariel, nyala api hitam berputar liar seperti ular ganas yang hendak memangsa segalanya. Napasnya berat, langkahnya menyeret, tetapi matanya—mata merah menyala yang menjadi simbol kekuasaan Barong—tetap terkunci padaku. Aku bersiap menghindar, otakku bekerja cepat mencari celah dalam serangannya.Tapi tiba-tiba—WUSHH!Sebuah cahaya emas meledak dari tubuh Ariel. Sejenak, seolah-olah waktu tersendat, lalu berhenti total. Angin yang tadinya menggila kini membeku di udara, debu yang beterbangan pun mengapung tanpa arah. Bahkan api yang menari di sekeliling Ariel berhenti, nyaris seperti lukisan yang dipaksa diam dalam satu momen abadi.Aku menegang. Eternal Flow Manipulation-ku? Tidak. Ini bukan aku yang mengaktifkannya.Sebuah tekanan luar biasa membanjiri ruang di sekelilingku, membuat bulu kudukku berdiri. Dari bayanganku sendiri, sesuatu merayap keluar. Aku bisa merasakan keberadaannya bahkan sebelum melihat sosoknya.Kemudian, ia muncul.Sosok itu m

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (6)

    Udara di sekitar kami bergetar, panas yang menyengat merayap di kulit, membuat napas terasa berat. Debu-debu hangus melayang, terbawa oleh angin panas yang entah berasal dari serangan Ariel sebelumnya atau dari dirinya sendiri.Mata Revan menyipit, keringat mengalir di pelipisnya. "Sepertinya dia kehilangan kontrol atas tubuhnya," gumamnya, suaranya nyaris tenggelam dalam deru api yang mengamuk. Dengan cepat, dia mengangkat tangannya. "Zephyr Suppression."Raungan angin terdengar nyaring saat pusaran udara terbentuk di sekitar Ariel, membelit tubuhnya seperti rantai tak kasat mata. Namun sebelum cengkeraman angin bisa menahan gerakannya, Ariel mengangkat pedang reliknya tinggi-tinggi. Mata keemasannya berkilat sesaat sebelum berubah menjadi merah."Divine Reflection."Kilatan cahaya meledak dari tubuhnya, memantulkan energi angin yang seharusnya membelenggunya. Seakan tak tersentuh, ia melangkah maju tanpa kesulitan sedikit pun.Revan terhuyung ke belakang, tangannya masih terangkat de

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (5)

    Kilatan cahaya menyambar cakrawala. Petir menggelegar, suaranya menggema seperti raungan raksasa yang marah. Langit yang tadinya cerah kini berubah kelam, seakan ditelan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar awan mendung. Udara menjadi berat, seperti ribuan ton besi menekan dada.Aku berdiri di tengah padang yang luas, trisula sudah dalam genggamanku. Angin bertiup liar, merontokkan dedaunan dan menerbangkan debu hingga membentuk pusaran kecil di sekeliling kami. Di sampingku, Revan berdiri dengan tenang, tatapannya tajam seperti pisau yang baru diasah. Di sisi lain, Ariel tampak gelisah, matanya menari-nari di antara kami dan langit yang mulai retak."Sebentar lagi dia akan muncul," ucapku, suaraku tenggelam dalam riuhnya gemuruh yang terus beresonansi.Revan mengangguk pelan. Dia tahu. Sepertinya dia sudah melihat ini sebelumnya. Namun Ariel… Ariel tidak. Tangannya mencengkeram relik pedang yang kuberikan, jemarinya gemetar meski ia berusaha menyembunyikannya."Apa yang akan mu

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (4)

    Udara dingin menerpa kulitku seperti pisau tipis yang menggores perlahan. Di hadapanku, Ariel terkunci dalam pusaran angin yang menderu seperti raungan serigala lapar, seakan mencoba menelan tubuhnya bulat-bulat. Keringat dingin mengalir di pelipisku saat melihat tubuhnya bergetar hebat di dalam lingkaran udara yang melingkupinya."Sial..." gumamku, mengepalkan tangan dengan gelisah. Suara angin yang berputar kencang membuat sekeliling terasa seperti badai yang mengamuk. Aku melirik pria itu, sosok misterius yang baru saja muncul dari reruntuhan. Tangannya terulur, mengendalikan barrier angin yang menekan Ariel.Aku meneguk ludah, lalu melangkah mendekatinya. "Apa dia akan baik-baik saja?" tanyaku, suaraku nyaris tenggelam dalam deru angin.Pria itu tak langsung menjawab. Tatapannya tetap terkunci pada Ariel, dingin dan tajam, seperti burung pemangsa yang mengamati mangsanya. "Entahlah," jawabnya akhirnya, suaranya tenang tapi penuh ketegangan. "Yang bisa aku lakukan hanya menahan kek

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (3)

    Suasana berat mencekam saat kami melangkah meninggalkan reruntuhan yang kini hanya menyisakan puing-puing dan bayangan kematian. Bau anyir darah bercampur dengan aroma karat besi, menguar tajam di udara malam yang dingin. Setiap tarikan napas serasa mencengkram paru-paru, berat, pengap, seakan dunia sendiri mencoba menahan kami untuk tidak pergi.Srek.Butiran pasir bergeser di bawah sepatu kami. Angin menderu, melolong di antara bebatuan, berbisik lirih seperti suara mereka yang telah gugur.Aku melirik ke samping. Ariel berjalan di sebelahku, langkahnya tetap tegas, namun ada sesuatu yang berbeda. Bahunya tegang, napasnya pendek dan tersendat. Biasanya, mata emasnya selalu berkilat penuh keyakinan. Tapi kini, sorot itu meredup—seperti api yang kehilangan bahan bakarnya.Srek.Kami terus berjalan. Tapi lalu—Ariel berhenti.Satu tangannya menekan pelipis, napasnya tertahan. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam, tapi ada getaran halus di jemarinya, begitu samar, nyaris tak terliha

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda (2)

    Aku melangkah pelan di atas pasir hitam yang masih terasa hangat. Ombak pecah di kejauhan, gemuruhnya berulang dalam irama yang menghipnotis, membawa aroma garam dan kehancuran yang bercampur menjadi satu.Di sekelilingku, reruntuhan vila-vila mewah berserakan tak berbentuk. Atap-atap ambruk, tembok-tembok retak, dan kayu-kayu yang dulunya menopang bangunan kini hanyut terbawa air pasang. Cahaya bulan memantul di permukaan air laut, menciptakan kilauan yang kontras dengan puing-puing yang terombang-ambing di permukaan.Aku berhenti melangkah dan menatap pedang di tanganku. Bilahnya berpendar samar di bawah sinar bulan yang semakin redup. Pedang relik Mutiara Merah. Aku menggenggamnya erat, merasakan energi dingin menjalar dari gagangnya ke telapak tanganku. Namun, semakin lama aku memegangnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang tidak selaras denganku. Pedang ini… bukan untukku."Ada apa?" suara Ariel membuyarkan lamunanku. Aku menoleh, melihatnya berdiri beberapa langkah di depanku,

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Bali yang berbeda

    Udara panas yang masih tersisa dari pertempuran perlahan menghilang, digantikan dengan kesunyian yang berat. Aroma tanah yang terbakar dan abu yang beterbangan membuat napasku terasa sesak. Setiap langkah yang kuambil menuju altar Borobudur terasa seperti berjalan di atas batu bara panas.Ariel berjalan di sampingku, sesekali mencuri pandang ke arahku. "Akhirnya kita berhasil juga," ucapnya dengan suara lega, tetapi napasnya masih tersengal-sengal.Aku hanya diam, membiarkan tatapanku terpaku pada altar di depanku. Mutiara Merah berpendar redup, seolah mengintai dari dalam kegelapan, menunggu keberanian seseorang untuk menyentuhnya. Aku mengangkat tanganku, jari-jariku gemetar saat mendekati permukaannya yang bercahaya.Begitu ujung jariku menyentuhnya, gelombang panas menghantam sekujur tubuhku. Rasa terbakar menjalari telapak tanganku, membuat rahangku mengatup erat, menahan erangan yang hampir lolos. Cahaya merah menyembur, menelan pandanganku dalam ledakan kilau yang menyilaukan.D

  • Pengamat Takdir: Pemegang Kendali Tersembunyi   Borobudur (15)

    Suasana berubah drastis. Udara yang sebelumnya hanya dipenuhi percikan api kini terasa seperti tungku neraka yang siap menelan siapa pun yang mendekat. Api yang berkobar di sekitar tubuh Genta bukan lagi sekadar nyala biasa. Warna merahnya perlahan berubah menjadi biru terang, seakan-akan panasnya telah melampaui batas wajar. Setiap langkahnya membuat udara bergemuruh, seperti ada tekanan tak kasat mata yang menghantam siapa pun di sekelilingnya.Julian menggeram, matanya memicing tajam ke arah Genta yang kini semakin tak terkendali. "Bajingan itu... Dia malah mengamuk sesuka hatinya," gumamnya dengan nada frustrasi.Reina, yang berdiri di sampingnya, mendengus kesal. "Dia sendiri yang bilang jangan terprovokasi, tetapi malah dia yang termakan provokasinya."Sementara itu, aku hanya bisa bertahan di balik Divine Reflection milik Ariel. Lapisan tak kasat mata itu masih mampu menahan panasnya api Genta, tetapi aku tahu, perlindungan ini tak akan bertahan lama. Retakan-retakan halus mula

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status